Memuliakan Istri, Menjaga Amanah Allah Ta'ala
loading...
A
A
A
Seorang suami harus mengetahui bahwa istri adalah amanah yang dibebankan kepadanya, sehingga harus bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dalam memikul amanah tersebut. Dia juga harus mengajarinya masalah agama dan memberitahukan kepadanya berbagai kewajiban yang harus dilakukannya.
Dari Jabir radhiyallahu'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,
"Bertakwalah kepada Allah dalam memperlakukan para wanita, karena kalian telah mengambil mereka (sebagai istri) dengan perjanjian Allah dan menghalalkan hubungan suami istri dengan kalimat Allah." (HR. Muslim)
Dalam hadis yang mulia ini terdapat pelajaran tentang pentingnya memperhatikan hak para istri , memberi nasihat dan mempergauli dengan baik.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,
“Dalam hadis ini terdapat dorongan untuk memperhatikan hak para wanita, berwasiat kepada mereka dan mempergauli mereka dengan baik.” (Kitab Syarhu Muslim)
Artinya bahwa suami wajib berlaku baik kepada istri. Dan pemuliaan terhadap istri syari’at Allah ta’ala.
Dalam Sunan Abu Daud, Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah berkata :
“Makna hadis ini: Karena kalian wahai para suami telah menikahi istri-istri kalian dengan syari’at Allah, maka mereka adalah amanah-amanah di pundak kalian, hendaklah kalian berusaha menjaga amanah ini, tidak boleh menyakiti istri-istri kalian, tidak boleh berlaku jelek kepada mereka, tapi hendaklah kalian berbuat baik kepada mereka, mempergauli dengan cara yang ma’ruf dan berinteraksi dengan cara yang ma’ruf.”
Kewajiban suami untuk menunaikan hak agama dan duniawi bagi istri; hak agama adalah kebutuhan terhadap pendidikan agama dan penjagaan dari perbuatan-perbuatan syirik, bid’ah maupun maksiat. Adapun hak duniawi adalah kebutuhan fisik.
Al-Imam Az-Zarqoni rahimahullah berkata :
“Makna hadis ini: Allah telah memberi amanah kepada kalian wahai suami atas istri-istri kalian, maka wajib menjaga amanah dan memeliharanya dengan memperhatikan hak-haknya dan kemaslahatan-kemaslahatannya secara agama maupun dunia.” [Mir’aatul Mafaatih Syarhu Misykah)
Dijelaskan pula bahwa kewajiban istri untuk selalu tunduk dan patuh kepada suami selama bukan dalam perkara maksiat.
Al-Imam Al-Mubaarakfuri rahimahullah berkata :
“Bahwa dalam sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, ‘Kalian (wahai para suami) telah mengambil mereka (sebagai istri)’ adalah dalil yang menunjukkan bahwa istri bagaikan tawanan yang terpenjara di rumah suaminya, dan seorang suami memiliki hak dan kekuasaan untuk mengaturnya sesuai ketentuan yang dijelaskan syari’at, dan ini sesuai dengan sabda beliau yang lain, “Karena sesungguhnya istri-istri kalian adalah ‘awaanun ‘tawanan-tawanan’ kalian”, maka kata “‘awaanun” adalah jama’nya “‘aaniyah” yang berarti tawanan, akan tetapi ia bukan tawanan yang sedang ketakutan sebagaimana para tawanan yang lain, tetapi ia adalah tawanan yang aman.”
Hadis Nabi di atas juga menyiratkan bahwa menikah adalah pengamalan terhadap syari’at Allah ta’ala dan penghalal terhadap hubungan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram.
Adapun hubungan antara lawan jenis yang tidak didasari pernikahan seperti pacaran maka hukumnya haram dan akan mengantarkan kepada keharaman yang lebih besar seperti zina, perselingkuhan, perceraian, keretakan keluarga dan kerusakan masyarakat.
