Bagaimana Sunnah Mengajarkan Saat Hari Ketujuh Kelahiran Bayi?

Selasa, 25 Oktober 2022 - 10:18 WIB
loading...
Bagaimana Sunnah Mengajarkan Saat Hari Ketujuh Kelahiran Bayi?
Kebiasaan dan Sunnah Rasulullah Shallalahu Alaihi wa Sallam dalam menyambut kelahiran bayi ini adalah dalam rangka agar para orang tua kaum muslimin memberi pengaruh yang penting untuk menumbuhkan kasih sayang dan cinta di hati si anak. Foto istimewa
A A A
Kelahiran bayi adalah kabar gembira dari Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada orang tua. Untuk menyambut kehadiran si bayi, syariat Islam telah mengajarkan beberapa Sunnah. Lalu Sunnah apa saja yang dikerjakan pada hari ketujuh kelahiran?

Kebiasaan dan Sunnah Rasulullah Shallalahu 'Alaihi wa Sallam dalam menyambut kelahiran bayi ini adalah dalam rangka agar para orang tua kaum muslimin memberi pengaruh yang penting untuk menumbuhkan kasih sayang dan cinta di hati si anak.

Baca Juga: Adab dan Amalan Menyambut Kelahiran Bayi

Dalam kitab berjudul Manhaj At-Tarbiyah An-Nabawiyah lit-Thifl karya Muhammad Nur abdul Hafizh Suwaid, ada beberapa sunnah Rasulullah Shallalahu 'Alaihi wa Sallam dalam proses hingga hari tujuh kelahiran bayi.

Pertama, Memberi Nama

Ketika seorang bayi dilahirkan, penghormatan pertama yang diberikan adalah memberikan nama yang baik dan julukan yang mulia. Nama yang baik akan terpatri dengan Indah dan melekat lama dalam jiwa sejak pertama kali mendengarnya.

Pemberian nama ini diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada hamba-Nya. Allah sendiri yang mewajibkan kepada kita agar memanggil-Nya dengan nama-nama-nya yang mulia.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَلِلّٰهِ الْاَ سْمَآءُ الْحُسْنٰى فَا دْعُوْهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْۤ اَسْمَآئِهٖ ۗ سَيُجْزَوْنَ مَا كَا نُوْا يَعْمَلُوْنَ 


"Dan Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan."
(QS. Al-A'raf : 180)

Meski lebih baik hari ketujuh, namun waktu penamaan anak cukup longgar. Boleh menamainya pada hari kelahirannya atau pada hari ke tujuh, masing-masing memiliki dasar hukumnya.

Dalam Shahih Muslim dari hadits Sulaiman bin Al-Mughirah dari Tsabit dari Anas, ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Malam ini bayiku lahir, Aku beri nama mirip nama moyangku, Ibrahim”.

Zubair bin Awwam Radhiallahu ‘Anhu (sahabat yang termasuk di antara 10 sahabat yang dijamin masuk surga) memilihkan nama untuk anak-anaknya berupa nama para sahabat yang sudah syahid. Ini dengan harapan agar anak-anaknya kelak mengikuti langkah para syihada' itu.

Kedua, Mencukur (Memotong) Rambut.

Imam Malik meriwayatkan bahwa Sayyidah Fatimah Az-Zahra radhiyallahu 'anha menimbang rambut Hasan dan Husin, demikian juga rambut Ummu Kulsum, lalu menyedekahkan perak seberat rambut tersebut.

Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa Rasulullah Shallalahu 'Alaihi wa Sallam pernah berkata kepada Fatimah ketika melahirkan Hasan : "Wahai Fatimah, cukurlah rambutnya dengan mengeluarkan perak seberat timbangan rambutnya." Lalu Fatimah menimbangnya, dan ternyata beratnya adalah satu dirham atau kurang sedikit."

Ketiga, Aqiqah.

Begitu besarnya perhatian para sahabat hingga salafush shalih (ulama terdahulu) mengenai masalah Aqiqah ini, sampai-sampai ada salah seorang di antara mereka yang tidak mempunyai harta untuk aqiqah, lalu menyembelih seekor burung.

Dari Sulaiman bin ‘Amir ad-Dhabiy, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Bersama (kelahiran) seorang anak laki-laki (ada kewajiban) ‘aqiqah, dialirkan atas kelahirannya darah (hewan kurban), dan dihilangkan kotoran yang ada padanya.’” (HR. Bukhari, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi).

Dan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami menyembelih dua ekor kambing ‘aqiqah untuk seorang anak laki-laki dan satu ekor kambing ‘aqiqah untuk seorang anak perempuan.” (HR. Ibnu Majah)

Dan dari al-Hasan dari Samurah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Semua anak (yang lahir) tergadaikan dengan ‘aqiqahnya, disembelihkan (kambing ‘aqiqah) untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR. Ibnu Majah, at-Tirmidzi, dan an-Nasa'i)

Keempat, Khitan.

Ini adalah perilaku Sunnah Nabi Shallalahu 'Alaihi wa Sallam yang berhukum wajib. Sebab ia merupakan lambang dalam syariat. Khitan menjadi pembeda antara orang muslim dan kafir. Misalnya, ketika ditemukan mayit tanpa identitas, maka untuk mempermudah cara penguburannya apakah memakai syariat Islam atau tidak, maka diketahui dari si mayit berkhitan atau tidak.

Secara syar'i khitan adalah memotong kulit yang menutupi kepala zakar bagi laki-laki, atau memotong daging yang menonjol di atas vagina, disebut juga dengan klitoris bagi wanita.

Khitan bermula dari ajaran Nabi Ibrahim, sedangkan sebelumnya tidak ada seorangpun yang berkhitan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ibrahim berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun”. (HR. Bukhari-Muslim).

Secara sunnah khitan memang dilakukan pada hari ketujuh kelahiran bayi. Tapi ulama membolehkan jika khitan dilakukan setelah lewat hari ketujuh. Bahkan, di kalangan masyarakat kita, masih yang berkhitan di atas usia lebih dari 7 tahun.


Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1637 seconds (0.1#10.140)