Pahala Puasa Syawal 6 Hari, Seolah-olah Puasa Setahun
loading...
A
A
A
Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan hukumnya sunnah. Abu ‘Amr Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan dalam Iqna’, disunnahkan berpuasa enam hari di bulan Syawal, meskipun dilaksanakan dengan terpisah-pisah. Keutamaan tidak akan tetap diraih bila berpuasa di selain bulan Syawal.
Seseorang yang berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah berpuasa Ramadhan, seolah-olah ia berpuasa setahun penuh. Penjelasannya, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Bulan Ramadhan laksana sepuluh bulan.
Sementara enam hari bagai dua bulan. Maka hitungannya menjadi setahun penuh. Sehingga dapat diraih pahala ibadah setahun penuh tanpa kesulitan, sebagai kemurahan dari Allah dan kenikmatan bagi para hambaNya.
Dari Tsauban ra, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ
Barangsiapa berpuasa Ramadhan, satu bulan seperti sepuluh bulan dan berpuasa enam hari setelah hari Idul Fithri, maka itu merupakan kesempurnaan puasa setahun penuh.[Hadits shahih, riwayat Ahmad, 5/280; an Nasaa-i, 2860; dan Ibnu Majah, 1715. Lihat pula Shahih Fiqhis Sunnah, 2/134]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, di dalam "Majmu’ Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah" menyatakan, puasa enam hari di bulan Syawal memiliki dasar dari Rasulullah. Pelaksanaannya, boleh dengan berurutan ataupun terpisah-pisah.
Rasulullah SAW menyebutkan pelaksanaannya secara mutlak, dan tidak menyebutkan caranya dilakukan dengan berurutan atau terpisah.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun.[HR Muslim]
Beliau juga berpendapat, seluruh bulan Syawal merupakan waktu untuk puasa enam hari.
Terdapat riwayat dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian melanjutkannya enam hari dari bulan Syawal, maka ia seperti puasa satu tahun.[HR Muslim]
Hari pelaksanaannya tidak tertentu dalam bulan Syawal. Seorang mukmin boleh memilih kapan saja mau melakukannya, (baik) di awal bulan, pertengahan bulan atau di akhir bulan. Jika mau, (boleh) melakukannya secara terpisah atau beriringan.
Jadi, ujar Syaikh Abdul Aziz bin Baz, perkara ini fleksibel. Jika menyegerakan dan melakukannya secara berurutan di awal bulan, maka itu afdhal. Sebab menunjukkan bersegera melakukan kebaikan.
Para ulama menganjurkan (istihbab) pelaksanaan puasa enam hari dikerjakan setelah langsung hari Idul Fitri. Tujuannya, sebagai cerminan menyegerakan dalam melaksanakan kebaikan. Ini untuk menunjukkan bukti kecintaan kepada Allah, sebagai bukti tidak ada kebosanan beribadah (berpuasa) pada dirinya, untuk menghindari faktor-faktor yang bisa menghalanginya berpuasa, jika ditunda-tunda.
Syaikh ‘Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd menjelaskan dalam hadis ini (yaitu hadis tentang puasa enam hari pada bulan Syawwal), tidak ada nash yang menyebutkan pelaksanaannya secara berurutan ataupun terpisah-pisah.
Begitu pula, tidak ada nash yang menyatakan pelaksanaannya langsung setelah hari raya ‘Idul Fithri. Berdasarkan hal ini, siapa saja yang melakukan puasa tersebut setelah hari Raya Idul Fitri secara langsung atau sebelum akhir Syawal, baik melaksanakan dengan beriringan atau terpisah-pisah, maka diharapkan ia mendapatkan apa yang dijanjikan Nabi SAW. Sebab, itu semua menunjukkan ia telah berpuasa enam hari pada bulan Syawal setelah puasa bulan Ramadhan. Apalagi, terdapat kata sambung berbentuk tsumma, yang menunjukkan arti tarakhi (bisa dengan ditunda)”.
Seseorang yang berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah berpuasa Ramadhan, seolah-olah ia berpuasa setahun penuh. Penjelasannya, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Bulan Ramadhan laksana sepuluh bulan.
Sementara enam hari bagai dua bulan. Maka hitungannya menjadi setahun penuh. Sehingga dapat diraih pahala ibadah setahun penuh tanpa kesulitan, sebagai kemurahan dari Allah dan kenikmatan bagi para hambaNya.
Baca Juga
Dari Tsauban ra, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ
Barangsiapa berpuasa Ramadhan, satu bulan seperti sepuluh bulan dan berpuasa enam hari setelah hari Idul Fithri, maka itu merupakan kesempurnaan puasa setahun penuh.[Hadits shahih, riwayat Ahmad, 5/280; an Nasaa-i, 2860; dan Ibnu Majah, 1715. Lihat pula Shahih Fiqhis Sunnah, 2/134]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, di dalam "Majmu’ Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah" menyatakan, puasa enam hari di bulan Syawal memiliki dasar dari Rasulullah. Pelaksanaannya, boleh dengan berurutan ataupun terpisah-pisah.
Rasulullah SAW menyebutkan pelaksanaannya secara mutlak, dan tidak menyebutkan caranya dilakukan dengan berurutan atau terpisah.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun.[HR Muslim]
Beliau juga berpendapat, seluruh bulan Syawal merupakan waktu untuk puasa enam hari.
Terdapat riwayat dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian melanjutkannya enam hari dari bulan Syawal, maka ia seperti puasa satu tahun.[HR Muslim]
Hari pelaksanaannya tidak tertentu dalam bulan Syawal. Seorang mukmin boleh memilih kapan saja mau melakukannya, (baik) di awal bulan, pertengahan bulan atau di akhir bulan. Jika mau, (boleh) melakukannya secara terpisah atau beriringan.
Jadi, ujar Syaikh Abdul Aziz bin Baz, perkara ini fleksibel. Jika menyegerakan dan melakukannya secara berurutan di awal bulan, maka itu afdhal. Sebab menunjukkan bersegera melakukan kebaikan.
Para ulama menganjurkan (istihbab) pelaksanaan puasa enam hari dikerjakan setelah langsung hari Idul Fitri. Tujuannya, sebagai cerminan menyegerakan dalam melaksanakan kebaikan. Ini untuk menunjukkan bukti kecintaan kepada Allah, sebagai bukti tidak ada kebosanan beribadah (berpuasa) pada dirinya, untuk menghindari faktor-faktor yang bisa menghalanginya berpuasa, jika ditunda-tunda.
Syaikh ‘Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd menjelaskan dalam hadis ini (yaitu hadis tentang puasa enam hari pada bulan Syawwal), tidak ada nash yang menyebutkan pelaksanaannya secara berurutan ataupun terpisah-pisah.
Begitu pula, tidak ada nash yang menyatakan pelaksanaannya langsung setelah hari raya ‘Idul Fithri. Berdasarkan hal ini, siapa saja yang melakukan puasa tersebut setelah hari Raya Idul Fitri secara langsung atau sebelum akhir Syawal, baik melaksanakan dengan beriringan atau terpisah-pisah, maka diharapkan ia mendapatkan apa yang dijanjikan Nabi SAW. Sebab, itu semua menunjukkan ia telah berpuasa enam hari pada bulan Syawal setelah puasa bulan Ramadhan. Apalagi, terdapat kata sambung berbentuk tsumma, yang menunjukkan arti tarakhi (bisa dengan ditunda)”.
(mhy)