Kisah Harun Al-Rasyid di Bawah Ancaman Dinasti Idrisiyah dan Kekaisaran Carolingian

Selasa, 31 Mei 2022 - 18:25 WIB
loading...
Kisah Harun Al-Rasyid di Bawah Ancaman Dinasti Idrisiyah dan Kekaisaran Carolingian
Pada tahun kedua pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid, wilayah Dinasti Abbasiyah mendapat rongrongan baru dengan lahirnya Dinasti Idrisiyah dan bangkitnya Kekaisaran Carolingian. Foto/ilustrasi: Ist
A A A
Pada tahun kedua, atau pada tahun 172 H, pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid , wilayah Dinasti Abbasiyah mendapat rongrongan baru dengan lahirnya Dinasti Idrisiyah di Maroko dan bangkitnya Kekaisaran Carolingian di Eropa Barat.



Akbar Shah Najeebabadi dalam buku berjudul "The History Of Islam" menceritakan Idris bin Abdullah bin Hasan bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, berhasil mendirikan sebuah dinasti baru di Maroko yang bernama Dinasti Idrisiyah.

Idris bin Abdullah dan adiknya bernama Yahya bin Abdullah adalah anak keturunan Ali bin Abi Thalib yang berhasil meloloskan diri dari upaya pembantaian pasukan Abbasiyah terhadap keturunan Ali bin Abi Thalib pada masa pemerintahan Al-Hadi.

Setelah Idris bin Abdullah berhasil melarikan diri dari kejaran pasukan Khalifah Al-Hadi, dia kemudian pergi ke Mesir. Di sana dia mendapatkan bantuan dari tokoh setempat, dan kemudian melarikan diri lebih jauh ke daerah Maroko.

Maroko ketika itu adalah ujung terakhir wilayah Dinasti Abbasiyah di barat. Wilayah ini berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Bani Umayyah II di Andalusia .

Di tempat itu, Idris bin Abdullah diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat Barber yang merupakan suku asli Afrika Utara. Dia kemudian memimpin revolusi di Kota Dalilah dan berhasil menggulingkan kekuasaan Abbasiyah di wilayah tersebut.

Setelah itu dia mendapat bai’at dari masyarakat setempat untuk menjadi penguasa di sana. Idris bin Abdullah kemudian menyatakan merdeka dan memisahkan diri dari Dinasti Abbasiyah.



Dinasti yang didirikannya ini menjadi pemerintahan pertama yang didirikan oleh kekuatan politik Syiah, sebelum nanti akan bermutasi menjadi lebih kuat dalam wujud Dinasti Fatimiyah.

Mendengar bangkitnya kekuatan baru di Maroko, Harun Al-Rasyid seakan tidak menggubris. Tidak ada gerakan prajurit ataupun rencana ekspedisi militer. Tapi dia mengirim agen khusus bernama Sulaiman bin Jarir – atau yang oleh masyarakat Barber dikenal dengan nama Shumakh – untuk membunuh Idris bin Abdullah.

Hal pertama yang dilakukan oleh Shumakh ketika sampai di Maroko, adalah membaiat Idris dan menyatakan kebencian pada Harun Al-Rasyid. Ini dilakukannya untuk menarik simpati dari penguasa Idrisiyah.

Lambat laun, dia pun berhasil masuk dalam lingkaran istana Idris dan menjadi salah satu orang kepercayaannya. Cukup lama Shumakh menunggu waktu yang tepat untuk melakukan eksekusinya secara sempurna.

Baru di tahun 177 H, dia menemukan kesempatan tersebut. Suatu hari dia berhasil memasukkan racun ke minuman Idris yang mengakibatkannya meninggal dunia. Setelah misinya berhasil, Shumakh pun kembali ke Baghdad.

Akan tetapi, meski pun ditinggal mati oleh pendirinya, Dinasti Idrisiyah tetap berdiri. Kelak Idris bin Abdullah digantikan oleh putranya yang lahir dari wanita keturunan Barber. Anak itu juga bernama Idris seperti ayahnya.



Putranya ini berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga berhasil merebut Tunisia. Pada era Harun Al-Rasyid, wilayah terirorial Abbasiyah yang awalnya direbut dari Umayyah, pelan-pelan menyusut.

Kekaisaran Carolingian
Sementara itu, di tempat yang berbeda, tepatnya di daratan Eropa Barat, lahir sebuah imperium baru bernama Kekaisaran Carolingian. Kekaisaran ini didirikan oleh Charles Martel tokoh legendaris Eropa yang mencuat namanya setelah berhasil menghalau penetrasi Bani Umayyah dalam pertempuran di daerah Tours (Prancis sekarang) pada tahun 732 M.

