Sejarah Idul Adha dan Perayaannya di Dalam Al-Qur'an
loading...
A
A
A
Sejarah Idul Adha dan perayaannya dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an yakni surah as-Saffat [37] ayat 99 hingga 111. Ini adalah tentang kisah perintah Allah Taala kepada Nabi Ibrahim agar menyembelih Nabi Ismail .
Ibnu Katsir dalam kitabnya Qashash al-Anbiya menyebutkan kelompok ayat ini berisi tentang penantian Nabi Ibrahim akan kehadiran seorang anak, perintah Allah untuk mengurbankan anak tersebut, hingga anugerah-Nya terhadap keduanya sebab ketaatan pada-Nya.
Khusus peristiwa penyembelihan Nabi Ismail dan asal-usul ibadah kurban ini dimulai dari surah as-Saffat ayat 99-100 yang berisi kisah penantian panjang Nabi Ibrahim akan kehadiran seorang anak.
Diceritakan bahwa beliau dan istrinya senantiasa berdoa kepada Allah SWT agar diberi keturunan guna melanjutkan misi dakwah di muka bumi. Hal ini diabadikan Allah dalam firman-Nya:
رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ
Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.” ( QS As-Saffat [37] : 100)
Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, tujuan Nabi Ibrahim ingin memiliki seorang buah hati – selain sebagai penyambung garis keturunan – adalah agar anaknya menjadi orang yang melanjutkan dakwah untuk mentauhidkan Allah SWT serta menggantikan kaum dan keluarganya yang ingkar kepada-Nya.
Allah SWT kemudian menjawab doa-doa Nabi Ibrahim dan istrinya melalui firman-Nya, “Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar” (QS. As-Saffat [37] ayat 101). Ayat ini merupakan konfirmasi bahwa beliau akan mendapatkan buah hati yang diidam-idamkan selama ini bersama istri tercinta.
Menurut sebagian ulama tafsir, yang dimaksud dari “anak yang sangat sabar” di sini adalah Nabi Ismail, bukan Nabi Ishaq. Dalam Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir disebutkan bahwa Nabi Ismail adalah anak pertama Nabi Ibrahim. Ia dilahirkan pada saat nabi Ibrahim berusia 86 tahun. Sedangkan Nabi Ishaq dilahirkan saat nabi Ibrahim seabad kurang setahun atau tepatnya saat berusia 99 tahun.
Ketika anak yang telah diidam-idamkan Nabi Ibrahim telah lahir dan tumbuh besar, lalu tibalah drama Ilahi yang menjadi ujian baginya. Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah SWT melalui mimpi untuk menyembelih anaknya yang begitu ia cintai. Sulit bagi kita untuk menggambarkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim saat itu, namun yang pasti beliau tetap melaksanakannya meskipun teramat berat.
Firman Allah SWT, “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS. As-Saffat [37] ayat 102).
Pada mulanya, Nabi Ibrahim agak ragu terkait mimpinya tersebut. Muqatil bin Sulaiman menyebutkan – sebagaimana dikutip oleh Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi – Nabi Ibrahim baru yakin terhadap mimpinya setelah mimpi tersebut terulang selama tiga malam berturut-turut. Dengan kemantapan hati, ia kemudian melakukan perintah itu.
Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah dengan penuh keyakinan dan tawakal kepada-Nya. Namun ada hal menarik yang beliau lakukan, yakni memberitahukan perintah tersebut terlebih dahulu kepada sang anak guna menenangkan hatinya. Beliau sama sekali tidak menggunakan jalan kekerasan dan pemaksaan sekalipun apa yang akan dilakukannya adalah perintah Allah Yang Maha Mutlak.
Setelah mengetahui Nabi Ismail bersedia menunaikan perintah Allah SWT, Nabi Ibrahim kemudian membawa anaknya tercinta untuk bersiap-siap. Firman Allah, “Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah).” Pada saat itu keduanya telah siap dan tawakal menjalankan perintah Allah SWT.
