Begini Tata Cara Thawaf Menurut Sejumlah Ulama

Rabu, 22 Juni 2022 - 19:03 WIB
loading...
Begini Tata Cara Thawaf Menurut Sejumlah Ulama
Ada beberapa pendapat soal tata cara thawaf. Foto/Ilustrasi : Ist
A A A
Thawaf adalah kata dari Bahasa Arab tersusun dari tiga huruf yaitu Tha`, waw dan Fa’ yang menunjukkan berputarnya sesuatu atas sesuatu yang lain dan berkeliling kemudian difahami demikian. Menurut Ibnu Fâris dalam "Mu’jam Maqaayiis al-Lughah", kata athâfa (أَطَافَ) bermakna berputar dan datang dari beberapa sisinya dan dikatakan (أَطَافَ فُلاَن بِالأَمْرِ) apabila menguasainya. Sedangkan kata (طَافَ بِالْبَيْتِ) dan (أَطَافَ عَلَيْهِ) bermakna berputar di sekitarnya.

Sedangkan menurut istilah para ulama fikih, ujar Dr Sulaiman Ali’isa dalam Nihâyatul Mathâf Fi Tahqiq Ahkâm ath-Thawâf, Thawâf adalah berputar tujuh putaran sekitar Kakbah yang mulia dengan niat ibadah dengan tata cara yang tertentu (khusus).



Tata Cara
Lalu, bagaimana tata cara thawaf? Imam ats-Tsa’alabi al-Maliki dalam kitab at-Talqin mengatakan tata cara thawaf hanya ada satu cara yaitu memulai setelah menyentuh hajar aswad lalu menjadikan Kakbah di sebelah kirinya kemudian memutar mengelilingi di luar Hijr dari Hajar Aswad ke Hajar Aswad tujuh putaran. Tiga putaran pertama dengan jalan cepat disertai merapatkan langkah dan empat sisanya berjalan biasa, lalu menyentuh Hajar Aswad setiap kali melewatinya.

"Apabila telah sempurna maka sholat di dekat Maqam Ibrahim dua rakaat kemudian kembali dan menyentuh Hajar Aswad lagi," ujarnya.

Imam Muhammad al-Amin asy-Syingqity menjelaskan lebih rinci dengan menyatakan:

Memulai thawafnya dari rukun (pojok) yang ada Hajar Aswad, lalu menghadap dan menyentuhnya serta menciumnya bila tidak menyakiti orang lain dengan sebab berdesak-desakan.

Lalu sejajar dengan seluruh badannya ke seluruh Hajar Aswad, lalu seluruh badannya melewati seluruh Hajar Aswad. Itu menjadikan seluruh Hajar Aswad berada di sebelah kanannya dan bahu sebelah kanannya di ujung Hajar Aswad dan itu terwujudkan dengan tidak sisa dibelakangnya satu bagianpun dari Hajar Aswad.

Kemudian memulai thawafnya dengan seluruh badannya melewati seluruh Hajar Aswad dengan menjadikan sebelah kirinya menghadap ke arah Kakbah, kemudian berjalan dengan mengelilingi Kakbah kemudian melewati belakang Hijir Ismail dan mengelilingi Kakbah sehingga melewati Rukun Yamani kemudian berakhir di Rukun Hajar Aswad yang menjadi tempat permulaan thawaf nya.

"Lalu sempurnalah satu thawaf kemudian melakukan hal demikian sampai sempurna tujuh putaran," jelasnya.



Imam an-Nawawi dalam kitab Al-Majmû’ lebih memerinci tata cara thawaf ini dengan menyatakan:

Apabila seorang masuk Masjid al-Haram, maka hendaknya berjalan menuju Hajar Aswad yaitu di rukun (pojok) yang ada di sebelah pintu Kakbah dari sisi timur dan dinamakan ar-Rukun al-Aswad dan disebut tempat ini dan ar-Rukun al-Yamani dengan ar-Ruknân al-Yamanain (Dua pojok selatan).

Ketinggian Hajar Aswad dari tanah tiga hasta kurang tujuh jari. Disunnahkan menghadap Hajar Aswad dengan wajahnya dan mendekat darinya dengan syarat tidak menyakiti orang lain dengan berdesak-desakan lalu menyentuh kemudian menciumnya tanpa ada suara yang muncul dalam mencium.

Kemudian memulai Thawaf nya dan menghentikan talbiyah dalam Thawaf sebagaimana telah dijelaskan dalam masalah talbiyah dan mengeluarkan lengan kanannya (Idh-Thiba’) bersama awal Thawafnya dan bila sudah idh-thibâ’ sebelumnya tidak lama maka tidak mengapa.

Al-Idh-thiba’ adalah menjadikan tengan selendangnya (kain penutup atas) di bawah bahu tangan kanannya di ketiak dan menyampirkan kedua ujungnya ke bahu kiri sehingga bahu kanannya terbuka.

