Inilah Sosok Ayah Imam Abdullah bin Mubarak yang Luar Biasa
loading...
A
A
A
Imam Abdullah bin Mubarak (118-181 H) memang terlahir dari orang tua biasa, namun kisahnya luar biasa. Meski ayahnya seorang budak, Imam Abdullah bin Mubarak lahir dan tumbuh menjadi seorang ulama besar di masa Tabi'in.
Keilmuannya tidak diragukan lagi. Selain ahli hadis dan ahli fiqih, Imam Abdullah bin Mubarak dikenal sangat tawadhu dan dermawan membantu fakir miskin. Beliau juga jagoannya Mujahidin, as-Safar, Al-Hafiz, Imam az-Zuhud. Semua ulama hormat padanya.
Kali ini kita akan mengungkap kisah luar biasa orang tua dari Imam Ibnul Mubarak. Siapa sebenarnya sosok ayah Imam Abdullah bin Mubarak? Berikut kisahnya diceritakan oleh Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq, Dai Pimpinan Ma'had Subulana Bontang Kalimantan Timur.
Kita tentu sudah mengenal siapa sosok Imam Abdullah bin Mubarak, namun tidak banyak yang mengetahui tentang ayahnya yang juga seorang yang luar biasa. Ayahnya berasal dari Turki dan ibunya dari Khawarizmi. Ibnul Mubarak lahir di Marwa pada Tahun 118 H dan diberi gelar Abu Abdirrahman.
Membaca sedikit saja kehidupan Ibnul Mubarak pasti kita akan dibuat terkagum-kagum kepadanya, betapa jujurnya ia dan karenanya pantaslah jika putranya menjadi ulama besar.
Mubarak awalnya berstatus sebagai seorang budak. Ia ditugasi oleh tuannya untuk menjaga kebun delima milik seorang pedagang Hamadzan dari kabilah Bani Hanzhalah.
Bertahun-tahun Mubarak menjadi penjaga kebun. Sampai suatu hari, majikannya datang ke kebun tempat ia bekerja dan minta diambilkan delima yang manis. Mubarak segera bergerak mengambilkan salah satu buah delima, tetapi majikannya tidak berkenan saat mencicipinya.
"Ini masam, Mubarak," katanya dengan nada kecewa. "Carikanlah yang manis."
Mubarak pun mengambilkan buah kedua. "Ini juga masam, carikan yang manis!" Kata-kata itu kembali meluncur dari sang majikan setelah ia mencicipinya.
Mubarak mengambilkan buah delima ketiga. Lagi-lagi, wajah majikan menandakan raut muka kecewa setelah memakannya. "Ini masam, Mubarak. Apakah kau tidak bisa membedakan buah delima yang manis dan buah delima yang masam?"
Mubarak pun menjawab: "Saya tidak dapat membedakannya, antara yang manis dan yang masam tuan. Sebab saya tak pernah mencicipinya."
Mendengar jawaban itu, alangkah herannya sang majikan. "Kau tidak pernah mencicipinya? Padahal engkau sudah bertahun-tahun aku tugaskan menjaga kebun ini?"
"Iya tuan. Engkau menugaskan aku untuk menjaganya, bukan untuk mencicipinya," jawab Mubarak.
Sang majikan tidak jadi marah. Persoalan tidak mendapatkan delima yang manis terlupakan begitu saja. Yang ada kini hanya kekaguman. Ia kagum dengan kejujuran budak penjaga kebunnya.
"Wahai Mubarak, aku memiliki putri yang belum menikah," kata sang majikan mengubah topik pembicaraan.
"Menurutmu, siapakah yang pantas menikah dengan putriku ini?"
"Dulu, orang-orang jahiliyah menikahkan putrinya atas dasar keturunan," jawab Mubarak. "Orang-orang Yahudi menikahkan putrinya atas dasar harta dan kekayaan. Orang-orang Nasrani menikahkan putrinya atas dasar ketampanan. Maka sudah selayaknya orang-orang Muslim menikahkan putrinya atas dasar agama."
Jawaban ini semakin membuat sang majikan kagum dengan Mubarak. Dan selang beberapa waktu, Mubarak dipilih olehnya untuk menjadi menantu. Ia dinikahkan dengan putri kesayangannya.
Dari pernikahan mereka inilah lahir Abdullah bin Mubarak, ulama besar kebanggaan umat yang sangat sulit dicari bandingannya.
Demikianlah, kejujuran akan selalu berbuah manis. Apa yang dialami oleh Mubarak, kejujuran membuatnya bebas, yakni dari berstatus budak menjadi orang yang merdeka. Bahkan, kejujuran pula yang mempertemukannya dengan cinta sejatinya hingga dikaruniai keturunan yang mulia.
