Benarkah Jafar Barzanji Penganut Syiah Zaidiyah? Begini Kata Gus Baha
loading...
A
A
A
Penggubah Kitab Barzanji itu bernama Jafar Barzanji (1690-1764). Nama lengkapnya, Jafar bin Hasan bin Abdul Karim bin Muhammad. Beliau adalah keturunan Nabi Muhammad SAW . Diapun dibanggil Sayyid Jafar Barzanji. Lalu, benarkah dia penganut Syiah Zaidiyah?
KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menyebut bahwa Jafar Barzanji bermazhab Syiah Zaidiyah. Namun belakangan Gus Baha mengklarifikasi pernyataannya itu.
Gus Baha, dalam kanal Sulang Doa di jaringan YouTube, menyebut demikian dikaitkan dengan masuknya Islam pertama kali ke Indonesia dibawa oleh orang Syiah Zaidiyah. Alasan lainnya, kitab Barzanji maupun Diba' tidak menyebutkan nama-nama sahabat Nabi lainnya selain dari golongan Ahlul Bait (keluarga Nabi).
Hanya saja, pada kanal Thoriqussalam Indonesia, Gus Baha mencoba meluruskan pernyataannya itu. Dia bilang, Jafar Barzanji adalah seorang Ahlussunnah wal Jamaah . "Berdasarkan ilmu sosiologi, yang suka memperbandingkan berbagai kultur, bahwa benar isi Kitab Barzanji memiliki kemiripan dengan tradisi Syiah," katanya.
Sejatinya, pernyataan Gus Baha ini juga disebutkan Buku Ensiklopedi Islam Nusantara terbitan Departemen Agama. Menurut buku ini, pengaruh Syiah di Nahdlatul Ulama (NU) sangat besar dan mendalam. "Tradisi barzanji ini berkembang pesat di kalangan pesantren-pesantren yang tersebar di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. NU yang notabene dianggap sebagai pesantren besar dianggap sebagai organisasi pelestari tradisi ini."
Kebiasaan membaca Barzanjijuga Diba’i yang menjadi ciri khas masyarakat NU berasal dari tradisi Syiah. Makanya kemudian Kiai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah menyebut bahwa salah satu pengaruh tradisi Syiah dalam corak keislaman di Indonesia adalah praktik nyanyian (biasa disebut juga pujian) menjelang salat yang biasa dipraktikkan di kalangan warga nahdliyyin (NU).
Nyanyian itu berisi pujian untuk ahl albait atau keluarga Nabi, istilah yang sangat populer di kalangan Syiah maupun nahdliyyin. Bunyi nyanyian itu ialah: Li khamsatun uthfi biha, harra al Waba’ al Hathimah, al Mushthafa wa al Murtadla, wa Ibnuahuma wa al Fathimah.
“Terjemahannya: Aku memiliki lima ‘jimat’ untuk memadamkan epidemi yang mengancam; mereka adalah al-Musthafa (yakni Nabi Muhammad), al-Murtadla (yakni Ali bin Abi Thalib , menantu dan sepupu Nabi), kedua putra Ali (yakni Hasan dan Husein ), dan Fatimah (istri Ali).
“Gus Dur menyebut gejala ini sebagai ‘Syiah kultural’ atau pengaruh Syiah dari segi budaya, bukan dari segi akidah,” demikian Buku Ensiklopedi Islam Nusantara
Di luar itu, tak sedikit yang menyebutkan bahwa Jafar Barzanji adalah seorang Syiah, dan bahkan secara terang-terangan mengatakan bahwa Kitab Barzanji itu menyimpang, salah, dan bid’ah.
Lahir di Madinah
Sayyid Jafar Barzanji dilahirkan di Madinah dan menghabiskan seluruh usianya di sana. Sejak kecil dia telah menuntut ilmu dengan belajar Al-Qur'an kepada Syaikh Ismail al-Yamani, dan belajar tajwid serta memperbaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf as-Su’udi dan Syaikh Syamsuddin al-Misri.
Versi lainnya menyebutkan bahwa Jafar Barzanji tidak selamanya menetap di Madinah, melainkan sempat hijrah dan menetap di Mekkah selama 5 tahun. Di sana dia belajar kepada ulama-ulama ternama pada masa itu, di antaranya kepada Syaikh Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab at-Tanthowi al-Ahmadi, dan Syaikh Ahmad al-Asybuli.
