Kelahiran Bayi Prematur Dalam Pandangan Syariat

Senin, 27 Desember 2021 - 14:13 WIB
loading...
Kelahiran Bayi Prematur Dalam Pandangan Syariat
Kelahiran prematur dalam Islam, para ulama mengambil kesimpulan bahwa bayi prematur batasannya adalah 6 bulan, yang didasarkan pada ayat Al-Quran. Foto ilustrasi/ist
A A A
Melahirkan bayi umumnya terjadi pada usia kehamilan 9 bulan, namun bagaimana bila kelahiran itu terjadi pada usia kehamilan kurang dari 9 bulan ini? Bagaimana pandangan syariat Islam tentang hal tersebut?

Kelahiran sebelum waktunya, dalam istilah kedokteran disebut sebagai kelahiran prematur . Dan bayi prematur adalah bayi yang lahir kurang bulan menurut masa gestasinya (usia kehamilannya). Adapun usia kehamilan cukup bulan adalah sekitar 37-41 minggu. Ada beberapa referensi yang menyatakan sekitar 38-42 minggu.



Mengutip penjelasan ustadz yang juga seorang dokter, dr Raehanul Bahraen,MSc,Sp.PK, dari beberapa refensi, ada dua pendapat batasan kelahiran bayi prematur ini yaitu 20 minggu [5 bulan] dan 28 minggu [mendekati 7 bulan]. Maka kita ambil pertengahan yaitu 6 bulan. Maka usia termuda kehamilan untuk dapat melahirkan adalah 6 bulan,"ungkap dokter lulusan UGM ini.

Lalu bagaimana menurut pandangan syariat? Disalin dari buku Tuntunan Praktis dan Padat bagi Ibu Hamil dari A sampai Z Menurut Al-Quran dan As-Sunnah yang Shahih, karya Abu Muhammad Ibnu Shalih bin Hasbullah, dijelaskan bahwa bila terjadi kelahiran prematur, maka janganlah kita mencari-cari kesalahan, baik diri sendiri atau orang lain. Dan jangan pula berkata, “Seandainya saya begini dan begini, tentu tidak akan begini dan begini.”

Akan tetapi katakanlah, “Ini takdir Allah. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.” Sikap inilah yang akan menguatkan jiwa dan keimanan Anda. Insyaallah Anda akan menjadi oran yang lebih baik dan lebih dicintai Allah."

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف وفي كل خير احرص على ما ينفعك واستعن بالله ولاتعجز وإن أصابك شيء فلا تقل لو أني فعلت كان كذا وكذا ولكن قل قدر الله وما شاء فعل فإن لو تفتح عمل الشيطان

“Mukmin yang kuat lebih baik daripada mukmin yang lemah. Dan pada masing-masingnya ada kebaikan. Bersemangatlah untuk (meraih) segala hal yang bermanfaat bagimu, mohon pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah! Jika engkau tertimpa suatu musibah maka janganlah engkau berkata, ‘Seandainya demikian, dan demikian.’ Akan tetapi katakanlah, ‘(Ini adalah) takdir Allah. Segala yang Dia hendaki pasti terjadi.’ Karena kata ‘lau’ (seandainya) akan membuka perbuatan-perbuatan setan.” (HR. Muslim, no. 2664; Ibnu Majah, no. 79)

Pujilah Allah dalam setiap keadaan. Katakanlah, “Alhamdulillaah ‘alaa kulli haal.” Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadis,
كان إذا رأى ما يحب ؛ قال : الحمدلله الذي بنعمته تتم الصالحات وإذا رأى ما يكرهه ؛ قال : الحمد لله على كل حال

