Bolehkah Kaum Muslimah Salat Berjamaah? Begini Syarat dan Ketentuannya

Sabtu, 04 Juni 2022 - 15:59 WIB
loading...
Bolehkah Kaum Muslimah Salat Berjamaah? Begini Syarat dan Ketentuannya
Kaum muslimah diperbolehkan melaksanakan salat berjamaah, dengan ketentuan dan syarat yang sudah diatur oleh syariat. Foto istimewa
A A A
Seluruh ulama sepakat (ijma') bahwa kaum wanita muslimah tidak wajib mengerjakan salat berjamaah , akan tetapi syariat tetap membenarkan atau membolehkan mereka melakukan salat secara berjamaah. Hanya saja, ketika kaum wanita melaksanakan salat berjamaah ini ada beberapa cara dan syarat yang harus dipenuhi.

Dikutip dari kitab 'Fiqhus Sunnah Lin Nisaa' atau (Fiqih Sunnah untuk Wanita) yang ditulis Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, menjelaskan tentang tata cara salat jamaah bagi wanita ini. Sholat berjamaah bagi wanita dapat dilakukan dengan cara:

Kaum wanita mengerjakan salat berjamaah dengan imam seorang wanita. Cara ini dibedakan oleh syariat berdasarkan tiga alasan, yakni :

1. Pengertian umum hadis-hadis yang menyebut keutamaan salat berjamaah seperti sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:

"Sholat berjamaah dua puluh tujuh (derajat) lebih utama daripada sholat sendirian," (HR Bukhari dan Muslim)

2. Tidak ada dalil yang melarang wanita mengerjakan salat secara berjamaah
3. Beberapa sahabat wanita mengerjakan salat berjamaah seperti Ummu Salamah radhiyallahu'anhu dan Aisyah radhiyallahu'anhu.


Raithah Al Hanafiyah meriwayatkan bahwa Aisyahradhiyallahu'anhu pernah mengimani mereka. Ia berdiri di tengah mereka (barisan pertama) dalam sholat fardhu.(HR Abdurrazzaq dalam kitab Al-Munshannaf, dan Baihaqi). Riwayat ini shahih karena banyak riwayat lain yang menguatkannya (syawahid)

'Ammar Ad-Duhni meriwayatkan dari seorang wanita dari keluarganya yang dikenal dengan nama Hujairah bahwa Ummu Salamah pernah mengimani mereka dan berdiri di tengah (barisan pertama). (HR Abdurrazzaq dalam kitab Al-Munshannaf, dan Baihaqi. Riwayat ini shahih karena banyak riwayat lain yang menguatkannya (syawahid).

Praktik wanita sahabat ini tidak ada yang membantahnya sehingga layak menjadi dalil kebenaran seorang wanita mengimani jamaah wanita lain.

Kriteria wanita yang pantas menjadi imam jamaah wanita?
Dalam buku Fiqih Sunnah untuk Wanita ini juga dijelaskan, apabila sekelompok kaum wanita melakukan salat berjamaah, maka wanita yang paling layak menjadi imam mereka adalah wanita yang paling baik bacaan (dan pemahamannya) tentang Al-Qur'an. Jika dalam hal ini ada beberapa wanita yang seimbang, maka didahulukan wanita yang lebih mengerti sunnah. JIka mereka mengerjakan salat berjamaah dikerjakan di rumah, maka pemilik rumah lebih berhak menjadi imam, kecuali bila dia melimpahkan haknya kepada wanita lain.

Ini berdasarkan hadis Abu Mas'ud Al Anshari ra yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

"Imam suatu kaum adalah orang yang paling pandai membaca Al-Qur'an di antara mereka. Jika mereka seimbang dalam kemampuan memaca Al-Qur'an maka dipilih yang lebih mengerti sunnah. JIka mereka seimbang dalam pengetahuan tentang sunnah, maka dipilih yang lebih dulu hijrah...Janganlah seseorang menjadi imam di wilayah kekuasaan orang lain dan jangan pula duduk di rumahnya di tempat kehormatannya, kecuali bila diizinkan", (HR Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa'i dan Ibnu Majah).

Kemudian bagaimana posisi imam wanita dalam shalat berjamaah?
Imam wanita berdiri di tengah barisan (pertama) jamaah wanita dan bukan di depan mereka, seperti yang dilakukan Aisyah radhiyallahu'anha dan Ummu Salamah radhiyallahu'anha dalam riwayat di atas. Inilah pendapat mayoritas ulama salaf. Dan, jika sekelompok wanita melakukan salat berjamaah secara terpisah dan jauh dari kaum laki-laki, maka shaf yang paling utama adalah shaf pertama lalu disusul dengan shaf berikutnya.

Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:

"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya melimpahkan rahmat dan mendoakan orang-orang yang berada di shaf-shaf terdepan" (HR abu Dawud dan Nasa'i)

Tetapi jika mereka salat di belakang jamaah laki-laki, maka shaf paling utama bagi mereka adalah shaf paling belakang dan shaf paling buruk bagi mereka adalah shaf paling depan.

