Kisah Bijak Para Sufi: Raja Ingin Menjadi Dermawan

Kamis, 25 Juni 2020 - 06:39 WIB
loading...
Kisah Bijak Para Sufi: Raja Ingin Menjadi Dermawan
Bagi raja, kedermawanan ditentukan oleh pikiran orang lain tentang dirinya, dan oleh perasaannya tentang menjadi dermawan. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
KONON, seorang Raja Iran berkata kepada seorang darwis , "Ceritakan padaku sebuah kisah." Darwis itu berkata, "Yang Mulia, saya akan ceritakan kisah Hatim Tai, Raja Arab dan manusia paling murah hati sepanjang masa; bila paduka dapat menyamai kemurahan hatinya, niscaya paduka akan menjadi raja teragung yang pernah ada."



"Ceritakanlah," kata sang raja. "Tetapi kalau kau tidak menghiburku dan merendahkan kemurahan hatiku, kau akan kehilangan kepalamu." Raja itu berkata demikian sebab di Persia sudah biasa bahwa orang-orang di istana akan menyanjung-nyanjung raja sebagai orang paling agung di antara semua manusia; dulu, sekarang, atau besok.

"Saya lanjutkan," kata darwis itu dengan tenang (sebab para darwis tak mudah dibuat gentar). "Kemurahan hati Hatim Tai, dalam karakter maupun jiwa, melampaui semua manusia." Dan inilah kisah yang dituturkan darwis itu.

Seorang Raja Arab yang lain merasa iri atas kekayaan, desa dan oase, onta, serta prajurit yang dimiliki Hatim Tai. Orang ini pun menyatakan perang terhadap Hatim, mengutus suruhan dengan pesan: "Tunduklah padaku. Kalau tidak, aku akan melumat kau dan negerimu, dan merampas semua kepunyaanmu." ( )

Ketika pesan itu sampai ke istana Hatim, para penasihatnya serta-merta menyarankan agar raja mengerahkan seluruh prajurit untuk mempertahankan kerajaan itu. Kata mereka, "Tak diragukan lagi bahwa lelaki dan perempuan bertubuh sehat di negeri ini akan dengan senang hati menyerahkan nyawa untuk membela raja yang mereka cintai."

Tetapi, Hatim, di luar dugaan para penasihat itu, berkata, "Tidak, dari pada kalian bertempur dan menumpahkan darahmu bagiku, lebih baik aku pergi meninggalkan negeri ini. Kiranya jauh dari jalan kemurahan hati bila aku menjadi sebab pengorbanan hidup seorang lelah atau perempuan. Kalau kalian menyerah tanpa perlawanan, raja ini hanya akan menuntut pengabdian dan pajak, dan kalian tidak akan menderita dibuatnya. Sebaliknya kalau kalian melawan dan kalah, maka sesuai dengan kebiasaan perang ia akan merampas harta kalian, dan dengan begitu tak ada lagi sepeser pun milik kalian."

Tak lama kemudian, Hatim beserta seorang hamba yang gagah berani pergi ke dekat pegunungan, di mana ditemukannya sebuah gua. Di sana, ia membenamkan diri dalam perenungan.( )

Sebagian rakyat sangat terharu atas pengorbanan Hatim Tai yang merelakan kekayaan dan kedudukannya demi keselamatan mereka. Tetapi yang lain, terutama orang-orang yang senang mendapat nama dalam hal keberanian, menggerutu, "Bagaimana Hatim tahu bahwa orang ini sebenarnya bukan seorang pengecut?" Dan yang lain lagi, yang agak berani, berkata, "Ia tampaknya hendak menyelamatkan dirinya sendri, sebab ia menyerahkan kita kepada nasib yang tak diketahui. Barangkali kita akan menjadi budak dari raja yang tidak kita kenal ini, raja lalim yang menyatakan perang atas negeri tetangga."

Yang lain tetap diam, sebab tak yakin apa yang mesti dipercayai hingga mereka memperoleh sejumlah pertimbangan untuk menyusun pikirannya.( )

Dan demikianlah raja lalim itu, beserta ribuan prajurit, merebut negeri Hatim. Raja itu tidak memungut pajak lebih tinggi dari pada yang dipungut Hatim. Tetapi, ada satu hal yang mengganggunya, yaitu bisik-bisik orang banyak bahwa negeri yang baru dimilikinya itu merupakan buah dari kemurahan hati Hatim Tai yang menyerahkan negeri itu kepadanya.

"Aku tidak dapat menjadi raja sejati atas negeri ini," pikir raja lalim itu, "sebelum aku menangkap Hatim Tai. Selama ia masih hidup, sebagian rakyat masih akan setia kepadanya. Mereka tidak akan sepenuhnya tunduk kepadaku, meskipun mulut mereka berkata begitu." ( )

Raja itu pun mengumumkan bahwa barangsiapa yang menyerahkan Hatim Tai akan mendapat hadiah lima ribu keping emas. Hatim Tai tidak mengetahui perihal maklumat tersebut sampai suatu hari ketika ia duduk di mulut gua dan mendengar percakapan antara tukang kayu dan istrinya.

Tukang kayu berkata, "Istriku sayang, sekarang aku sudah tua dan kau masih sangat muda. Kita memiliki anak yang masih kecil, dan dalam urutan alamiah peristiwa-peristiwa, sudah sewajarnya aku akan mati lebih dahulu darimu sementara anak kita masih belia. Seandainya kita bisa menemukan Hatim Tai dan menangkapnya, untuk memperoleh hadiah lima ribu keping emas dari raja, masa depan kalian tentu akan terjamin." (

"Yang kau katakan itu memalukan!" sergah istrinya, "Lebih baik kau mati, dan aku serta anak kita kelaparan, dari pada tangan kita bernodakan darah orang yang paling murah hati sepanjang masa, yang mengorbankan segalanya bagi kebaikan kita."

"Begitu ya," kata orang tua itu, "Tetapi seorang lelaki harus memikirkan kepentingannya sendiri. Bagaimanapun aku punya tanggung jawab. Lagipula, dari hari ke hari semakin banyak orang yang menganggap Hatim itu pengecut. Hanya masalah waktu saja sebelum mereka mencari ke semua tempat persembunyian dan menangkapnya."

"Anggapan bahwa Hatim pengecut dilandasi oleh hasrat mendapat emas. Lebih banyak lagi pembicaraan serupa ini dan Hatim akan hidup sia-sia."

Pada saat itu Hatim Tai berdiri dan menemui pasangan itu. "Aku adalah Hatim Tai," katanya, "serahkanlah aku pada raja baru itu dan ambil uang hadiahmu."

Tukang kayu itu merasa malu, dan air matanya tumpah. "Tidak, Hatim yang Agung," katanya, "aku tidak mungkin tega menyerahkanmu."

Sementara mereka berbicara, sekelompok orang yang mencari raja dalam pelarian dan akan menangkapnya berada di dekat sana. ( )
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1266 seconds (0.1#10.140)