4 Aktivitas Seksualitas yang Dilarang Menurut Al-Qur'an

Kamis, 22 September 2022 - 13:54 WIB
loading...
4 Aktivitas Seksualitas yang Dilarang Menurut Al-Quran
Setidaknya ada 4 aktivitas seksualitas yang dilarang menurut al-Quran. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Ajaran Al-Qur'an yang mengandung makna “larangan” terhadap seksualitas setidaknya ada dalam empat hal. Prof Muhammad Quraish Shihab mengatakan seksualitas secara leksikal merupakan sesuatu yang berkenaan dengan jenis kelamin (sex) dan hubungan antara lawan jenis, seperti senggama, birahi dan sejenisnya. Hubungan tersebut merupakan sebuah naluri kodrati yang melekat dalam diri manusia.

Banyak term-term seksualitas dalam Al-Qur'an baik secara eksplisit maupun implisit. Misalnya tentang syahwat ( QS 3 : 14; 4: 27), aurat ( QS 22 : 31), alat kelamin ( QS 7 : 20, 22, 26; 21: 91), sperma ( QS 75 : 37), dan hubungan seksual ( QS 4 : 19; 2: 222, 223).

Term-term tersebut dijelaskan melalui retorika Al-Qur'an yang menganjurkan, mengingatkan, memerintah, dan juga melarang. Oleh karena itu selain anjuran tentang seksualitas, larangan tentangnya pun merupakan suatu hal yang penting untuk dipahami, sehingga naluri seksualitas manusia secara sadar digunakan sesuai tuntunan dan tidak disalahgunakan (misuse).



Laman Tafsir Al-Quran melansir menurut Al-Qur'an, setidaknya ada 4 aktivitas seksualitas yang dilarang.

Pertama, larangan menuruti syahwat secara eksploitatif sehingga melupakan Tuhan. Larangan tersebut terkandung dalam QS An-Nisa [4] : 27, yakni:

وَاللّٰهُ يُرِيْدُ اَنْ يَّتُوْبَ عَلَيْكُمْ ۗ وَيُرِيْدُ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الشَّهَوٰتِ اَنْ تَمِيْلُوْا مَيْلًا عَظِيْمًا ٢٧

Dan Allah hendak menerima tobatmu, sedang orang-orang yang mengikuti keinginannya menghendaki agar kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).”

Al-Zuhaili mengatakan rangkaian firman ini mulai dari ayat 24 sampai ayat 27 merupakan penjelasan Al-Qur'an mengenai (hubungan) seks yang halal melalui pernikahan.

Syaikh Abdurrahman Ishaq dalam Lubab al-Tafsir min Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan janji Allah untuk menerima taubat manusia karena mengikuti syariat-Nya, sementara para pemuja setan dari golongan Yahudi, Nasrani, dan para pezina menggoda dengan syahwat seksual agar manusia berpaling dari kebenaran.

Al-Zuhaili menambahkan komentar bahwa penerimaan taubat yang dimaksud adalah bagi mereka yang sempat melakukan dosa karena mengikuti nafsu syahwat dengan menikahi ibu, saudara perempuan, dan perempuan lain yang diharamkan sebagaimana orang Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Syahdan, ayat ini secara umum dapat dimaknai sebagai larangan berpaling dari ajaran agama atas dorongan syahwat seksualitas.



Kedua, larangan melakukan seks yang menyimpang. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS Al-a’raf [7] : 81, yakni:

اِنَّكُمْ لَتَأْتُوْنَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِّنْ دُوْنِ النِّسَاۤءِۗ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُوْنَ ٨

Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.”

Ayat ini menurut Ibn Katsir menjelaskan tentang perilaku penyimpangan seksual pertama yang dilakukan oleh manusia, yakni oleh kaum Sodom. Mereka melakukan hubungan seksual antara pria sesama jenis (homoseksual), sehingga perilaku tersebut dikatakan sebagai perbuatan bodoh (jahl) dan melampaui batas (israf) karena telah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya (dzalim).

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengatakan Nabi Daud tidak Allah perintahkan untuk mengajak kepada tauhid, melainkan beliau secara khusus diutus untuk meluruskan keburukan (fahisyah).

Hal ini terlihat pada penekanan frasa “innakum lata`tuna” yang secara semantik sederajat syariat ketuhanan dan tauhid, karena keduanya adalah fitrah.

Quraish Shihab menganggap bahwa perilaku homoseksual adalah pelanggaran fitrah yang tidak dapat dapat dibenarkan dalam kondisi apapun. Artinya, perilaku homoseksual kaum Sodom tersebut melampaui batas (israf) fitrah kemanusiaan.



Ketiga, larangan mendekati zina. Allah berfirman dalam QS Al-Isra [17] : 32, yakni:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا ٣٢

Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”

Ayat ini menurut Ibnu Katsir merupakan larangan mendekati zina dan hal-hal yang mendorong perbuatan zina.

Zina sendiri menurut Al-Shabuni dalam Rawai’ al-Bayan dan Al-Nawawi dalam Syarah Muhadzdzab merupakan persetubuhan (jima’) yang dilakukan laki-laki dan perempuan tanpa ikatan suami-isteri. Sementara hal yang mendorong zina misalnya seperti khalwat, menonton pornografi, dan pergaulan bebas.

Selain itu, Al-Zuhaili juga memberi komentar bahwa larangan zina dalam ayat tersebut karena zina merupakan perbuatan israf yang sangat keji (fahisyah), sangat dibenci (maqtan), dan jalan yang buruk (sa'a sabila). Al-Zuhaili melanjutkan bahwa keharaman zina tersebut karena dapat merusak nasab dan menghinakan derajat manusia yang tidak ada bedanya dengan hewan.



Keempat, larangan melakukan hubungan seksual dengan cara dan kondisi yang tidak dikehendaki, yakni dengan cara yang ma’ruf dan kondisi (perempuan) yang suci. Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah [2] : 222, yakni:

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ….. ٢٢٢

Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu…”

Ayat tersebut menurut Ibnu Katsir merupakan larangan untuk melakukan hubungan seksual berupa jima’ pada kemaluan wanita yang sedang haid. Sementara pada sesuatu selain kemaluannya, mayoritas ulama membolehkannya.

Selain itu, ayat tersebut juga mengandung penjelasan bahwa ketika wanita selesai haid maka diperbolehkan untuk menggaulinya (al-ityan) atau melakukan jima’ (Al-Zuhaili, 2013: 519).

Frasa “fa`tuuhunna min haytsu amarakumullah” menurut Al-Zuhaili (2013: 520) bermakna bahwa cara berhubungan seksual yang ma’ruf sesuai ajaran Islam adalah dengan melakukan penetrasi hanya pada bagian vagina yang merupakan tempat reproduksi.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1907 seconds (0.1#10.140)