Menurut sebagian riwayat dari Ibnu Abbas Mujahid, dan Sa’id bin Jubair, karena hati nabi Ibrahim merasa iba terhadap Ismail, beliau menelungkupkan anaknya dan ingin menyembelih di tengkuk agar tidak melihat wajah anaknya yang tercinta.
Sedangkan riwayat lain menyebut Nabi Ibrahim membaringkan anaknya sebagaimana membaringkan hewan kurban ketika hendak disembelih.
Ketika penyembelihan Nabi Ismail hampir terlaksana, saat itulah ada sebuah panggilan yang datang dari Allah SWT sebagaimana tertuang dalam surah as-Saffat [37] ayat 104-105 yang bermakna, "Lalu Kami panggil dia, 'Wahai Ibrahim! sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.' Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik."
Nabi Ismail yang sudah siap disembelih digantikan dengan seekor kibas. Firman Allah SWT, “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
Menurut Ibnu Abbas, kibas itu adalah kambing besar yang dipersembahkan oleh Habil untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang dipelihara di surga sehingga dipakai menebus Ismail.
Berkat ketabahan, keikhlasan, serta keyakinan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, Allah SWT memberikan anugerah yang teramat besar bagi keduanya.
Peristiwa asal-usul ibadah kurban ini kemudian diakhiri dengan penegasan bahwa Nabi Ibrahim benar-benar adalah hamba sekaligus utusan Allah SWT dan ia termasuk di antara orang-orang yang salih.
Pada ayat-ayat tersebut, Allah seakan menyatakan bahwa penyembelihan Nabi Ismail pada hakikatnya adalah ujian yang ia berikan kepada Nabi Ibrahim. Jika ia lulus, maka akan kami beri anugerah. Firman Allah SWT, ”Selamat sejahtera bagi Ibrahim. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh, dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. As-Saffat [37] ayat 109-111).
Hari Raya Kurban
Selanjutnya, Idul Adha menjadi hari besar atau hari raya dalam tradisi kaum muslimin. Pada hari itu dirayakan untuk kaum muslimin yang telah selesai menunaikan ibadah haji. Ia adalah puncak dari seluruh prosesi ibadah tersebut. Meski demikian, hari itu juga dirayakan oleh umat Islam dimanapun.
Ia juga sering disebut sebagai hari raya kurban, yang secara harfiah kurban berarti dekat atau mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih hewan kurban untuk dibagikan kepada fakir miskin.
Pensyariatan berkurban tersebut dalam Al-Qur'an, salah satunya disampaikan Allah dalam Firman-Nya, surah al-Kautsar ayat 2, yang berbunyi;
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.”
Imam al-Qurthuby dalam kitab tafsirnya al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an memaparkan beberapa pendapat mengenai apa yang dikehendaki dari perintah sholat, فَصَلِّ dan perintah menyembelih, وَانْحَرْ pada ayat kedua dari surah al-Kautsar tersebut.
Mengutip pendapat Imam adh-Dhohak dari Ibn Abbas, bahwasannya yang dimaksud dari perintah sholat فَصَلِّ pada ayat tersebut adalah, “Laksanakanlah sholat yang diwajibkan kepadamu (Shalat Fardhu lima waktu)”.
Sedangkan menurut Imam Qatadah, Atho’, dan Ikrimah, bahwasannya yang dimaksud perintah sholat فَصَلِّ pada ayat tersebut adalah sholat Idul Adha. Adapun yang dimaksud dari perintah menyembelih وَانْحَرْ pada ayat tersebut adalah menyembelih hewan kurban. (al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Juz 10, Hal. 444).
Kata “النحر” pada ayat tersebut, menurut pendapat yang paling banyak dipahami dengan menyembelih hewan kurban. Oleh sebab itu, ayat ini sering dijadikan sebagai dalil teologis ibadah kurban.
