Kisah Harun Al-Rasyid di Bawah Ancaman Dinasti Idrisiyah dan Kekaisaran Carolingian
loading...
A
A
A
Di Eropa, nama Charles Martel melambung menjadi simbol nasionalisme dan agama. Kemenangannya dalam Battle of Tours menjadi sumber legitimasi untuk mendirikan kekuasaan yang lebih besar dari sekadar wilayah tradisional Prancis atau yang lebih dikenal sebagai bangsa Frank.
Dari sinilah lahir kekaisaran Carolingian, yang menjadi dasar berdirinya identitas bangsa Eropa yang kita kenal hari ini. Kekaisaran ini mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan cucu Charles Martel yang bernama Charlemagne. Dia dilantik menjadi raja Carolingian pada 768 M dan wafat pada tahun 814, atau sezaman dengan Harun Al-Rasyid yang memerintah selama 22 tahun, dari tahun 170 H/ 787 M sampai 192 H/ 809M.
Di bawah pemerintahan Charlemagne, Kekaisaran Carolingian meliputi sebagian besar Eropa Barat, setara dengan luasnya wilayah Kekaisaran Romawi di masa lalu. Bahkan bila dibandingkan secara kualitatif, bisa dikatakan Charlemagne melampaui capaian Romawi atas Eropa.
Bila bangsa Romawi sempat menaklukkan Jerman dalam sebuah pertempuran, Charlemagne secara meyakinkan menghancurkan semua perlawanan Jerman dan memperluas wilayahnya ke Elbe, bahkan memiliki pengaruh hingga ke kawasan Stepa di Rusia.
Philip K. Hitti dalam buku berjudul “History of The Arabs; From The Earliest Time To The Present” menyebut pesaing utama Kekaisaran Carolingian pada masa itu adalah Bizantium yang menguasai wilayah timur Eropa. Sedang pesaing Dinasti Abbasiyah di dunia Islam adalah Dinasti Umayyah II yang berada di Andalusia.
Harun Al-Rasyid yang sejak awal menjadi penakluk Bizantium, telah berhasil membuat agregat kekuatan antara Bizantium dengan Carolingian menjadi seimbang. Sedang di sisi lain, keberadaan Carolingian di Eropa sudah membuat Dinasti Umayyah II tidak mampu mengembangkan lebih jauh pengaruhnya. Dengan adanya realitas ini, hubungan antara kedua pemimpin adidaya dunia itu berubah menjadi aliansi strategis.
Philip K. Hitti mengisahkan bahwa dalam hal kemakmuran dan kemajuan peradaban, Kekaisaran Carolingian sebenarnya bukanlah tandingan Dinasti Abbasiyah. Namun Harun Al-Rasyid melihat adanya keuntungan strategis dari hubungan baik ini. Oleh sebab itu dia tetap berusaha menjaga hubungan dengan Kekaisaran Carolingian. Catatan Eropa bahkan menyebutkan bahwa Charlemagne pernah mendapat hadiah yang luar biasa dari Raja Persia yang bernama Aroon. Hadiah tersebut mencakup kain-kain yang bagus, wewangian, dan gajah.
Informasi tersebut menunjukkan secara jelas nilai strategis Kekaisaran Carolingian bagi Harun Al-Rasyid pada masa itu. Dengan mengunci pertumbuhan Dinasti Umayyah II di Andalusia, Dinasti Abbasiyah bisa leluasa berkembang menjadi satu-satunya penguasa di dunia Islam.
Demikian juga dengan Kekaisaran Carolingian, dengan adanya gesekan kekuatan antara Bizantium dan Dinasti Abbasiyah di timur, dia bisa leluasa mengembangkan pengaruhnya di kawasan Eropa. Dan sebagaimana sejarah membuktikan, bahwa Kekaisaran Carolingian lah yang pertama-tama membentuk identitas bangsa Eropa yang kita kenal sampai hari ini.
Dari sinilah lahir kekaisaran Carolingian, yang menjadi dasar berdirinya identitas bangsa Eropa yang kita kenal hari ini. Kekaisaran ini mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan cucu Charles Martel yang bernama Charlemagne. Dia dilantik menjadi raja Carolingian pada 768 M dan wafat pada tahun 814, atau sezaman dengan Harun Al-Rasyid yang memerintah selama 22 tahun, dari tahun 170 H/ 787 M sampai 192 H/ 809M.
Di bawah pemerintahan Charlemagne, Kekaisaran Carolingian meliputi sebagian besar Eropa Barat, setara dengan luasnya wilayah Kekaisaran Romawi di masa lalu. Bahkan bila dibandingkan secara kualitatif, bisa dikatakan Charlemagne melampaui capaian Romawi atas Eropa.
Bila bangsa Romawi sempat menaklukkan Jerman dalam sebuah pertempuran, Charlemagne secara meyakinkan menghancurkan semua perlawanan Jerman dan memperluas wilayahnya ke Elbe, bahkan memiliki pengaruh hingga ke kawasan Stepa di Rusia.
Philip K. Hitti dalam buku berjudul “History of The Arabs; From The Earliest Time To The Present” menyebut pesaing utama Kekaisaran Carolingian pada masa itu adalah Bizantium yang menguasai wilayah timur Eropa. Sedang pesaing Dinasti Abbasiyah di dunia Islam adalah Dinasti Umayyah II yang berada di Andalusia.
Harun Al-Rasyid yang sejak awal menjadi penakluk Bizantium, telah berhasil membuat agregat kekuatan antara Bizantium dengan Carolingian menjadi seimbang. Sedang di sisi lain, keberadaan Carolingian di Eropa sudah membuat Dinasti Umayyah II tidak mampu mengembangkan lebih jauh pengaruhnya. Dengan adanya realitas ini, hubungan antara kedua pemimpin adidaya dunia itu berubah menjadi aliansi strategis.
Philip K. Hitti mengisahkan bahwa dalam hal kemakmuran dan kemajuan peradaban, Kekaisaran Carolingian sebenarnya bukanlah tandingan Dinasti Abbasiyah. Namun Harun Al-Rasyid melihat adanya keuntungan strategis dari hubungan baik ini. Oleh sebab itu dia tetap berusaha menjaga hubungan dengan Kekaisaran Carolingian. Catatan Eropa bahkan menyebutkan bahwa Charlemagne pernah mendapat hadiah yang luar biasa dari Raja Persia yang bernama Aroon. Hadiah tersebut mencakup kain-kain yang bagus, wewangian, dan gajah.
Informasi tersebut menunjukkan secara jelas nilai strategis Kekaisaran Carolingian bagi Harun Al-Rasyid pada masa itu. Dengan mengunci pertumbuhan Dinasti Umayyah II di Andalusia, Dinasti Abbasiyah bisa leluasa berkembang menjadi satu-satunya penguasa di dunia Islam.
Demikian juga dengan Kekaisaran Carolingian, dengan adanya gesekan kekuatan antara Bizantium dan Dinasti Abbasiyah di timur, dia bisa leluasa mengembangkan pengaruhnya di kawasan Eropa. Dan sebagaimana sejarah membuktikan, bahwa Kekaisaran Carolingian lah yang pertama-tama membentuk identitas bangsa Eropa yang kita kenal sampai hari ini.
(mhy)