Selain itu, Jafar Barzanji juga telah mendapat ijazah dari beberapa ulama, mereka di antaranya adalah Syaikh Muhammad at-Thoyib al-Fasi, Sayyid Muhammad at-Thabari, Syaikh Muhammad bin Hasan al-A’jimi, Sayyid Musthafa al-Bakri, dan Syaikh Abdullah as-Syubrawi al-Misri.
Alhasil, dari proses pembelajaran yang dia tempuh, dia menguasai banyak cabang ilmu, di antaranya adalah Shorof, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, dan Mustholah.
Selain Kitab Barzanji, dia juga menulis kitab yang benar-benar populer lainnya, yaitu Kitab Lujain al-Dani ji Manaqib Abd al-Qadir al-Jilani. Kitab tersebut isinya adalah hagiografi dari Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, dan kepopuleran kitab ini bahkan menembus sampai sudut-sudut yang paling jauh di Nusantara.
Encyclopaedia Britannica menyebut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah peletak dasar fondasi tarekat Qadiriyah. Reputasinya yang luar biasa sebagai seorang pengkhotbah dan guru sufi telah menarik murid-murid dari seluruh dunia Islam, dan dia dikatakan telah mengislamkan banyak orang Yahudi dan Kristen.
Tradisi pembacaan manaqib Abdul Qadir al-Jailani di Indonesia biasanya ditujukan untuk menolak bala, memohon perlindungan, mengusir setan, atau semata-mata sebagai tindakan pemujaan. Pembacaan manaqib ini sudah lama tersebar luas dan menjadi praktik yang umum dilakukan di Indonesia.
Kitab lain yang ditulis oleh Jafar Barzanji namun kurang dikenal secara luas di Indonesia adalah Qishshah al-Mi‘raj, kitab ini masih tentang Nabi Muhammad saw. Lalu ada juga kitab hagiografi yang disusunnya tentang wali zaman pertengahan yang kurang dikenal, yaitu Hamzah. Kitab ini tampaknya juga hanya dikenal paling tidak oleh beberapa orang Indonesia saja.
Kitab lainnya gubahan Jafar Barzanji yang lebih kurang dikenal lagi di antara lain adalah Syawahid al-Ghufran ‘Ala Jaliy al-Ahzan fi Fadhail Ramadhan, Mashabihul Ghurur ‘Ala Jaliyyil Qadr, dan Taj al-Ibtihaj ‘Ala Dhau’ al-Wahhaj fi al-Isra’ Wa Al-Mi’raj.
Jafar Barzanji juga menulis kitab manaqib yang menceritakan perjalanan hidupnya sendiri, yaitu ar-Raudh al-Athar fi Manaqib as-Sayyid Jafar.
Mufti Mazhab Syafii
Pada tahun 1984, William Ochsenwald menerbitkan sebuah buku yang berjudul Society and the State in Arabia. The Hijaz under Ottoman Control, 1840-1908. Isi buku tersebut merupakan sebuah studi tentang wilayah Hijaz ketika berada di bawah kekuasaan Kesultanan Turki Utsmani (1840- 1908).
Studi tersebut menunjukkan, bahwa dalam rentang waktu 67 tahun Turki Utsmani berkuasa di Hijaz, keluarga Barzinji yang menetap di Madinah memiliki pengaruh yang besar. Jabatan mufti mazhab Syafii di kota tersebut seringkali berada di tangan mereka, dan Jafar Barzanji adalah salah satunya.
Jafar Barzanji adalah penganut mazhab Syafii. Keluarga Barzanji yang berasal dari Kurdi, secara tradisional memang pengikut mazhab Syafii. Orang-orang Kurdi umumnya pada abad ke-17 adalah para pengikut Syafii.
Bahkan di Kurdistan, terdapat sebuah wilayah yang bernama Syahrazur, tempat dilahirkannya ulama-ulama Syafii yang kelak memiliki nama besar, salah satunya adalah Ibrahim al-Kurani. Banyak orang-orang Indonesia yang belajar kepada ulama-ulama asal Syahrazur ini di Mekkah dan Madinah. Keluarga Barzanji (yakni keluarga asal Jafar Barzanji), adalah keluarga ulama ternama yang juga berasal dari Syahrazur ini.
Syiah Zaidiyah
Dalam sejarahnya, Syiah Zaidiyah didirikan oleh Imam Zaid bin Ali Zainal-Abidin. Beliau salah satu Imam Ahlul Bait (keluarga Nabi), yang merupakan cucu Khalifah Ali bin Abi Thalib dari jalur Husain. Ulama yang lahir antara tahun 75–80 ini hidup di masa yang sama dengan Imam Abu Hanifah.
