Dia Tabiin yang Tak Pernah Tidur Malam, Ini Penyebabnya
loading...
A
A
A
Nu’man bin Tsabit Al-Marzuban yang dikenal dengan Abu Hanifah bertekad setiap kali bersumpah kepada Allah di tengah pembicaraannya, beliau akan bersedekah dengan satu dirham perak.
Berikutnya ditingkatkan lagi, beliau berjanji untuk bersedekah satu dinar emas setiap kali bersumpah di tengah pembicaraanya. Namun jika sumpahnya menjadi kenyataan, dia sedekah lagi sebanyak satu dinar.
Salah satu rekan bisnis Abu Hanifah adalah Hafs bin Abdurrahman. Abu Hanifah biasa menitipkan kain-kain kepadanya untuk dijual ke sebagian kota-kota di Irak. Suatu kali Abu Hanfiah memberikan dagangan yang banyak kepada Hafsh sambil memberitahukan bahwa pada barang ini dan itu ada cacatnya.
Beliau berkata, “Jika Anda bermaksud menjualnya, maka beritahukanlah cacat barang kepada orang yang hendak membelinya.”
Akhirnya Hafsh berhasil menjual seluruh barang, namun dia lupa memberitahukan cacat barang-barang tertentu tersebut. Dia berusah mengingat-ingat orang yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, namun hasilnya nihil.
Tatkala Abu Hanifah mengetahui duduk perkaranya, juga tidak mungkin diketahui siapa yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, beliau merasa tidak tenang hingga akhirnya beliau sedekahkan seluruh hasil penjualan yang dibawa Hafsh.
Abu Hanifah juga dikenal pandai bergaul. Majelisnya dipenuhi orang dan dia bersusah hati bila ada yang tidak hadir meski dia orang yang memusuhinya.
Salah seorang sahabatnya mengisahkan, “Aku mendengar Abdullah bin Mubarak berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah alangkah jauhnya Abu Hanifah dari ghibah. Aku tak pernah medengarnya menyebutkan satu keburukan pun tentang musuhnya.”
Sufyan Ats-Tsauri menjawab, “Abu Hanifah cukup berakal sehingga tidak akan membiarkan kebaikannya lenyap karena ghibahnya.”
Di antara kegemaran Abu Hanifah adalah mencukupi kebutuhan orang yang menarik simpatinya. Sering ada orang lewat kemudian ikut duduk di majelisnya tanpa sengaja. Ketikad ia hendak beranjak pergi, beliau segera menghampirinya dan bertanya tentang kebutuhannya. Bila dia punya kebutuhan, maka Abu Hanifah akan memberinya, kalau sakit maka akan beliau antarkan dan jika memiliki utang maka beliau akan membayarkan sehingga terjalinlah hubungan yang baik antara keduanya.
Dengan segala keutamaan yang disandang Abu Hanifah tersebut, beliau juga termasuk orang yang rajin shaum di siang hari dan salat tahajud di malam harinya. Akrab dengan Al-Qur’an dan istighfar di waktu ashar.
Ketekunannya dalam beribadah dilatar belakangi oleh peristiwa di mana beliau mendatangi suatu kaum lalu mendengar mereka berkomentar tentang Abu Hanifah. “Orang yang kalian lihat itu tidak pernah tidur malam.”
Demi mendengar kata-kata itu, Abu Hanifah berkata, “Dugaan orang terhadapku ternyata berbeda dengan apa yang aku kerjakan di sisi Allah. Demi Allah jangan pernah orang-orang mengatakan sesuatu yang tidak aku lakukan. Aku tak akan tidur di atas bantal sejak hari ini hingga bertemu dengan Allah.”
Mulai hari itu Abu Hanifah membiasakan seluruh malamnya untuk salat. Setiap kali malam datang dan kegelapan menyelimuti alam, ketika semua lambung merebahkan diri. Beliau bangkit mengenakan pakaian yang indah, merapikan jenggot dan memakai wewangian. Kemudian beridiri di mihrabnya, mengisi malamnya untuk ketaatan kepada Allah, atau membaca beberapa juz dari Al-Qur’an.