Sedangkan mengenai hukumnya, perintah berkurban dalam ayat di atas oleh Madzhab Syafi’i dihukumi sunnah muakkad bagi orang muslim yang baligh, berakal, merdeka dan mampu. Hukum ini berbeda dengan Mazhab Hanafi yang menghukumi wajib.
Ibnu Katsir dalam kitabnya Qashash al-Anbiya menyebutkan kelompok ayat ini berisi tentang penantian Nabi Ibrahim akan kehadiran seorang anak, perintah Allah untuk mengurbankan anak tersebut, hingga anugerah-Nya terhadap keduanya sebab ketaatan pada-Nya.
Khusus peristiwa penyembelihan Nabi Ismail dan asal-usul ibadah kurban ini dimulai dari surah as-Saffat ayat 99-100 yang berisi kisah penantian panjang Nabi Ibrahim akan kehadiran seorang anak.
Diceritakan bahwa beliau dan istrinya senantiasa berdoa kepada Allah SWT agar diberi keturunan guna melanjutkan misi dakwah di muka bumi. Hal ini diabadikan Allah dalam firman-Nya:
رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ
Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.” ( QS As-Saffat [37] : 100)
Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, tujuan Nabi Ibrahim ingin memiliki seorang buah hati – selain sebagai penyambung garis keturunan – adalah agar anaknya menjadi orang yang melanjutkan dakwah untuk mentauhidkan Allah SWT serta menggantikan kaum dan keluarganya yang ingkar kepada-Nya.
Allah SWT kemudian menjawab doa-doa Nabi Ibrahim dan istrinya melalui firman-Nya, “Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar” (QS. As-Saffat [37] ayat 101). Ayat ini merupakan konfirmasi bahwa beliau akan mendapatkan buah hati yang diidam-idamkan selama ini bersama istri tercinta.
Menurut sebagian ulama tafsir, yang dimaksud dari “anak yang sangat sabar” di sini adalah Nabi Ismail, bukan Nabi Ishaq. Dalam Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir disebutkan bahwa Nabi Ismail adalah anak pertama Nabi Ibrahim. Ia dilahirkan pada saat nabi Ibrahim berusia 86 tahun. Sedangkan Nabi Ishaq dilahirkan saat nabi Ibrahim seabad kurang setahun atau tepatnya saat berusia 99 tahun.
Ketika anak yang telah diidam-idamkan Nabi Ibrahim telah lahir dan tumbuh besar, lalu tibalah drama Ilahi yang menjadi ujian baginya. Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah SWT melalui mimpi untuk menyembelih anaknya yang begitu ia cintai. Sulit bagi kita untuk menggambarkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim saat itu, namun yang pasti beliau tetap melaksanakannya meskipun teramat berat.
Firman Allah SWT, “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS. As-Saffat [37] ayat 102).
Pada mulanya, Nabi Ibrahim agak ragu terkait mimpinya tersebut. Muqatil bin Sulaiman menyebutkan – sebagaimana dikutip oleh Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi – Nabi Ibrahim baru yakin terhadap mimpinya setelah mimpi tersebut terulang selama tiga malam berturut-turut. Dengan kemantapan hati, ia kemudian melakukan perintah itu.
Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah dengan penuh keyakinan dan tawakal kepada-Nya. Namun ada hal menarik yang beliau lakukan, yakni memberitahukan perintah tersebut terlebih dahulu kepada sang anak guna menenangkan hatinya. Beliau sama sekali tidak menggunakan jalan kekerasan dan pemaksaan sekalipun apa yang akan dilakukannya adalah perintah Allah Yang Maha Mutlak.
Setelah mengetahui Nabi Ismail bersedia menunaikan perintah Allah SWT, Nabi Ibrahim kemudian membawa anaknya tercinta untuk bersiap-siap. Firman Allah, “Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah).” Pada saat itu keduanya telah siap dan tawakal menjalankan perintah Allah SWT.
Menurut sebagian riwayat dari Ibnu Abbas Mujahid, dan Sa’id bin Jubair, karena hati nabi Ibrahim merasa iba terhadap Ismail, beliau menelungkupkan anaknya dan ingin menyembelih di tengkuk agar tidak melihat wajah anaknya yang tercinta.