Tentang kecerdasannya, Imam Abu Hanifah berkata: “Aku tidak melihat ada yang lebih pintar dari Imam Zaid di zamannya, dan juga tidak menemukan orang yang bisa secepat Imam Zaid dalam menjawab pertanyaan, serta lugas penjelasannya”.
Meski Imam Zaid dimasukkan sebagai salah satu tokoh Syiah, namun pandangannya sangat berbeda dengan Syiah lainnya. Umumnya kelompok Syiah menempatkan Khalifah Abu Bakar dan Umar sebagai perampas kekuasaan. Tetapi Imam Zaid sebaliknya, menentang pendapat tersebut.
Ketika itu sekelompok orang Syiah yang sangat membenci Abu Bakar dan Umar berkata,“Wahai Imam (Zaid), Tabarro’ (berlepas diri lah!) dari Abu Bakar dan Umar (maksudnya, lepaskan diri dari penghormatan kepada Abu Bakar dan Umar). Kalau kau sudah ber-tabarro’ dari keduanya, kami akan membaiat anda wahai Imam!”
Imam Zaid dengan tegas menjawab: “Tidak! Aku tidak akan berlepas diri dari mereka berdua (Abu Bakar dan Umar)”. Mereka menanggapi: “kalau gitu, kami menolakmu (Rafdh)”.
Imam Zaid tanpa basa basi menjawab,”Baik, pergilah kalian. Kalian semua adalah penolak/penentang! (Rafidhah)”
Ali bin Ibrahim Al-Halabi dalam "Al-Sirah Al-Halabiyah" menyebut sejak saat itulah istilah ‘rafidhah’ digunakan bagi mereka yang membenci dan menentang Abu Bakar dan Umar bin Khattab . Dan nama ‘zaidiyah’ digunakan bagi mereka yang mengikuti Imam Zaid dalam pandangannya terhadap Abu Bakar dan Umar.
Al-Ustadz Muhammad Al-Khudhari Bik dalam "Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami" mengatakan lantaran faktor inilah mazhab ini diterima oleh para ulama Ahlu Sunnah. Mereka sama sekali tidak menghina Shaikhan; Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Hanya saja lebih mendahulukan atau mengutamakan Ali bin Abi Thalib ketimbang keduanya.
Demikian juga dalam masalah nikah mut’ah (kawin kontrak) yang umumnya diakui oleh kalangan Syiah. Zaidiyah ini malah menentang dan tidak membenarkannya sebagaimana Ahlu Sunnah.
KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menyebut bahwa Jafar Barzanji bermazhab Syiah Zaidiyah. Namun belakangan Gus Baha mengklarifikasi pernyataannya itu.
Gus Baha, dalam kanal Sulang Doa di jaringan YouTube, menyebut demikian dikaitkan dengan masuknya Islam pertama kali ke Indonesia dibawa oleh orang Syiah Zaidiyah. Alasan lainnya, kitab Barzanji maupun Diba' tidak menyebutkan nama-nama sahabat Nabi lainnya selain dari golongan Ahlul Bait (keluarga Nabi).
Hanya saja, pada kanal Thoriqussalam Indonesia, Gus Baha mencoba meluruskan pernyataannya itu. Dia bilang, Jafar Barzanji adalah seorang Ahlussunnah wal Jamaah . "Berdasarkan ilmu sosiologi, yang suka memperbandingkan berbagai kultur, bahwa benar isi Kitab Barzanji memiliki kemiripan dengan tradisi Syiah," katanya.
Sejatinya, pernyataan Gus Baha ini juga disebutkan Buku Ensiklopedi Islam Nusantara terbitan Departemen Agama. Menurut buku ini, pengaruh Syiah di Nahdlatul Ulama (NU) sangat besar dan mendalam. "Tradisi barzanji ini berkembang pesat di kalangan pesantren-pesantren yang tersebar di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. NU yang notabene dianggap sebagai pesantren besar dianggap sebagai organisasi pelestari tradisi ini."
Kebiasaan membaca Barzanjijuga Diba’i yang menjadi ciri khas masyarakat NU berasal dari tradisi Syiah. Makanya kemudian Kiai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah menyebut bahwa salah satu pengaruh tradisi Syiah dalam corak keislaman di Indonesia adalah praktik nyanyian (biasa disebut juga pujian) menjelang salat yang biasa dipraktikkan di kalangan warga nahdliyyin (NU).