Pertempuran bersejarah ini kemudian dikenal masyarakat barat dengan istilah “Battle of Tours”. Kemenangannya dalam Battle of Tours ini menjadi sumber inspirasi perlawanan bangsa Eropa yang ketika itu sudah pesimis dengan daya tahan mereka menghadapi gempuran kaum Muslimin yang terus berekspansi di selatan (Semenjung Iberia).

Setelah Battle of Tours, tidak terdengar lagi adanya rencana Bani Umayyah di Andalusia untuk meluaskan kekuasaanya di Eropa. Tidak mengherankan bila di kemudian hari, para sejarawan menganggap bahwa kemenangan Charles Martel dalam pertempuran ini tidak hanya menyelamatkan Eropa dari kooptasi kaum Muslimin, tapi juga menyelamatkan agama Kristen dari kepunahan.

Di Eropa, nama Charles Martel melambung menjadi simbol nasionalisme dan agama. Kemenangannya dalam Battle of Tours menjadi sumber legitimasi untuk mendirikan kekuasaan yang lebih besar dari sekadar wilayah tradisional Prancis atau yang lebih dikenal sebagai bangsa Frank.

Dari sinilah lahir kekaisaran Carolingian, yang menjadi dasar berdirinya identitas bangsa Eropa yang kita kenal hari ini. Kekaisaran ini mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan cucu Charles Martel yang bernama Charlemagne. Dia dilantik menjadi raja Carolingian pada 768 M dan wafat pada tahun 814, atau sezaman dengan Harun Al-Rasyid yang memerintah selama 22 tahun, dari tahun 170 H/ 787 M sampai 192 H/ 809M.

Di bawah pemerintahan Charlemagne, Kekaisaran Carolingian meliputi sebagian besar Eropa Barat, setara dengan luasnya wilayah Kekaisaran Romawi di masa lalu. Bahkan bila dibandingkan secara kualitatif, bisa dikatakan Charlemagne melampaui capaian Romawi atas Eropa.



Bila bangsa Romawi sempat menaklukkan Jerman dalam sebuah pertempuran, Charlemagne secara meyakinkan menghancurkan semua perlawanan Jerman dan memperluas wilayahnya ke Elbe, bahkan memiliki pengaruh hingga ke kawasan Stepa di Rusia.

Philip K. Hitti dalam buku berjudul “History of The Arabs; From The Earliest Time To The Present” menyebut pesaing utama Kekaisaran Carolingian pada masa itu adalah Bizantium yang menguasai wilayah timur Eropa. Sedang pesaing Dinasti Abbasiyah di dunia Islam adalah Dinasti Umayyah II yang berada di Andalusia.

Harun Al-Rasyid yang sejak awal menjadi penakluk Bizantium, telah berhasil membuat agregat kekuatan antara Bizantium dengan Carolingian menjadi seimbang. Sedang di sisi lain, keberadaan Carolingian di Eropa sudah membuat Dinasti Umayyah II tidak mampu mengembangkan lebih jauh pengaruhnya. Dengan adanya realitas ini, hubungan antara kedua pemimpin adidaya dunia itu berubah menjadi aliansi strategis.

Philip K. Hitti mengisahkan bahwa dalam hal kemakmuran dan kemajuan peradaban, Kekaisaran Carolingian sebenarnya bukanlah tandingan Dinasti Abbasiyah. Namun Harun Al-Rasyid melihat adanya keuntungan strategis dari hubungan baik ini. Oleh sebab itu dia tetap berusaha menjaga hubungan dengan Kekaisaran Carolingian. Catatan Eropa bahkan menyebutkan bahwa Charlemagne pernah mendapat hadiah yang luar biasa dari Raja Persia yang bernama Aroon. Hadiah tersebut mencakup kain-kain yang bagus, wewangian, dan gajah.

Informasi tersebut menunjukkan secara jelas nilai strategis Kekaisaran Carolingian bagi Harun Al-Rasyid pada masa itu. Dengan mengunci pertumbuhan Dinasti Umayyah II di Andalusia, Dinasti Abbasiyah bisa leluasa berkembang menjadi satu-satunya penguasa di dunia Islam.

Demikian juga dengan Kekaisaran Carolingian, dengan adanya gesekan kekuatan antara Bizantium dan Dinasti Abbasiyah di timur, dia bisa leluasa mengembangkan pengaruhnya di kawasan Eropa. Dan sebagaimana sejarah membuktikan, bahwa Kekaisaran Carolingian lah yang pertama-tama membentuk identitas bangsa Eropa yang kita kenal sampai hari ini.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1725 seconds (0.1#10.140)