Tata cara Thawâf adalah menghadap seluruhnya ke Hajar Aswad lalu melewati Hajar Aswad dengan seluruh badannya dan itu dengan menghadap ke Kakbah dan berhenti di samping batu yang berada dari arah Rukun Yamani. Seluruh Hajar Aswad berada di sebelah kanannya dan bahu kanannya di ujung Hajar Aswad kemudian berniat Thawaf kemudian berjalan menghadap Hajar Aswad melewati arah kanannya hingga melampaui Hajar Aswad.

Apabila telah melampauinya berbalik dan menjadikan bagian kirinya ke arah Kakbah dan kanannya keluar.

Seandainya melakukan hal ini dari awal dan tidak menghadap ke Hajar Aswad maka diperbolehkan namun kehilangan keutamaan.



Kemudian berjalan demikian ke hadapannya mengelilingi Kakbah seluruhnya, sehingga melewati Multazam yaitu tempat antara rukun (pojok) yang ada Hajar Aswad dengan pintu Kakbah.

Dinamakan Multazam karena orang berpegangan padanya ketika berdo’a. Kemudian melewati rukun kedua setelah Hajar Aswad kemudian melewati Hijr Ismail yang berada di arah utara dan barat lalu berjalan seputarnya hingga sampai ke rukun (pojok) ketiga.

Rukun ini dan yang sebelumnya dinamakan dua Rukun Syâmi (utara) dan ada yang menyatakan: al-Maghribân (barat).

Kemudian mengelilingi Kakbah hingga sampai ke rukun keempat yaitu Rukun Yamani kemudian melewatinya hingga Hajar Aswad, maka sampailah ke tempat permulaan sehingga sempurnakan ketika itu satu Thawâf, kemudian melakukan Thawaf kedua dan ketiga hingga sempurna tujuh putaran.

Setiap kali dari Hajar Aswad dihitung satu Thawaf dan tujuh adalah Thawaf yang sempurna. Inilah tata cara Thawaf yang apabila dicukupkan hanya dengan ini maka sah Thawafnya.

7 Kali
Para ulama sepakat bahwa thawaf yang dicukupkan hanya sekali tidak sah dan tidak dihitung Thawaf. Merekapun sepakat bahwa Nabi SAW Thawaf tujuh putaran. Namun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan syarat ini. Apakah yang kurang dari tujuh putaran dihukumi sah atau tidak?



Pendapat pertama menyatakan tidak sah Thawaf kecuali dengan menyempurnakan tujuh putaran. Apabila kurang darinya maka tidak sah. Inilah pendapat Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ibnul Mundzir. [15]

Pendapat kedua menyatakan menyempurnakan tujuh putaran bukan syarat namun hanya kewajiban saja. Inilah pendapat mazhab Abu Hanifah. Pendapat ini berdalil dengan firman Allâh SWT:

وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Hendaklah mereka melakukan Thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). [QS Al-Hajj/22:29]

Dengan menyatakan bahwa perintahnya bersifat mutlak. Hanya saja yang lebih dari satu putaran sampai tujuh putaran ada dalil yang menetapkannya yaitu ijma’ dan tidak ada ijma’ tentang putaran Thawaf terbanyak.

Pendapat yang rajih adalah pendapat pertama yang menjadikannya sebagai syarat sah dengan alasan:

a. Nabi SAW Thawaf tujuh putaran adalah penjelas terhadap firman Allah Ta’ala :

ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan Thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). [QS Al-Hajj/22:29]

b. Dalil pendapat kedua lemah, karena telah ada perbuatan Nabi SAW yang menjelaskannya dan Rasulullah SAW adalah penjelas Al-Qur'an

c. Ukuran amalan ibadah tidak bisa diketahui dengan perasaan dan pikiran, hanya bisa diketahui dengan wahyu dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan thawaf tujuh putaran sehingga tidak dianggap kalau kurang darinya. Wallahu'alam.



Menegakkan Zikrullah
Sejumlah ulama mengatakan hikmah khusus dari Thawaf adalah untuk menegakkan zikrullah. Pendapat ini berdalil dengan hadis Aisyah ra dari Nabi Muhammad SAW , Beliau bersabda:

إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ لِإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ

Disyariatkan Thawaf di Kakbah dan antara Shafa dan Marwa (Sa’i) serta melempar jumrah untuk menegakkan zikrullah. [HR Abu Dawud no. 1888 (2/179 dan at-Tirmidzi)

Hadis ini dilemahkan sanadnya oleh al-Albani dalam Dha’if Sunan Abi Dawûd dan Syu’aib al-Arnauth namun disahihkan sanadnya dari riwayat Ibnu Khuzaimah oleh Dr al-A’zhami dalam Tahqiq beliau atas Shahih Ibnu Khuzaimah no. 2738 dan 2882.

Al-Mubarakfuri dalam "Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan at-Tirmidzi" menyatakan, pengertiannya untuk mengingat Allah Taala di tempat-tempat yang penuh berkah tersebut, maka hati-hati dari sifat lalai. Dikhususkan dengan zikir, padahal maksud dari semua ibadah adalah mengingat Allah karena bentuk lahiriyahnya adalah perbuatan tidak tampak padanya ibadah dan sejatinya keduanya berisi ibadah.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2706 seconds (0.1#10.140)