Nyanyian itu berisi pujian untuk ahl albait atau keluarga Nabi, istilah yang sangat populer di kalangan Syiah maupun nahdliyyin. Bunyi nyanyian itu ialah: Li khamsatun uthfi biha, harra al Waba’ al Hathimah, al Mushthafa wa al Murtadla, wa Ibnuahuma wa al Fathimah.
“Terjemahannya: Aku memiliki lima ‘jimat’ untuk memadamkan epidemi yang mengancam; mereka adalah al-Musthafa (yakni Nabi Muhammad), al-Murtadla (yakni Ali bin Abi Thalib , menantu dan sepupu Nabi), kedua putra Ali (yakni Hasan dan Husein ), dan Fatimah (istri Ali).
“Gus Dur menyebut gejala ini sebagai ‘Syiah kultural’ atau pengaruh Syiah dari segi budaya, bukan dari segi akidah,” demikian Buku Ensiklopedi Islam Nusantara
Di luar itu, tak sedikit yang menyebutkan bahwa Jafar Barzanji adalah seorang Syiah, dan bahkan secara terang-terangan mengatakan bahwa Kitab Barzanji itu menyimpang, salah, dan bid’ah.
Lahir di Madinah
Sayyid Jafar Barzanji dilahirkan di Madinah dan menghabiskan seluruh usianya di sana. Sejak kecil dia telah menuntut ilmu dengan belajar Al-Qur'an kepada Syaikh Ismail al-Yamani, dan belajar tajwid serta memperbaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf as-Su’udi dan Syaikh Syamsuddin al-Misri.
Versi lainnya menyebutkan bahwa Jafar Barzanji tidak selamanya menetap di Madinah, melainkan sempat hijrah dan menetap di Mekkah selama 5 tahun. Di sana dia belajar kepada ulama-ulama ternama pada masa itu, di antaranya kepada Syaikh Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab at-Tanthowi al-Ahmadi, dan Syaikh Ahmad al-Asybuli.
Selain itu, Jafar Barzanji juga telah mendapat ijazah dari beberapa ulama, mereka di antaranya adalah Syaikh Muhammad at-Thoyib al-Fasi, Sayyid Muhammad at-Thabari, Syaikh Muhammad bin Hasan al-A’jimi, Sayyid Musthafa al-Bakri, dan Syaikh Abdullah as-Syubrawi al-Misri.
Alhasil, dari proses pembelajaran yang dia tempuh, dia menguasai banyak cabang ilmu, di antaranya adalah Shorof, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, dan Mustholah.
Selain Kitab Barzanji, dia juga menulis kitab yang benar-benar populer lainnya, yaitu Kitab Lujain al-Dani ji Manaqib Abd al-Qadir al-Jilani. Kitab tersebut isinya adalah hagiografi dari Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, dan kepopuleran kitab ini bahkan menembus sampai sudut-sudut yang paling jauh di Nusantara.
Encyclopaedia Britannica menyebut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah peletak dasar fondasi tarekat Qadiriyah. Reputasinya yang luar biasa sebagai seorang pengkhotbah dan guru sufi telah menarik murid-murid dari seluruh dunia Islam, dan dia dikatakan telah mengislamkan banyak orang Yahudi dan Kristen.
Tradisi pembacaan manaqib Abdul Qadir al-Jailani di Indonesia biasanya ditujukan untuk menolak bala, memohon perlindungan, mengusir setan, atau semata-mata sebagai tindakan pemujaan. Pembacaan manaqib ini sudah lama tersebar luas dan menjadi praktik yang umum dilakukan di Indonesia.
Kitab lain yang ditulis oleh Jafar Barzanji namun kurang dikenal secara luas di Indonesia adalah Qishshah al-Mi‘raj, kitab ini masih tentang Nabi Muhammad saw. Lalu ada juga kitab hagiografi yang disusunnya tentang wali zaman pertengahan yang kurang dikenal, yaitu Hamzah. Kitab ini tampaknya juga hanya dikenal paling tidak oleh beberapa orang Indonesia saja.
Kitab lainnya gubahan Jafar Barzanji yang lebih kurang dikenal lagi di antara lain adalah Syawahid al-Ghufran ‘Ala Jaliy al-Ahzan fi Fadhail Ramadhan, Mashabihul Ghurur ‘Ala Jaliyyil Qadr, dan Taj al-Ibtihaj ‘Ala Dhau’ al-Wahhaj fi al-Isra’ Wa Al-Mi’raj.
Jafar Barzanji juga menulis kitab manaqib yang menceritakan perjalanan hidupnya sendiri, yaitu ar-Raudh al-Athar fi Manaqib as-Sayyid Jafar.
