Ada Keutamaan Besar bagi Muslimah yang Menjadi Single Parent
loading...
A
A
A
Merawat anak sendirian, tentu saja bukan hal yang mudah, bahkan sangat berat jika dilakukan oleh seorang istri sendirian ( single parent ) . Maka dari itu, jika seorang wanita atau janda tersebut berkenan untuk menikah kembali agar ada yang memberi nafkah sang anak, hal itu diperbolehkan. Namun jika akhirnya memilih untuk tak menikah lagi, dengan kesetiaannya kepada sang suami. Saat itulah perjuangan seorang istri sebagai orangtua tunggal benar-benar diuji oleh Allah Subhanahu wa ta'ala.
Namun, apabila seorang perempuan atau istri yang mampu bertahan dalam situasi seperti ini, maka ia akan mendapat keutamaan di akhirat kelak. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat ‘Auf bin Malik, Rasulullah bersabda:
“Kelak pada hari kiamat aku bersama wanita yang kedua pipinya kehitam-hitaman (karena sibuk bekerja dan tidak sempat berhias) seperti ini -memberi isyarat dengan jari tengah dan jari telunjuk-. Yaitu seorang wanita janda yang ditinggal mati oleh suaminya, mempunyai kedudukan dan berwajah cantik, ia menahan dirinya (tidak menikah) untuk merawat anak-anaknya hingga mereka dewasa atau meninggal.” (HR. Abu Daud)
Oleh karenanya, seorang istri yang memilih untuk tidak menikah lagi, dan menafkahi anak-anaknya dengan tangannya sendiri sampai mereka dewasa atau dia meninggal, maka ia akan diberikan pahala yang besar dan kelak di surga akan didekatkan dengan Rasulullah SAW, sebagaimana yang terdapat dalam perumpamaan hadis di atas.
Dikutip dari kitba 'Lin Nisa’ Ahkam wa Adab Syarh al-Arba’in an-Nisa’iyah', karya Muhammad Syakir asy-Syarif, yang dicetak Dar Thaybah, Riyadh, yang sudah diterjemahkan dijelaskan, setiap perempuan singel parent ini memiliki kondisi keutamaan berbeda-beda. Jika perempuan tersebut masih muda, masih memiliki syahwat biologis, khawatir terjadi fitnah pada dirinya yakni zina, maka hendaknya perempuan menikah dengan seseorang yang bisa menjaganya dan bisa memberikan kebaikan bagi dirinya dan anak-anaknya. Sama halnya, jika perempuan tersebut tidak mampu membesarkan atau merawat anak-anaknya sendiri. Maka menikah lagi menjadi yang utama baginya.
Namun, kalau dia memandang yang maslahat adalah tidak menikah agar bisa konsentrasi penuh memberikan perhatian, pendidikan, dan pengajaran kepada anak-anaknya, itu adalah haknya. Apalagi dia ingin memperoleh keutamaan memelihara anak yatim sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
"Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga nanti seperti ini.” Beliau memberi isyarat dengan dua jari: telunjuk dan jari tengah. (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan sahih dalam Shahih at-Tirmidzi dan ash-Shahihah)
Apabila, seorang wanita muslimah memandang bahwa menikah lagi akan menghalangi dirinya dari keutamaan yang besar tersebut, lalu dia memutuskan untuk tidak menikah, itu adalah haknya pula. Demikian pula ketika dia tidak ingin menikah lagi karena berharap bisa berkumpul bersama suaminya kelak di surga.
Sebab, seorang muslimah yang memiliki beberapa suami saat di dunia, apabila dia dan semua suaminya masuk surga di akhirat kelak, Allah ‘azza wa jalla mengumpulkannya bersama suaminya yang terakhir.
Ketika Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu meminang Ummud Darda setelah wafat Abud Darda radhiallahu ‘anhu, berkatalah Ummud Darda radhiallahu ‘anha, “Aku pernah mendengar Abud Darda radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Istri mana saja yang wafat suaminya, lalu menikah lagi sepeninggal suaminya, dia bersama suaminya yang terakhir.’ “Dalam hal ini, aku tidak ingin mengutamakanmu dari Abud Darda.”
