Rakyat Nusantara Memeluk Islam bukan Disebabkan Keyakinan?
loading...
A
A
A
Sementara itu, Rizem Aizid dalam bukunya berjudul "Sejarah Islam Nusantara" mencatat, bahwa Islam masuk ke Sumatera mengalami kesulitan dikarenakan di Sumatera masih ada kerajaan Buddha Sriwijaya yang berdiri.
Setelah Sriwijaya mengalami kemunduran, barulah Islam bisa masuk ke daerah-daerah Sumatera.
Kata “daerah-daerah” yang disebutkan oleh Aizid tadi lebih berorientasi kepada daerah perkotaan besar di Nusantara. Sebagai contoh, masuknya Islam ke Sumatera Utara, Aizid hanya menerangkan bahwa Islamisasi terjadi hanya di Barus, Aceh, dan Mandailing, yang notabene daerah-daerah itu merupakan daerah perkotaan, pelabuhan, dan daerah kerajaan, Islamisasi tidak merangkul kedaerah pedalaman.
Bersifat Evolusioner
Islamisasi Nusantara, menurut Azyumardi, merupakan suatu proses yang bersifat evolusioner. Manakala Islam segera memperoleh konversi banyak penguasa pribumi, Islam kemudian berkembang di tingkat rakyat bawah.
Dalam buku "Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan" Azyumardi Azra menyebut penetrasi Islam di Nusantara terbagi menjadi tiga tahap.
Tahap pertama, dimulai dengan kedatangan Islam yang kemudian diikuti dengan kemorosotan, serta keruntuhan Kerajaan Majapahit pada kurun abad ke-14 dan ke-15.
Dalam tahap pertama ini penyebaran Islam masih relatif terbatas di kota-kota pelabuhan. Namun, dalam waktu singkat, Islam menempuh jalannya memasuki wilayah pesisir lainnya dan pedesaan. Pada tahap ini para pedagang dan ulama-ulama yang sekaligus guru-guru tarekat dengan murid-murid mereka memegang peran penting dalam penyebaran tersebut.
Secara umum, Islam tasawuf unggul pada tahap ini, hal ini karena Islam tasawuf yang datang ke Nusantara, dengan segala pemahaman dan penafsiran mistisnya terhadap Islam dalam beberapa segi tertentu rupanya cocok dengan latar belakang masyarakat setempat yang dipengaruhi asketisme Hindu-Budha dan sinkretisme kepercayaan lokal.
Tahap kedua, sejak datang dan mapannya kekuasaan kolonialis Belanda di Nusantara awal abad ke-19.
Tahap ketiga, bermula pada awal abad ke-20 dengan terjadinya “liberalisasi” kebijaksanaan Pemerntahan kolonial, terutama Belanda di Nusantara.
Azyumardi juga percaya kepada kerangka Nock, bahwa, penerimaan masyarakat terhadap Islam, lebih tepat disebut adhesi, yakni konversi ke dalam Islam tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktik keagamaan yang lama.
Sebagaimana yang diungkapkan dalam sebagian besar historiografi tradisional Nusantara, pada umumnya orang-orang setempat menerima Islam karena mereka percaya bahwa Islam akan memuaskan kebutuhan materi dan alamiah mereka.
Sedangkan menurut Ahmad Baso sebagaimana dikutip Azyumardi, Islam masuk ke Nusanatara bukan semata-mata hanya sekadar adhesi atau asal menerima saja dari Arab atau dari bangsa manapun.
Menurut Ahmad Baso, ada arus dari Arab yang di terima, tetapi Nusantara juga membawa arus ke sana yang mereka akan terima.
Instrumen arus itu berbasis arah angin. Angin barat di musim hujan membawa kapal-kapal negeri Arab ke Nusantara. Di sini, mereka membawa barang, manusia dan juga ide. Akan tetapi, ketika memasuki musim kemarau, arah angin berubah, angin akan bertiup dari timur ke barat. Maka giliran kapal-kapal dari Nusantara yang bergerak ke Timur Tengah atau Arab, membawa barang, manusia, termasuk ide-ide yang berasal dari Nusantara tersebut.
