Perlunya Memahami Esensi Silaturahmi untuk Jaga Kerukunan Kebangsaan
loading...
A
A
A
SUKOHARJO - Tepatlah jika dikatakan bulan Syawal bagi masyarakat Nusantara dianggap sebagai bulan silaturahmi. Mudik ke kampung halaman, halalbihalal, saling memaafkan dan berkumpul bersama menjadi tradisi unik dalam memaknai hari kemenangan sepanjang bulan Syawal tersebut.
Tradisi dan kearifan lokal seperti ini dalam memaknai ajaran agama menjadi penting untuk mengikat persaudaraan dan solidaritas di tengah keragaman bangsa.
Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Muayyad Windan, Sukoharjo,Jawa Tengah, KHMohammad Dian Nafi' menjelaskan, silaturahmi memiliki andil besar dalam mendukung kerukunan dan penerimaan terhadap keragaman, bahkan menjadikannya modalitas untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
"Bangsa Indonesia terdiri atas 1.340 suku bangsa. Perjuangan bangsa Indonesia berhasil sukses karena bisa menyingkirkan sikap-sikap negatif seperti kebencian dan intoleransi sejak awal. Dan bangsa Indonesia diuntungkan oleh kebiasaannya untuk mendewasakan diri dengan berbagai perjumpaan," ujarKHMohammad Dian Nafi, dikutip Selasa (17/5/2022).
Dia melanjutkan, hal tersebut bahkan dibuktikan dengan berbagai kekuatan asing yang telah masuk silih berganti ke dalam masyarakat suku Indonesia. Beruntung kerjasama antarsuku selalu menambahkan kekuatan suku-suku untuk mempertahankan kepribadian yang mereka miliki.
“Karena ada kekuatan yang terus berkembang, yaitu kesadaran sebagai sebuah himpunan besar yang lebih kuat, yaitu Bangsa Indonesia yang terjalin melalui silaturahmi,” ucap pria yang juga Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) ini.
Sehingga dia menilai dibutuhkannya upaya kongkrit yang positif guna mewujudkan rasa memperkuat, mempererat persaudaraan kebangsaan dan saling mengenal sebagai upaya mengebalkan imunitas, khususnya dari paham intoleransi dan radikalisme.
"Untuk mewujudkan rasa memperkuat dan mempererat persaudaraan kebangsaan adalah melalui pengamalan agama, pendidikan, kegiatan hidup penduduk sehari-hari, dan kekuatan untuk mengurus ihwal penegakan norma di antara mereka," tutur KH Dian Nafi.
Menurutnya, dalam ajaran agama-agama sendiri selalu memuat segi-segi yang memperkuat kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kerjasama, kepedulian dan perdamaian.
Tidak hanya itu, pengamalan Pancasila sebagai pandangan hidup juga mencegah masyarakat kehilangan kekuatan sebagai sebuah bangsa serta dari kehilangan rahmat Ilahi.
"Dengan itu masyarakat Indonesia menguatkan imunitasnya dari gagasan-gagasan yang merusak kemanusiaan dan persatuan," ujarnya.
KH Dian Nafi yang juga Ketua Pembina Yayasan Perdamaian Lintas Agama dan Golongan ini, bahkan menilai bahwa tradisi mudik yang identik dengan momen Lebaran, memiliki fungsi psikososial untuk memulihkan kesegaran mental guna memperbaiki penghidupan.
"Silaturahmi sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Saling menyapa dan berkunjung. Dan mudik, bermanfaat untuk menapak kembali sejarah para pendahulu, meneguhkan kearifan tempat kelahiran, membangun kohesi sosial, pemerataan pendapatan keluarga dan pemantauan publik atas hasil-hasil pembangunan," jelas pria kelahiran Sragen, 4 April 1964 ini.
Tidak hanya itu, dirinya juga turut menanggapi terkait fenomena generasi muda yang kini terkesan enggan melestarikan dan bahkan cenderung melupakan tradisi silataurahmi yang sudah mengakar di masyarakat sejak dahulu kala.
"Generasi muda terkadang asyik dengan habitus dan gawai yang ada pada diri mereka. Di situlah muncul tantangan di kalangan orang tua dan pendidik untuk memperhatikan segi-segi relevansi di dalam muatan pendidikan dalam pengasuhan bagi anak-anak," jelasnya.
Ia menilai, keengganan generasi muda untuk bersilaturahmi sejatinya bukanlah merupakan gejala esensial dalam kehidupan bermasyarakat, melainkan suatu trend yang terbatas waktu. Dirinya bahkan memandang bahwa di kalangan sebagian generasi muda, bersilaturahmi merupakan kegembiraan kreatif yang bisa mereka abadikan di dalam vlog dan rekaman fotografis dan videografis.
"Persepsi generasi muda terhadap kehidupan tradisional tidak harus selalu dilihat dalam kerangka baik dan buruk. Itu muncul sebagai realitas dan dinamika. sebagai konsekuensi logis atas penguasaan ilmu pengetahuan dan wawasan baru oleh kalangan generasi muda," tegasnya.
Oleh karenanya, pria yang kerap terlibat dalam konferensi perdamaian di beberapa negara ini, menilai setidaknya ada empat harmoni yang perlu dijadikan pembekalan terhadap generasi muda termasuk sejarah perjuangan bangsa di masa lalu.
"Pertama, harmoni alamiah, yaitu generasi muda berhak dan butuh untuk mengeksplorasi lingkungan alamiahnya. ini penting untuk menamkan kecintaan kepada bumi pertiwi dan wawasan kedaulatan teritorial Indonesia," ucapnya.