Referensi:
Wafayatul A'yan (3/33)
Keilmuannya tidak diragukan lagi. Selain ahli hadis dan ahli fiqih, Imam Abdullah bin Mubarak dikenal sangat tawadhu dan dermawan membantu fakir miskin. Beliau juga jagoannya Mujahidin, as-Safar, Al-Hafiz, Imam az-Zuhud. Semua ulama hormat padanya.
Kali ini kita akan mengungkap kisah luar biasa orang tua dari Imam Ibnul Mubarak. Siapa sebenarnya sosok ayah Imam Abdullah bin Mubarak? Berikut kisahnya diceritakan oleh Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq, Dai Pimpinan Ma'had Subulana Bontang Kalimantan Timur.
Kita tentu sudah mengenal siapa sosok Imam Abdullah bin Mubarak, namun tidak banyak yang mengetahui tentang ayahnya yang juga seorang yang luar biasa. Ayahnya berasal dari Turki dan ibunya dari Khawarizmi. Ibnul Mubarak lahir di Marwa pada Tahun 118 H dan diberi gelar Abu Abdirrahman.
Membaca sedikit saja kehidupan Ibnul Mubarak pasti kita akan dibuat terkagum-kagum kepadanya, betapa jujurnya ia dan karenanya pantaslah jika putranya menjadi ulama besar.
Mubarak awalnya berstatus sebagai seorang budak. Ia ditugasi oleh tuannya untuk menjaga kebun delima milik seorang pedagang Hamadzan dari kabilah Bani Hanzhalah.
Bertahun-tahun Mubarak menjadi penjaga kebun. Sampai suatu hari, majikannya datang ke kebun tempat ia bekerja dan minta diambilkan delima yang manis. Mubarak segera bergerak mengambilkan salah satu buah delima, tetapi majikannya tidak berkenan saat mencicipinya.
"Ini masam, Mubarak," katanya dengan nada kecewa. "Carikanlah yang manis."
Mubarak pun mengambilkan buah kedua. "Ini juga masam, carikan yang manis!" Kata-kata itu kembali meluncur dari sang majikan setelah ia mencicipinya.
Mubarak mengambilkan buah delima ketiga. Lagi-lagi, wajah majikan menandakan raut muka kecewa setelah memakannya. "Ini masam, Mubarak. Apakah kau tidak bisa membedakan buah delima yang manis dan buah delima yang masam?"
Mubarak pun menjawab: "Saya tidak dapat membedakannya, antara yang manis dan yang masam tuan. Sebab saya tak pernah mencicipinya."
Mendengar jawaban itu, alangkah herannya sang majikan. "Kau tidak pernah mencicipinya? Padahal engkau sudah bertahun-tahun aku tugaskan menjaga kebun ini?"
"Iya tuan. Engkau menugaskan aku untuk menjaganya, bukan untuk mencicipinya," jawab Mubarak.
Sang majikan tidak jadi marah. Persoalan tidak mendapatkan delima yang manis terlupakan begitu saja. Yang ada kini hanya kekaguman. Ia kagum dengan kejujuran budak penjaga kebunnya.
"Wahai Mubarak, aku memiliki putri yang belum menikah," kata sang majikan mengubah topik pembicaraan.
"Menurutmu, siapakah yang pantas menikah dengan putriku ini?"
"Dulu, orang-orang jahiliyah menikahkan putrinya atas dasar keturunan," jawab Mubarak. "Orang-orang Yahudi menikahkan putrinya atas dasar harta dan kekayaan. Orang-orang Nasrani menikahkan putrinya atas dasar ketampanan. Maka sudah selayaknya orang-orang Muslim menikahkan putrinya atas dasar agama."
Jawaban ini semakin membuat sang majikan kagum dengan Mubarak. Dan selang beberapa waktu, Mubarak dipilih olehnya untuk menjadi menantu. Ia dinikahkan dengan putri kesayangannya.
Dari pernikahan mereka inilah lahir Abdullah bin Mubarak, ulama besar kebanggaan umat yang sangat sulit dicari bandingannya.
Demikianlah, kejujuran akan selalu berbuah manis. Apa yang dialami oleh Mubarak, kejujuran membuatnya bebas, yakni dari berstatus budak menjadi orang yang merdeka. Bahkan, kejujuran pula yang mempertemukannya dengan cinta sejatinya hingga dikaruniai keturunan yang mulia.
Referensi:
Wafayatul A'yan (3/33)
(rhs)