Setelah Sriwijaya mengalami kemunduran, barulah Islam bisa masuk ke daerah-daerah Sumatera.
Kata “daerah-daerah” yang disebutkan oleh Aizid tadi lebih berorientasi kepada daerah perkotaan besar di Nusantara. Sebagai contoh, masuknya Islam ke Sumatera Utara, Aizid hanya menerangkan bahwa Islamisasi terjadi hanya di Barus, Aceh, dan Mandailing, yang notabene daerah-daerah itu merupakan daerah perkotaan, pelabuhan, dan daerah kerajaan, Islamisasi tidak merangkul kedaerah pedalaman.
Bersifat Evolusioner
Islamisasi Nusantara, menurut Azyumardi, merupakan suatu proses yang bersifat evolusioner. Manakala Islam segera memperoleh konversi banyak penguasa pribumi, Islam kemudian berkembang di tingkat rakyat bawah.
Dalam buku "Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan" Azyumardi Azra menyebut penetrasi Islam di Nusantara terbagi menjadi tiga tahap.
Tahap pertama, dimulai dengan kedatangan Islam yang kemudian diikuti dengan kemorosotan, serta keruntuhan Kerajaan Majapahit pada kurun abad ke-14 dan ke-15.
Dalam tahap pertama ini penyebaran Islam masih relatif terbatas di kota-kota pelabuhan. Namun, dalam waktu singkat, Islam menempuh jalannya memasuki wilayah pesisir lainnya dan pedesaan. Pada tahap ini para pedagang dan ulama-ulama yang sekaligus guru-guru tarekat dengan murid-murid mereka memegang peran penting dalam penyebaran tersebut.
Secara umum, Islam tasawuf unggul pada tahap ini, hal ini karena Islam tasawuf yang datang ke Nusantara, dengan segala pemahaman dan penafsiran mistisnya terhadap Islam dalam beberapa segi tertentu rupanya cocok dengan latar belakang masyarakat setempat yang dipengaruhi asketisme Hindu-Budha dan sinkretisme kepercayaan lokal.
Tahap kedua, sejak datang dan mapannya kekuasaan kolonialis Belanda di Nusantara awal abad ke-19.
Tahap ketiga, bermula pada awal abad ke-20 dengan terjadinya “liberalisasi” kebijaksanaan Pemerntahan kolonial, terutama Belanda di Nusantara.
Azyumardi juga percaya kepada kerangka Nock, bahwa, penerimaan masyarakat terhadap Islam, lebih tepat disebut adhesi, yakni konversi ke dalam Islam tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktik keagamaan yang lama.
Sebagaimana yang diungkapkan dalam sebagian besar historiografi tradisional Nusantara, pada umumnya orang-orang setempat menerima Islam karena mereka percaya bahwa Islam akan memuaskan kebutuhan materi dan alamiah mereka.
Sedangkan menurut Ahmad Baso sebagaimana dikutip Azyumardi, Islam masuk ke Nusanatara bukan semata-mata hanya sekadar adhesi atau asal menerima saja dari Arab atau dari bangsa manapun.
Menurut Ahmad Baso, ada arus dari Arab yang di terima, tetapi Nusantara juga membawa arus ke sana yang mereka akan terima.
Instrumen arus itu berbasis arah angin. Angin barat di musim hujan membawa kapal-kapal negeri Arab ke Nusantara. Di sini, mereka membawa barang, manusia dan juga ide. Akan tetapi, ketika memasuki musim kemarau, arah angin berubah, angin akan bertiup dari timur ke barat. Maka giliran kapal-kapal dari Nusantara yang bergerak ke Timur Tengah atau Arab, membawa barang, manusia, termasuk ide-ide yang berasal dari Nusantara tersebut.
(mhy)