Allah Ta’ala telah mengingatkan,
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” [QS Al-Isra: 32]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Telah ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan mengenainya tidak mungkin tidak, maka kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah meraba, kaki zinanya adalah melangkah, hati bernafsu dan berkeinginan, dan yang membenarkan serta mendustakan semua itu adalah kemaluan.” [HR. Muslim]
Wallahu A'lam
Dari Jabir radhiyallahu'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُم أَخَذتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ وَاستَحلَلتُم فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ
"Bertakwalah kepada Allah dalam memperlakukan para wanita, karena kalian telah mengambil mereka (sebagai istri) dengan perjanjian Allah dan menghalalkan hubungan suami istri dengan kalimat Allah." (HR. Muslim)
Dalam hadis yang mulia ini terdapat pelajaran tentang pentingnya memperhatikan hak para istri , memberi nasihat dan mempergauli dengan baik.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,
فِيهِ الْحَثّ عَلَى مُرَاعَاة حَقّ النِّسَاء وَالْوَصِيَّة بِهِنَّ وَمُعَاشَرَتهنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dalam hadis ini terdapat dorongan untuk memperhatikan hak para wanita, berwasiat kepada mereka dan mempergauli mereka dengan baik.” (Kitab Syarhu Muslim)
Artinya bahwa suami wajib berlaku baik kepada istri. Dan pemuliaan terhadap istri syari’at Allah ta’ala.
Dalam Sunan Abu Daud, Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah berkata :
“Makna hadis ini: Karena kalian wahai para suami telah menikahi istri-istri kalian dengan syari’at Allah, maka mereka adalah amanah-amanah di pundak kalian, hendaklah kalian berusaha menjaga amanah ini, tidak boleh menyakiti istri-istri kalian, tidak boleh berlaku jelek kepada mereka, tapi hendaklah kalian berbuat baik kepada mereka, mempergauli dengan cara yang ma’ruf dan berinteraksi dengan cara yang ma’ruf.”
Kewajiban suami untuk menunaikan hak agama dan duniawi bagi istri; hak agama adalah kebutuhan terhadap pendidikan agama dan penjagaan dari perbuatan-perbuatan syirik, bid’ah maupun maksiat. Adapun hak duniawi adalah kebutuhan fisik.
Al-Imam Az-Zarqoni rahimahullah berkata :
“Makna hadis ini: Allah telah memberi amanah kepada kalian wahai suami atas istri-istri kalian, maka wajib menjaga amanah dan memeliharanya dengan memperhatikan hak-haknya dan kemaslahatan-kemaslahatannya secara agama maupun dunia.” [Mir’aatul Mafaatih Syarhu Misykah)
Dijelaskan pula bahwa kewajiban istri untuk selalu tunduk dan patuh kepada suami selama bukan dalam perkara maksiat.
Al-Imam Al-Mubaarakfuri rahimahullah berkata :
“Bahwa dalam sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, ‘Kalian (wahai para suami) telah mengambil mereka (sebagai istri)’ adalah dalil yang menunjukkan bahwa istri bagaikan tawanan yang terpenjara di rumah suaminya, dan seorang suami memiliki hak dan kekuasaan untuk mengaturnya sesuai ketentuan yang dijelaskan syari’at, dan ini sesuai dengan sabda beliau yang lain, “Karena sesungguhnya istri-istri kalian adalah ‘awaanun ‘tawanan-tawanan’ kalian”, maka kata “‘awaanun” adalah jama’nya “‘aaniyah” yang berarti tawanan, akan tetapi ia bukan tawanan yang sedang ketakutan sebagaimana para tawanan yang lain, tetapi ia adalah tawanan yang aman.”
Hadis Nabi di atas juga menyiratkan bahwa menikah adalah pengamalan terhadap syari’at Allah ta’ala dan penghalal terhadap hubungan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram.
Adapun hubungan antara lawan jenis yang tidak didasari pernikahan seperti pacaran maka hukumnya haram dan akan mengantarkan kepada keharaman yang lebih besar seperti zina, perselingkuhan, perceraian, keretakan keluarga dan kerusakan masyarakat.
Allah Ta’ala telah mengingatkan,
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” [QS Al-Isra: 32]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُه
“Telah ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan mengenainya tidak mungkin tidak, maka kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah meraba, kaki zinanya adalah melangkah, hati bernafsu dan berkeinginan, dan yang membenarkan serta mendustakan semua itu adalah kemaluan.” [HR. Muslim]
Wallahu A'lam
(wid)