Mufti Mazhab Syafii
Pada tahun 1984, William Ochsenwald menerbitkan sebuah buku yang berjudul Society and the State in Arabia. The Hijaz under Ottoman Control, 1840-1908. Isi buku tersebut merupakan sebuah studi tentang wilayah Hijaz ketika berada di bawah kekuasaan Kesultanan Turki Utsmani (1840- 1908).
Studi tersebut menunjukkan, bahwa dalam rentang waktu 67 tahun Turki Utsmani berkuasa di Hijaz, keluarga Barzinji yang menetap di Madinah memiliki pengaruh yang besar. Jabatan mufti mazhab Syafii di kota tersebut seringkali berada di tangan mereka, dan Jafar Barzanji adalah salah satunya.
Jafar Barzanji adalah penganut mazhab Syafii. Keluarga Barzanji yang berasal dari Kurdi, secara tradisional memang pengikut mazhab Syafii. Orang-orang Kurdi umumnya pada abad ke-17 adalah para pengikut Syafii.
Bahkan di Kurdistan, terdapat sebuah wilayah yang bernama Syahrazur, tempat dilahirkannya ulama-ulama Syafii yang kelak memiliki nama besar, salah satunya adalah Ibrahim al-Kurani. Banyak orang-orang Indonesia yang belajar kepada ulama-ulama asal Syahrazur ini di Mekkah dan Madinah. Keluarga Barzanji (yakni keluarga asal Jafar Barzanji), adalah keluarga ulama ternama yang juga berasal dari Syahrazur ini.
Syiah Zaidiyah
Dalam sejarahnya, Syiah Zaidiyah didirikan oleh Imam Zaid bin Ali Zainal-Abidin. Beliau salah satu Imam Ahlul Bait (keluarga Nabi), yang merupakan cucu Khalifah Ali bin Abi Thalib dari jalur Husain. Ulama yang lahir antara tahun 75–80 ini hidup di masa yang sama dengan Imam Abu Hanifah.
Tentang kecerdasannya, Imam Abu Hanifah berkata: “Aku tidak melihat ada yang lebih pintar dari Imam Zaid di zamannya, dan juga tidak menemukan orang yang bisa secepat Imam Zaid dalam menjawab pertanyaan, serta lugas penjelasannya”.
Meski Imam Zaid dimasukkan sebagai salah satu tokoh Syiah, namun pandangannya sangat berbeda dengan Syiah lainnya. Umumnya kelompok Syiah menempatkan Khalifah Abu Bakar dan Umar sebagai perampas kekuasaan. Tetapi Imam Zaid sebaliknya, menentang pendapat tersebut.
Ketika itu sekelompok orang Syiah yang sangat membenci Abu Bakar dan Umar berkata,“Wahai Imam (Zaid), Tabarro’ (berlepas diri lah!) dari Abu Bakar dan Umar (maksudnya, lepaskan diri dari penghormatan kepada Abu Bakar dan Umar). Kalau kau sudah ber-tabarro’ dari keduanya, kami akan membaiat anda wahai Imam!”
Imam Zaid dengan tegas menjawab: “Tidak! Aku tidak akan berlepas diri dari mereka berdua (Abu Bakar dan Umar)”. Mereka menanggapi: “kalau gitu, kami menolakmu (Rafdh)”.
Imam Zaid tanpa basa basi menjawab,”Baik, pergilah kalian. Kalian semua adalah penolak/penentang! (Rafidhah)”
Ali bin Ibrahim Al-Halabi dalam "Al-Sirah Al-Halabiyah" menyebut sejak saat itulah istilah ‘rafidhah’ digunakan bagi mereka yang membenci dan menentang Abu Bakar dan Umar bin Khattab . Dan nama ‘zaidiyah’ digunakan bagi mereka yang mengikuti Imam Zaid dalam pandangannya terhadap Abu Bakar dan Umar.
Al-Ustadz Muhammad Al-Khudhari Bik dalam "Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami" mengatakan lantaran faktor inilah mazhab ini diterima oleh para ulama Ahlu Sunnah. Mereka sama sekali tidak menghina Shaikhan; Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Hanya saja lebih mendahulukan atau mengutamakan Ali bin Abi Thalib ketimbang keduanya.
Demikian juga dalam masalah nikah mut’ah (kawin kontrak) yang umumnya diakui oleh kalangan Syiah. Zaidiyah ini malah menentang dan tidak membenarkannya sebagaimana Ahlu Sunnah.
(mhy)