Bagaimana Hukum Berbusana Syar'i tapi Mengikuti Tren Fesyen?
loading...
A
A
A
Saat ini banyak dari perempuan yang mulai mengenakan jilbab yang penuh dengan pernak pernik, bunga-bunga, dan rumbai-rumbai yang terus melambai-lambai seolah-olah akan memanggil lawan jenis agar memandanginya. Atau bercadar, namun dengan fesyen kekinian yang cantik dan sangat menarik. Bagaimana hukumnya ber- busana syar'i , namun dengan model seperti itu?
Dalam Islam, ketika Allah Subhanahu Wa Ta'ala menurunkan sebuah hukum syara (syariat), Allah pasti menyertakan maslahat dan hikmah di dalamnya. Tidaklah Allah menurunkan hukum untuk memudaratkan atau menyusahkan manusia. Bila ada yang merasa susah dengan hukum yang diturunkan Allah, maka berarti ia perlu mengevaluasi kadar keimanannya. Termasuk syariat yang diturunkan Allah adalah tentang menutup aurat .
Allah berfirman dalam Al Qur'an Al Ahzab ayat 59 :
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al Ahzab : 59)
Imam Taqyuddin An Nabhani dalam kitab Nizhamu al-Ijtima’I fii Al Islam menjelaskan, frasa
Kata jalaabiibihinna dalam ayat tersebut adalah bentuk jamak dari jilbaabun. “Jilbaabun”, dalam kamus Al-Muhith adalah milhaafah wa mulaa’ah, yaitu baju yang serupa dengan mantel sedangkan dalam tafsir Ibnu Abbas, “jilbaabun” adalah kain penutup atau baju luar seperti mantel (Tafsir Ibnu Abbas). Jilbab juga berarti “baju panjang yang meliputi seluruh tubuh perempuan” (Tafsir Jalalain).
Sedangkan dalam Shofwatut Tafaasir, Imam ash-Shobuni, Jilbab diartikan sebagai baju yang luas yang menutupi tempat perhiasan wanita (auratnya).
Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo: Darul Maarif), jilbab diartikan sebagai “Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau “Al Mula`ah tasytamilu biha al mar’ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi tubuh wanita).
Berdasarkan pendefinisian ini, jelaslah bahwa makna jilbab adalah pakaian luar yang luas yang wajib digunakan oleh muslimah di luar pakaian rumahnya (mihnah), yang berbentuk seperti mantel (milhaafah atau mulaa’ah). Pengertian ini diperkuat oleh hadis yang datang dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu anha, ia berkata:
“Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk keluar pada Idul Fitri maupun Idul Adha, baik para gadis, wanita yang sedang haid, dan yang lainnya. Adapun wanita yang sedang haid, maka diperintahkan untuk meninggalkan salat dan menyaksikan dakwah dan syiar kaum muslimin. Lalu aku bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana jika di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab?” Rasulullah kemudian menjawab: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya” (HR. Muslim).
Ini berarti Rasulullah tidak memberikan keringanan bagi perempuan yang tidak mempunyai jilbab untuk keluar rumah tanpa jilbab. Beliau memerintahkan agar saudara muslimahnya meminjamkan jilbab.
Yang memperkuat juga makna jilbab sebagai pakaian luar adalah firman Allah Subhanahu wa ta'ala:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah berhenti dari haid (menopause) yang tiada ingin menikah lagi, maka tiada dosa atas mereka meninggalkan tsiyaab (pakaian luar) mereka, dengan tanpa bermaksud menampakkan perhiasannya” (QS. An-Nuur: 60)
Lafaz tsiyaab yang boleh ditanggalkan oleh muslimah yang tua dalam ayat tersebut adalah pakaian luar (Tafsir Al-Azhar). Hal senada juga dikemukakan di dalam tafsir Jalalain, bahwa tsiyaab maknanya adalah pakaian luar (Tafsir Jalalain).
Dari ayat tersebut jelaslah bahwa jilbab adalah pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian sehari-hari. Perempuan muslimah yang sudah tua, menurut syara, boleh meninggalkan pakaian luarnya (tsiyab/jilbabnya) dengan tetap menutup auratnya kecuali muka dan telapak tangannya.
Hanya saja, yang jadi persoalan , saat ini banyak dari kaum muslimah yang mulai mengenakan jilbab atau busana muslimah yang syar'i akan tetapi masih menonjolkan aneka kecantikannya. Padahal hal itu sangat dilarang, apalagi masih memamerkan kecantikan (tabarruj).
Sejatinya, berjilbab atau berbusana syar'i yang digunakan, salah satunya jangan sampai membentuk rambut layaknya punuk unta yang tidak sesuai dengan hukum memakai jilbab dalam islam, karena meskipun rambutnya tertutup tetap saja bentuk rambutnya terlihat dan Hadis Rasulullah SAW, bahwasanya beliau bersabda:
“Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: Laki laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mrip ekor sapi untk memukuli orang lain dan perempuan perempuan yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak-lenggok. Kepalanya bergoyang goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)
Dari hadis ini jelas ancaman dari Allah bagi orang yang seolah menutupkan auratnya namun bentuk tubuhnya terlihat adalah tidak bisa mencium wanginya surga meskipun surga itu ada di depan matanya.