Setelah itu mengangkat kedua tangan dengan sepenuh harap disertai kerendahan hati. Terkadang beliau mengkhatamkan Al-Qur’an penuh dalam satu rekaat, terkadang pula beliau menghabiskan salat semalam dengan satu ayat saja. (Bersambung)
Berikutnya ditingkatkan lagi, beliau berjanji untuk bersedekah satu dinar emas setiap kali bersumpah di tengah pembicaraanya. Namun jika sumpahnya menjadi kenyataan, dia sedekah lagi sebanyak satu dinar.
Salah satu rekan bisnis Abu Hanifah adalah Hafs bin Abdurrahman. Abu Hanifah biasa menitipkan kain-kain kepadanya untuk dijual ke sebagian kota-kota di Irak. Suatu kali Abu Hanfiah memberikan dagangan yang banyak kepada Hafsh sambil memberitahukan bahwa pada barang ini dan itu ada cacatnya.
Beliau berkata, “Jika Anda bermaksud menjualnya, maka beritahukanlah cacat barang kepada orang yang hendak membelinya.”
Akhirnya Hafsh berhasil menjual seluruh barang, namun dia lupa memberitahukan cacat barang-barang tertentu tersebut. Dia berusah mengingat-ingat orang yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, namun hasilnya nihil.
Tatkala Abu Hanifah mengetahui duduk perkaranya, juga tidak mungkin diketahui siapa yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, beliau merasa tidak tenang hingga akhirnya beliau sedekahkan seluruh hasil penjualan yang dibawa Hafsh.
Abu Hanifah juga dikenal pandai bergaul. Majelisnya dipenuhi orang dan dia bersusah hati bila ada yang tidak hadir meski dia orang yang memusuhinya.
Salah seorang sahabatnya mengisahkan, “Aku mendengar Abdullah bin Mubarak berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah alangkah jauhnya Abu Hanifah dari ghibah. Aku tak pernah medengarnya menyebutkan satu keburukan pun tentang musuhnya.”
Sufyan Ats-Tsauri menjawab, “Abu Hanifah cukup berakal sehingga tidak akan membiarkan kebaikannya lenyap karena ghibahnya.”
Di antara kegemaran Abu Hanifah adalah mencukupi kebutuhan orang yang menarik simpatinya. Sering ada orang lewat kemudian ikut duduk di majelisnya tanpa sengaja. Ketikad ia hendak beranjak pergi, beliau segera menghampirinya dan bertanya tentang kebutuhannya. Bila dia punya kebutuhan, maka Abu Hanifah akan memberinya, kalau sakit maka akan beliau antarkan dan jika memiliki utang maka beliau akan membayarkan sehingga terjalinlah hubungan yang baik antara keduanya.
Dengan segala keutamaan yang disandang Abu Hanifah tersebut, beliau juga termasuk orang yang rajin shaum di siang hari dan salat tahajud di malam harinya. Akrab dengan Al-Qur’an dan istighfar di waktu ashar.
Ketekunannya dalam beribadah dilatar belakangi oleh peristiwa di mana beliau mendatangi suatu kaum lalu mendengar mereka berkomentar tentang Abu Hanifah. “Orang yang kalian lihat itu tidak pernah tidur malam.”
Demi mendengar kata-kata itu, Abu Hanifah berkata, “Dugaan orang terhadapku ternyata berbeda dengan apa yang aku kerjakan di sisi Allah. Demi Allah jangan pernah orang-orang mengatakan sesuatu yang tidak aku lakukan. Aku tak akan tidur di atas bantal sejak hari ini hingga bertemu dengan Allah.”
Mulai hari itu Abu Hanifah membiasakan seluruh malamnya untuk salat. Setiap kali malam datang dan kegelapan menyelimuti alam, ketika semua lambung merebahkan diri. Beliau bangkit mengenakan pakaian yang indah, merapikan jenggot dan memakai wewangian. Kemudian beridiri di mihrabnya, mengisi malamnya untuk ketaatan kepada Allah, atau membaca beberapa juz dari Al-Qur’an.
Setelah itu mengangkat kedua tangan dengan sepenuh harap disertai kerendahan hati. Terkadang beliau mengkhatamkan Al-Qur’an penuh dalam satu rekaat, terkadang pula beliau menghabiskan salat semalam dengan satu ayat saja. (Bersambung)
(mhy)