Kisah Muhammad bin Waasi': Hiasan Para Ahli Fikih yang Selalu Ikut Berjihad

Jum'at, 29 April 2022 - 18:50 WIB
loading...
Kisah Muhammad bin Waasi: Hiasan Para Ahli Fikih yang Selalu Ikut Berjihad
Muhammad bin Waasi’ adalah seorang tabi’in dikenal dengan sebutan Zainul Fuqaha yang bermakna hiasan para ahli fikih. Foto/I;ustrasi: Ist
A A A
Muhammad bin Waasi’ adalah seorang tabi’in utama yang berasal dari Bashrah. Beliau dikenal dengan sebutan Zainul Fuqaha yang bermakna 'hiasan para ahli fikih'. Murid sahabat utama Anas bin Malik Al-Anshari ini sering juga dipanggil abid Bashrah.

Dr Abdurrahman Ra’at Basya dalam "Mereka adalah Para Tabi’in" menceritakan pada era Khilafah Sulaiman bin Abdul Malik terjadi perang dalam rangka merebut daerah Jurjan dan Tabaristan.

Kala itu, Yazid bin Muhallab bin Abi Sufrah, salah satu pedang Islam yang terhunus dan wali daerah Khurasan yang kuat, bergerak cepat bersama pasukannya yang berjumlah 100 ribu orang, ditambah para sukarelawan dari mereka yang ingin mencari syahadah dan mencari pahala. Nah, di antara prajurit itu ada Muhammad bin Waasi’.



Menurut Abdurrahman Ra’at, kala itu, panglima perang Ibnu Muhallab beserta pasukannya bermarkas di Dihistan yang didiami oleh orang-orang Turki yang kuat dan perkasa.

Benteng-benteng mereka kokoh dan setiap hari menyerang kaum muslimin. Bila kepayahan atau merasa terdesak dalam pertempuran, mereka mundur ke lembah-lembah di daerah bergunung-gunung, lalu berlindung di balik bentengnya yang kokoh.

Meski kurus tubuhnya dan lanjut usianya, Muhammad bin Waasi’ memegang posisi yang cukup penting dalam pasukan Islam. Pasukan merasa terhibur oleh cahaya iman yang terpancar dari wajahnya yang cerah dan makin bersemangat bila mendengar nasihat-nasihat yang keluar dari lidahnya yang lembut serta menjadi tenang karena do’a-do’anya yang mustajab dalam kesulitan.

Bila panglima memerintahkan untuk menyerbu, dia berseru, “Wahai pasukan Allah majulah!” sebanyak tiga kali. Begitu mendengar suaranya, segenap prajurit siap menghadapi musuh bagaikan macan kumbang yang ganas. Mereka bergerak maju dengan semangat tinggi layaknya orang kehausan yang menyongsong air dingin di bawah terik matahari yang menyengat.

Suatu ketika di saat terjadi pertempuran yang dahsyat, majulah seorang jagoan dari barisan musuh untuk perang tanding satu lawan satu. Belum pernah orang melihat badan tinggi kekar seperti dia. Belum lagi ketangkasan, kekuatan dan keberaniannya. Dia bertempur dalam barisan hingga berhasil mendesak barisan pasukan muslimin dan menimbulkan rasa gentar di hati mereka.

Kemudian dia menantang duel satu lawan satu dengan congkak dan sombongnya. Hingga Muhammad bin Waasi’ tak tahan lagi ingin menghadapinya. Saat itulah semangat kaum muslimin kembali bangkit.



Seorang pemuda mencegah syaikh tua itu melayani tantangan musuh dan meminta agar dirinya diizinkan untuk menghadapi tantangan musuh itu. Syaikh itu menuruti permintaannya lalu mendoakan kemenangan baginya.

Dua orang prajurit berdiri berhadapan, masing-masing ingin membunuh lawannya dengan segala cara. Kemudian mereka berduel seperti dua ekor singa yang kalap. Mata dan hati kedua belah pihak pasukan terpusat pada keduanya.

Kedua belah pedang berkelebat, masing-masing mengarah ke kepala lawannya secara berbarengan, ternyata pedang prajurit Turki mengenai topi baja tentara muslim, sedang pedang prajurit muslim mendarat tepat di jidat prajurit Turki hingga terbelah menjadi dua.

Prajurit muslim itu kembali ke barisan kaum muslimin dengan membawa kemenangan. Sebuah pemandangan yang belum pernah mereka lihat, sedang pedangnya berlumuran darah dan sebelah pedang kecil yang masih tersarung. Pasukan muslimin sangat terharu melihat peristiwa yang tiada tandingnya itu. Lalu menyambutnya dengan penuh kegembiraan dengan takbir, tahlil dan tahmid.

Yazid bin Muhallab takjut melihat kilatan pedang dan senjata di tangan orang itu lalu bertanya, “Alangkah hebatnya, siapakah dia?” orang-orang menjawab, “Dia adalah orang yang mendapat berkat do’a dari Muhammad bin Waasi”.

Perbandingan kekuatan mulai berbalik setelah tewasnya prajurit Turki yang tinggi besar tersebut. Rasa gentar menjalar dalam hati kaum musyrikin bagaikan api menjalar di atas rumput kering. Sebaliknya, semangat juang pasukan muslimin menyala seketika, lalu mereka menggempur musuh-musuh Allah laksana aliran air, mengepung dengan ketat seperti lingkaran kalung yang melilit di leher. Mereka mampu memblokir jalur air dan logistik musuh.

Maka tak ada pilihan lagi bagi raja musyrikin itu melainkan berdamai. Oleh karena itu, mereka menawarkan perdamaikan kepada kaum muslimin dan akan menyerahkan seluruh kekayaan negerinya asalkan keluarga dan hartanya aman.



Tawaran itu disetujui oleh Yazid. Mereka diharuskan membayar 700 dirham secara bertahap. Pertama kali harus membayar 400 dirham, kemudian menyerahkan 400 ekor unta bermuatan za’faran (kunyit) dan 400 orang yang setiap orangnya membawa satu gelas perak, memakai topi dari sutera dan beludru dan mengenakan mantel seperti yang dikenakan oleh istri prajurit-prajurit mereka.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3415 seconds (0.1#10.140)