Hukum Wukuf di Luar Arafah, Bagaimana Status Hajinya?

Selasa, 21 Juni 2022 - 09:29 WIB
loading...
Hukum Wukuf di Luar Arafah, Bagaimana Status Hajinya?
Hukum wukuf di luar Arafah berarti melanggar rukun haji. Foto/Ilustrasi: judicial council
A A A
Hukum wukuf di luar Arafah jelas tidak sah hajinya sebab ibadah haji adalah wukuf di Padang Arafah . Rukun haji ada 4, yakni: Ihram, wukuf di Arafah , thawaf Ifadhah, dan sa’i. Barangsiapa yang meninggalkan salah satu dari rukun haji , maka hajinya tidak sah. Dan tidak bisa dibayar dengan dam (denda).



Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi dalam bukunya berjudul "Panduan Ibadah Haji Sesuai Sunnah Nabi" menyebut selain rukun haji yang 4 itu ada juga kewajiban haji yang jumlahnya 7.

Kewajiban haji itu adalah: 1. Ihram dari miqat. 2. Wukuf di Arafah sampai tenggelam matahari. 3. Bermalam di Muzdalifah. 4. Bermalam di Mina pada malam-malam hari tasyrik. 5. Melempar 3 jamarat secara berurutan. 6. Mencukur rambut. 7. Thawaf wada’.

"Barangsiapa yang meninggalkan satu kewajiban haji, ia harus mengganti dengan membayar fidyah berupa kambing yang disembelih di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang fakir Makkah, namun ia tidak boleh ikut memakannya, dan hukum hajinya tetap sah," ujar Abu Ubaidah, mengutip kitab "Dalil al-Hajj Wal Mu’tamir" karya Thalal Bin Ahmad al-Aqiil.

Di sisi lain, selain rukun haji dan kewajiban haji ada juga sunnah haji yang jumlahnya 8. Berikut sunah haji tersebut:

1. Mandi saat hendak ihram.
2. Mengenakan pakaian ihram yang terdiri dari dua lembar.
3. Talbiyah dengan suara keras.
4. Mabit di Mina pada malam Arafah.
5. Mencium hajar aswad.
6. Idhthiba’ (menjadikan bagian tengah kain ihram di bawah ketiak tangan kanan dan dua ujungnya diatas bahu kiri pada saat thawaf qudum atau thawaf umrah.
7. Raml (berjalan cepat pada tiga putaran pertama thawaf qudum atau thawaf umrah).
8. Thawaf qudumbagi yang memilih haji Qiran dan Ifrad.

"Karena amalan sunnah maka tidak ada risiko apa pun bagi yang meninggalkan salah satu diantara sunnah haji ini," ujar Abu Ubaidah.



Tidak berlaku
Jadi jamaah haji yang sudah berihram secara mutlak baik haji fardhu atau sunnah dan ia tidak sempat wukuf di Arafah sampai terbit fajar hari Nahr(10 Dzulhijah), maka hajinya tak berlaku atau batal. Sebab waktu untuk wukuf telah habis, pada hakikatnya ini ibadah haji adalah wukuf di Padang Arafah.

Ibnu Jazi Al-Maliki sebagaimana dikutip Gus Arifin dalam bukunya "Fiqih Haji dan Umrah" mengatakan, haji seseorang batal jika tidak mengerjakan semua amalan haji dan tidak berada di Arafah sampai terbit fajar di hari nahr, baik wukuf atau tidak. Namun umrohnya tidak sebab ia tidak terbatas waktu."

Sementara itu, ulama Syafi'iyah berpendapat orang yang tidak sempat melaksanakan wukuf di Arafah wajiblah baginya bertahallul dengan melaksanakan amalan umroh seperti tawaf, sai tanpa ihram baru, lalu bercukur atau menggunting (tahallul), dan wajib mengqadha hajinya pada tahun depan tanpa membayar pembayaran dam.

Sebab tahallul terjadi oleh amalan umrah sehingga dari segi dam sama kedudukannya dengan orang yang terkepung atau terhalang (ihshar).



Ijma sahabat menetapkan bahwa orang yang tertinggal haji (fawat) wajib menyembelih hadyu (hadyu adalah hewan persembahan atau yang lainnya untuk tanah haram. Namun dalam konteks ini dibatasi hanya hewan ternak (bahimatul an’am) berupa unta, sapi, atau kambing), sebab ia telah ihram tapi tidak ikut wukuf di Arafah. Jika ketinggalan tersebut sebagai sebab wajibnya hadyu, maka bagi yang ihram wajib dua hadyu (sembelihan) yaitu untuk sebab ketinggalan dan terkepung.

Menurut jumhur ulama, orang yang ketinggalan wukuf di Arafah hendaklah tahallul dengan amalan umrah seperti tawaf, sai, bercukur atau menggunting rambut serta hajinya diqadha pada tahun depan dengan menyembelih hewan qurban.

Adapun ritual haji (manasik) lainnya gugur atau tidak diperlukan lagi, seperti mabit di Muzdalifah, wukuf di masy'aril haram, melontar, dan mabit di Mina.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2184 seconds (0.1#10.140)