Yang kedua, harmoni sosial, yang memuat di dalamnya ihwal kerukuan di antara sesama warga bangsa yang merupakan modalitas hidup yang dinamis, yang menggerakkan rumah tangga alam (ekologi) Indonesia dan rumah tangga manusia (ekonomi).
Tradisi dan kearifan lokal seperti ini dalam memaknai ajaran agama menjadi penting untuk mengikat persaudaraan dan solidaritas di tengah keragaman bangsa.
Baca Juga
Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Muayyad Windan, Sukoharjo,Jawa Tengah, KHMohammad Dian Nafi' menjelaskan, silaturahmi memiliki andil besar dalam mendukung kerukunan dan penerimaan terhadap keragaman, bahkan menjadikannya modalitas untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
"Bangsa Indonesia terdiri atas 1.340 suku bangsa. Perjuangan bangsa Indonesia berhasil sukses karena bisa menyingkirkan sikap-sikap negatif seperti kebencian dan intoleransi sejak awal. Dan bangsa Indonesia diuntungkan oleh kebiasaannya untuk mendewasakan diri dengan berbagai perjumpaan," ujarKHMohammad Dian Nafi, dikutip Selasa (17/5/2022).
Dia melanjutkan, hal tersebut bahkan dibuktikan dengan berbagai kekuatan asing yang telah masuk silih berganti ke dalam masyarakat suku Indonesia. Beruntung kerjasama antarsuku selalu menambahkan kekuatan suku-suku untuk mempertahankan kepribadian yang mereka miliki.
“Karena ada kekuatan yang terus berkembang, yaitu kesadaran sebagai sebuah himpunan besar yang lebih kuat, yaitu Bangsa Indonesia yang terjalin melalui silaturahmi,” ucap pria yang juga Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) ini.
Sehingga dia menilai dibutuhkannya upaya kongkrit yang positif guna mewujudkan rasa memperkuat, mempererat persaudaraan kebangsaan dan saling mengenal sebagai upaya mengebalkan imunitas, khususnya dari paham intoleransi dan radikalisme.
"Untuk mewujudkan rasa memperkuat dan mempererat persaudaraan kebangsaan adalah melalui pengamalan agama, pendidikan, kegiatan hidup penduduk sehari-hari, dan kekuatan untuk mengurus ihwal penegakan norma di antara mereka," tutur KH Dian Nafi.
Menurutnya, dalam ajaran agama-agama sendiri selalu memuat segi-segi yang memperkuat kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kerjasama, kepedulian dan perdamaian.
Tidak hanya itu, pengamalan Pancasila sebagai pandangan hidup juga mencegah masyarakat kehilangan kekuatan sebagai sebuah bangsa serta dari kehilangan rahmat Ilahi.
"Dengan itu masyarakat Indonesia menguatkan imunitasnya dari gagasan-gagasan yang merusak kemanusiaan dan persatuan," ujarnya.
KH Dian Nafi yang juga Ketua Pembina Yayasan Perdamaian Lintas Agama dan Golongan ini, bahkan menilai bahwa tradisi mudik yang identik dengan momen Lebaran, memiliki fungsi psikososial untuk memulihkan kesegaran mental guna memperbaiki penghidupan.
"Silaturahmi sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Saling menyapa dan berkunjung. Dan mudik, bermanfaat untuk menapak kembali sejarah para pendahulu, meneguhkan kearifan tempat kelahiran, membangun kohesi sosial, pemerataan pendapatan keluarga dan pemantauan publik atas hasil-hasil pembangunan," jelas pria kelahiran Sragen, 4 April 1964 ini.
Tidak hanya itu, dirinya juga turut menanggapi terkait fenomena generasi muda yang kini terkesan enggan melestarikan dan bahkan cenderung melupakan tradisi silataurahmi yang sudah mengakar di masyarakat sejak dahulu kala.
"Generasi muda terkadang asyik dengan habitus dan gawai yang ada pada diri mereka. Di situlah muncul tantangan di kalangan orang tua dan pendidik untuk memperhatikan segi-segi relevansi di dalam muatan pendidikan dalam pengasuhan bagi anak-anak," jelasnya.
Ia menilai, keengganan generasi muda untuk bersilaturahmi sejatinya bukanlah merupakan gejala esensial dalam kehidupan bermasyarakat, melainkan suatu trend yang terbatas waktu. Dirinya bahkan memandang bahwa di kalangan sebagian generasi muda, bersilaturahmi merupakan kegembiraan kreatif yang bisa mereka abadikan di dalam vlog dan rekaman fotografis dan videografis.
"Persepsi generasi muda terhadap kehidupan tradisional tidak harus selalu dilihat dalam kerangka baik dan buruk. Itu muncul sebagai realitas dan dinamika. sebagai konsekuensi logis atas penguasaan ilmu pengetahuan dan wawasan baru oleh kalangan generasi muda," tegasnya.
Oleh karenanya, pria yang kerap terlibat dalam konferensi perdamaian di beberapa negara ini, menilai setidaknya ada empat harmoni yang perlu dijadikan pembekalan terhadap generasi muda termasuk sejarah perjuangan bangsa di masa lalu.
"Pertama, harmoni alamiah, yaitu generasi muda berhak dan butuh untuk mengeksplorasi lingkungan alamiahnya. ini penting untuk menamkan kecintaan kepada bumi pertiwi dan wawasan kedaulatan teritorial Indonesia," ucapnya.
Yang kedua, harmoni sosial, yang memuat di dalamnya ihwal kerukuan di antara sesama warga bangsa yang merupakan modalitas hidup yang dinamis, yang menggerakkan rumah tangga alam (ekologi) Indonesia dan rumah tangga manusia (ekonomi).