Muawiyah lalu mengirim surat kepada Ummud Darda berisi pesan, “Hendaknya engkau banyak puasa karena puasa adalah pemutus (syahwat).” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath, 3/275, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 1281)
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada istrinya,
“Apabila engkau suka menjadi istriku di surga jika kelak Allah ‘azza wa jalla mengumpulkan kita di sana, janganlah engkau menikah sepeninggalku[2]. Sebab, perempuan itu di surga adalah milik suaminya yang terakhir di dunia. Karena itu, Allah ‘azza wa jalla mengharamkan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah sepeninggal beliau karena mereka adalah istri-istri beliau di surga kelak.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan, 7/69—70)
Wallahu A'lam
Namun, apabila seorang perempuan atau istri yang mampu bertahan dalam situasi seperti ini, maka ia akan mendapat keutamaan di akhirat kelak. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat ‘Auf bin Malik, Rasulullah bersabda:
أَنَا وَامْرَأَةٌ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ كَهَاتَيْنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوْمَأَ يَزِيدُ بِالْوُسْطَى وَالسَّبَّابَةِ امْرَأَةٌ آمَتْ مِنْ زَوْجِهَا ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ حَبَسَتْ نَفْسَهَا عَلَى يَتَامَاهَا حَتَّى بَانُوا أَوْ مَاتُوا
“Kelak pada hari kiamat aku bersama wanita yang kedua pipinya kehitam-hitaman (karena sibuk bekerja dan tidak sempat berhias) seperti ini -memberi isyarat dengan jari tengah dan jari telunjuk-. Yaitu seorang wanita janda yang ditinggal mati oleh suaminya, mempunyai kedudukan dan berwajah cantik, ia menahan dirinya (tidak menikah) untuk merawat anak-anaknya hingga mereka dewasa atau meninggal.” (HR. Abu Daud)
Oleh karenanya, seorang istri yang memilih untuk tidak menikah lagi, dan menafkahi anak-anaknya dengan tangannya sendiri sampai mereka dewasa atau dia meninggal, maka ia akan diberikan pahala yang besar dan kelak di surga akan didekatkan dengan Rasulullah SAW, sebagaimana yang terdapat dalam perumpamaan hadis di atas.
Dikutip dari kitba 'Lin Nisa’ Ahkam wa Adab Syarh al-Arba’in an-Nisa’iyah', karya Muhammad Syakir asy-Syarif, yang dicetak Dar Thaybah, Riyadh, yang sudah diterjemahkan dijelaskan, setiap perempuan singel parent ini memiliki kondisi keutamaan berbeda-beda. Jika perempuan tersebut masih muda, masih memiliki syahwat biologis, khawatir terjadi fitnah pada dirinya yakni zina, maka hendaknya perempuan menikah dengan seseorang yang bisa menjaganya dan bisa memberikan kebaikan bagi dirinya dan anak-anaknya. Sama halnya, jika perempuan tersebut tidak mampu membesarkan atau merawat anak-anaknya sendiri. Maka menikah lagi menjadi yang utama baginya.
Namun, kalau dia memandang yang maslahat adalah tidak menikah agar bisa konsentrasi penuh memberikan perhatian, pendidikan, dan pengajaran kepada anak-anaknya, itu adalah haknya. Apalagi dia ingin memperoleh keutamaan memelihara anak yatim sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
"Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga nanti seperti ini.” Beliau memberi isyarat dengan dua jari: telunjuk dan jari tengah. (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan sahih dalam Shahih at-Tirmidzi dan ash-Shahihah)
Apabila, seorang wanita muslimah memandang bahwa menikah lagi akan menghalangi dirinya dari keutamaan yang besar tersebut, lalu dia memutuskan untuk tidak menikah, itu adalah haknya pula. Demikian pula ketika dia tidak ingin menikah lagi karena berharap bisa berkumpul bersama suaminya kelak di surga.
Sebab, seorang muslimah yang memiliki beberapa suami saat di dunia, apabila dia dan semua suaminya masuk surga di akhirat kelak, Allah ‘azza wa jalla mengumpulkannya bersama suaminya yang terakhir.
Ketika Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu meminang Ummud Darda setelah wafat Abud Darda radhiallahu ‘anhu, berkatalah Ummud Darda radhiallahu ‘anha, “Aku pernah mendengar Abud Darda radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا, فَتَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ فَهِيَ لآخِرِ أَزْوَاجِهَا.
‘Istri mana saja yang wafat suaminya, lalu menikah lagi sepeninggal suaminya, dia bersama suaminya yang terakhir.’ “Dalam hal ini, aku tidak ingin mengutamakanmu dari Abud Darda.”
Muawiyah lalu mengirim surat kepada Ummud Darda berisi pesan, “Hendaknya engkau banyak puasa karena puasa adalah pemutus (syahwat).” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath, 3/275, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 1281)
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada istrinya,
“Apabila engkau suka menjadi istriku di surga jika kelak Allah ‘azza wa jalla mengumpulkan kita di sana, janganlah engkau menikah sepeninggalku[2]. Sebab, perempuan itu di surga adalah milik suaminya yang terakhir di dunia. Karena itu, Allah ‘azza wa jalla mengharamkan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah sepeninggal beliau karena mereka adalah istri-istri beliau di surga kelak.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan, 7/69—70)
Wallahu A'lam
(wid)