Wallahu A'lam
Dalam Islam, ketika Allah Subhanahu Wa Ta'ala menurunkan sebuah hukum syara (syariat), Allah pasti menyertakan maslahat dan hikmah di dalamnya. Tidaklah Allah menurunkan hukum untuk memudaratkan atau menyusahkan manusia. Bila ada yang merasa susah dengan hukum yang diturunkan Allah, maka berarti ia perlu mengevaluasi kadar keimanannya. Termasuk syariat yang diturunkan Allah adalah tentang menutup aurat .
Allah berfirman dalam Al Qur'an Al Ahzab ayat 59 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al Ahzab : 59)
Imam Taqyuddin An Nabhani dalam kitab Nizhamu al-Ijtima’I fii Al Islam menjelaskan, frasa
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
artinya adalah hendaknya mereka mengulurkan jilbab ke tubuh mereka. Kata min dalam ayat ini bukan li at-tab’idh, yang menunjukkan sebagian, melainkan li al bayaan, yaitu menunjukkan penjelasan, bahwa yang diulurkan adalah jilbabnya, bukan sebagian jilbabnya. Dengan demikian, artinya adalah yurkhina alayhinna jalaabiibihinna, yaitu mengulurkan jilbab sampai ke bawah menutup tubuh. Kata jalaabiibihinna dalam ayat tersebut adalah bentuk jamak dari jilbaabun. “Jilbaabun”, dalam kamus Al-Muhith adalah milhaafah wa mulaa’ah, yaitu baju yang serupa dengan mantel sedangkan dalam tafsir Ibnu Abbas, “jilbaabun” adalah kain penutup atau baju luar seperti mantel (Tafsir Ibnu Abbas). Jilbab juga berarti “baju panjang yang meliputi seluruh tubuh perempuan” (Tafsir Jalalain).
Sedangkan dalam Shofwatut Tafaasir, Imam ash-Shobuni, Jilbab diartikan sebagai baju yang luas yang menutupi tempat perhiasan wanita (auratnya).
Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo: Darul Maarif), jilbab diartikan sebagai “Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau “Al Mula`ah tasytamilu biha al mar’ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi tubuh wanita).
Berdasarkan pendefinisian ini, jelaslah bahwa makna jilbab adalah pakaian luar yang luas yang wajib digunakan oleh muslimah di luar pakaian rumahnya (mihnah), yang berbentuk seperti mantel (milhaafah atau mulaa’ah). Pengertian ini diperkuat oleh hadis yang datang dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu anha, ia berkata:
“Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk keluar pada Idul Fitri maupun Idul Adha, baik para gadis, wanita yang sedang haid, dan yang lainnya. Adapun wanita yang sedang haid, maka diperintahkan untuk meninggalkan salat dan menyaksikan dakwah dan syiar kaum muslimin. Lalu aku bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana jika di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab?” Rasulullah kemudian menjawab: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya” (HR. Muslim).
Ini berarti Rasulullah tidak memberikan keringanan bagi perempuan yang tidak mempunyai jilbab untuk keluar rumah tanpa jilbab. Beliau memerintahkan agar saudara muslimahnya meminjamkan jilbab.
Yang memperkuat juga makna jilbab sebagai pakaian luar adalah firman Allah Subhanahu wa ta'ala:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah berhenti dari haid (menopause) yang tiada ingin menikah lagi, maka tiada dosa atas mereka meninggalkan tsiyaab (pakaian luar) mereka, dengan tanpa bermaksud menampakkan perhiasannya” (QS. An-Nuur: 60)
Lafaz tsiyaab yang boleh ditanggalkan oleh muslimah yang tua dalam ayat tersebut adalah pakaian luar (Tafsir Al-Azhar). Hal senada juga dikemukakan di dalam tafsir Jalalain, bahwa tsiyaab maknanya adalah pakaian luar (Tafsir Jalalain).
Dari ayat tersebut jelaslah bahwa jilbab adalah pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian sehari-hari. Perempuan muslimah yang sudah tua, menurut syara, boleh meninggalkan pakaian luarnya (tsiyab/jilbabnya) dengan tetap menutup auratnya kecuali muka dan telapak tangannya.
Hanya saja, yang jadi persoalan , saat ini banyak dari kaum muslimah yang mulai mengenakan jilbab atau busana muslimah yang syar'i akan tetapi masih menonjolkan aneka kecantikannya. Padahal hal itu sangat dilarang, apalagi masih memamerkan kecantikan (tabarruj).
Sejatinya, berjilbab atau berbusana syar'i yang digunakan, salah satunya jangan sampai membentuk rambut layaknya punuk unta yang tidak sesuai dengan hukum memakai jilbab dalam islam, karena meskipun rambutnya tertutup tetap saja bentuk rambutnya terlihat dan Hadis Rasulullah SAW, bahwasanya beliau bersabda:
“Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: Laki laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mrip ekor sapi untk memukuli orang lain dan perempuan perempuan yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak-lenggok. Kepalanya bergoyang goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)
Dari hadis ini jelas ancaman dari Allah bagi orang yang seolah menutupkan auratnya namun bentuk tubuhnya terlihat adalah tidak bisa mencium wanginya surga meskipun surga itu ada di depan matanya.
Wallahu A'lam
(wid)