Apakah imam wanita mengerjakan sholat dengan suara yang jelas?

Imam wanita boleh mengeraskan suara dalam salat-salat yang dikerjakan dengan suara yang jelas, tapi jika ada laki-laki di sekitarnya maka dia tidak boleh mengeraskan suara, kecuali jika laki-laki tersebut masih mahramnya. Kedua, wanita melakukan sholat berjamaah di belakang jamaah laki-laki. Kaum wanita dibenarkan salat berjamaah di belakang kaum pria.

Ini didasarkan hadis Anas radhiyallahu'anha yang menyatakan bahwa: " Aku bersana seorang anak yatim piatu, bermakmum kepada Rasululah di rumah kami. Sedangkan ibuku, Ummu Sulaim, ikut salat di belakang kami". (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa'i)

Ummu Salamah menyatakan ," Ketika Rasulullah mengucapkan salam, kaum wanita langsung berdiri setelah beliau selesai mengucapkan salam, sedangkan beliau sendiri diam sejenak di tempatnya". (HR Bukhari, ABu Dawud, Nasa'i dan Ibnu Majah)

Dari dua hadis tersebut dan hadis hadis lainnya yang menjaleskan masalah ini, dipetik dua pelajaran penting yakni:
1. Wanita boleh salat di belakang shaf laki-laki
2. Wanita yang berdiri di belakang laki-laki, sekalipun tidak ada wanita lain yang menyertainya, ia tetap harus berdiri di shaf paling belakang sendirian. Begitu pula bila dia salat bersama seorang laki-laki yang masih mahramnya, tetap harus berdiri di belakangnya. Kalau seorang wanita bermakmum di belakang suami atau yang masih mahram dengannya, ini dibolehkan karena tidak ada ikhtilath yaitu campur baur yang terlarang di antara pria dan wanita karena masih mahram.



Namun jika wanita tersebut bermakmum sendirian di belakang imam yang bukan mahram tanpa ada jamaah wanita atau pria lainnya, maka ini terlarang. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ


“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya. (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi)

Namun boleh jika ada wanita yang lain, sedangkan imamnya sendiri tanpa ada jamaah pria karena pada saat ini sudah tidak ada fitnah (godaan dari wanita). Akan tetapi, jika masih ada fitnah, tetap hal ini tidak dibolehkan. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 510)

Lebih Baik Bagi Wanita Adalah Salat di Rumahnya

Wanita tetap diperkenankan mengerjakan salat berjamaah di masjid, namun salat wanita lebih baik adalah di rumahnya. Dari Ibnu ‘Umar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ


“Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk ke masjid, namun shalat di rumah mereka (para wanita) tentu lebih baik.” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini shahih)

Apabila wanita ingin melakukan sholat berjamaah di masjid, maka ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Minta izin kepada suami atau mahram terlebih dahulu dan hendaklah suami tidak melarangnya.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ إِلَى الْمَسَاجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ


“Jika istri kalian meminta izin pada kalian untuk ke masjid, maka izinkanlah mereka.” (HR. Muslim).

An Nawawi membawakan hadis ini dalam Bab “Keluarnya wanita ke masjid, jika tidak menimbulkan fitnah dan selama tidak menggunakan harum-haruman.” Bahkan tidak boleh seseorang menghalangi wanita atau istrinya ke masjid sebagaimana dapat dilihat dalam kisah berikut.

Dalam Shahih Muslim no. 442 dari jalan Salim bin Abdullah bin Umar bahwasanya Abdullah bin ‘Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا


“Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia.”

2. Tidak boleh menggunakan harum-haruman dan perhiasan yang dapat menimbulkan fitnah.

Dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلاَ تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الآخِرَةَ


“Wanita mana saja yang memakai harum-haruman, maka janganlah dia menghadiri salat Isya’ bersama kami.” (HR. Muslim)

Zainab -istri ‘Abdullah- mengatakan bahwa RasulullahShallalahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada para wanita,

إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيبًا


“Jika salah seorang di antara kalian ingin mendatangi masjid, maka janganlah memakai harum-haruman.” (HR. Muslim)

3. Jangan sampai terjadi ikhtilath (campur baur yang terlarang antara pria dan wanita) ketika masuk dan keluar dari masjid.

Dalilnya adalah hadits dari Ummu Salamah:

“Rasulullah salam dan ketika itu para wanita pun berdiri. Beliausendiri tetap berada di tempatnya beberapa saat sebelum dia berdiri. Kami menilai –wallahu a’lam- bahwa hal ini dilakukan agar wanita terlebih dahulu meninggalkan masjid supaya tidak berpapasan dengan kaum pria.” (HR. Bukhari)


Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2571 seconds (0.1#10.140)