Sedangkan riwayat lain menyebut Nabi Ibrahim membaringkan anaknya sebagaimana membaringkan hewan kurban ketika hendak disembelih.
Ketika penyembelihan Nabi Ismail hampir terlaksana, saat itulah ada sebuah panggilan yang datang dari Allah SWT sebagaimana tertuang dalam surah as-Saffat [37] ayat 104-105 yang bermakna, "Lalu Kami panggil dia, 'Wahai Ibrahim! sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.' Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik."
Nabi Ismail yang sudah siap disembelih digantikan dengan seekor kibas. Firman Allah SWT, “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
Menurut Ibnu Abbas, kibas itu adalah kambing besar yang dipersembahkan oleh Habil untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang dipelihara di surga sehingga dipakai menebus Ismail.
Berkat ketabahan, keikhlasan, serta keyakinan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, Allah SWT memberikan anugerah yang teramat besar bagi keduanya.
Peristiwa asal-usul ibadah kurban ini kemudian diakhiri dengan penegasan bahwa Nabi Ibrahim benar-benar adalah hamba sekaligus utusan Allah SWT dan ia termasuk di antara orang-orang yang salih.
Pada ayat-ayat tersebut, Allah seakan menyatakan bahwa penyembelihan Nabi Ismail pada hakikatnya adalah ujian yang ia berikan kepada Nabi Ibrahim. Jika ia lulus, maka akan kami beri anugerah. Firman Allah SWT, ”Selamat sejahtera bagi Ibrahim. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh, dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. As-Saffat [37] ayat 109-111).
Hari Raya Kurban
Selanjutnya, Idul Adha menjadi hari besar atau hari raya dalam tradisi kaum muslimin. Pada hari itu dirayakan untuk kaum muslimin yang telah selesai menunaikan ibadah haji. Ia adalah puncak dari seluruh prosesi ibadah tersebut. Meski demikian, hari itu juga dirayakan oleh umat Islam dimanapun.
Ia juga sering disebut sebagai hari raya kurban, yang secara harfiah kurban berarti dekat atau mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih hewan kurban untuk dibagikan kepada fakir miskin.
Pensyariatan berkurban tersebut dalam Al-Qur'an, salah satunya disampaikan Allah dalam Firman-Nya, surah al-Kautsar ayat 2, yang berbunyi;
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.”
Imam al-Qurthuby dalam kitab tafsirnya al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an memaparkan beberapa pendapat mengenai apa yang dikehendaki dari perintah sholat, فَصَلِّ dan perintah menyembelih, وَانْحَرْ pada ayat kedua dari surah al-Kautsar tersebut.
Mengutip pendapat Imam adh-Dhohak dari Ibn Abbas, bahwasannya yang dimaksud dari perintah sholat فَصَلِّ pada ayat tersebut adalah, “Laksanakanlah sholat yang diwajibkan kepadamu (Shalat Fardhu lima waktu)”.
Sedangkan menurut Imam Qatadah, Atho’, dan Ikrimah, bahwasannya yang dimaksud perintah sholat فَصَلِّ pada ayat tersebut adalah sholat Idul Adha. Adapun yang dimaksud dari perintah menyembelih وَانْحَرْ pada ayat tersebut adalah menyembelih hewan kurban. (al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Juz 10, Hal. 444).
Kata “النحر” pada ayat tersebut, menurut pendapat yang paling banyak dipahami dengan menyembelih hewan kurban. Oleh sebab itu, ayat ini sering dijadikan sebagai dalil teologis ibadah kurban.
Sedangkan mengenai hukumnya, perintah berkurban dalam ayat di atas oleh Madzhab Syafi’i dihukumi sunnah muakkad bagi orang muslim yang baligh, berakal, merdeka dan mampu. Hukum ini berbeda dengan Mazhab Hanafi yang menghukumi wajib.
(mhy)