“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sesuatu yang menyenangkan, beliau mengucapkan, ‘Alhamdulillaahilladzii bini’matihi tatimmushshoolihaat‘ (segala puji hanya bagi Allah, yang dengan kenikmatan-Nya sempurnalah kebaikan-kebaikan). Dan apabila beliau melihat sesuatu yang tidak disukai, beliau mengucapkan, ‘Alhamdulillaahi ‘alaa kulli haal‘ (segala puji hanya bagi Allah dalam tiap keadaan).” (HR. Ibnu Majah, no. 3830; Ibnus Sunni, no. 372; Al-Hakim, 1:499; hadis hasan)



Pendapat Ulama dan Kepentingan Syariat

Tentang kelahiran prematur ini, menurut ustadz dr. Raehanul Bahraen, para ulama mengambil kesimpulan bahwa bayi prematur batasannya adalah 6 bulan. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur"an :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al Baqarah: 233)

Kemudian fieman Allah lainnya, tentang waktu total hamil dan menyusui, sebagaimana tercantum dalam ayat:
وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً

“Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”. (QS. Al-Ahqaf: 15)

Maka batas minimal bayi bisa lahir adalah: 30 bulan – 24 bulan [2 tahun]= 6 bulan

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan surat Al-Ahqaf ayat 15,:

“ Ali radhiyallahu ‘anhu berdalil bahwa ayat ini [Al-ahqaf: 15] bersama ayat dalam surat surat Luqman {“dan penyapihannya selama dua tahun”} dan surat firman-Nya {“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.”} [AL-Baqarah: 223] bahwa batasan minimal lama waktu kehamilan adalah 6 bulan. Ini adalah kesimpulan yang kokoh dan shahih. Disepakati oleh Ustman dan sejumlah sahabat radhiallhu ‘anhu.” [Tafsir Al-Quran Al-Adzhim 7/280, Darul Thayyibah, cet. Ke-2, 1420 H, Asy-Syamilah]

Untuk itu, menurut dr Raehanul Bahraen, jika ulama perhatian terhadap suatu hal, maka pasti ada kepentingan syariat mengenai hukum suatu hal dalam perkara tersebut. Begitu juga dengan batasan prematur, maka kepentingan syariat adalah untuk mengetahui siapa ayah dari anak yang dikandung oleh seorang ibu, dan batasan prematur adalah 6 bulan. Misalnya:

1. Jika seorang lelaki menikahi wanita, ternyata wanita tersebut melahirkan ketika usia pernikahan baru berjalan 4 bulan. Maka bisa dipastikan anak tersebut bukan anak lelaki tersebut. Wanita tersebut telah hamil dahulu sebelum menikah. Berbeda halnya jika wanita melahirkan genap 6 bulan atau lebih.

2. Misalnya suaminya baru saja pulang setelah lama bersafar keluar negeri misalnya 1 tahun. Kemudian bertemu dengan istrinya di rumahnya, 4,5 bulan kemudian sejak tinggal bersama, istrinya melahirkan anak. Maka bisa dipastikan bahwa anak yang lahir bukan anak suami tersebut. Karena istrinya kemungkinan besar sudah hamil sebelum suaminya datang. Wanita itu telah berzina dan mendapat hukuman rajam [oleh pemerintah/waliyul ‘amr yang sah]

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab fiqh, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata,

“Maka anak [dinasabkan] kepada pemilik ranjang [suami yang tinggal bersamanya] kecuali dengan salah satu dari dua perkara: [pertama] li’aan [suami menuduh istrinya berzina, kemudian ada bukti 4 laki-laki adil atau keduanya saling bersumpah, maka anak dinasabkan kepada Ibunya, pent],[kedua] ketidakmungkinan istri didatangi karena kurang dari enam bulan sejak menikah dan tinggal dengannya, atau setelah berpisah dalam jangka waktu yang diketahui bahwa anak tersebut bukan anaknya.” [Manhajus Salikin wa Taudhihul fiqhi fid din hal. 216, Darul Wathan, Ta’liq: Muhammad bi Abdul Aziz Al Khudhairi]


Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3305 seconds (0.1#10.140)