Kisah Mualaf Jerman Wilfred Hoffman di Tanah Suci, Kembali ke Ibrahim

Rabu, 09 November 2022 - 05:15 WIB
loading...
Kisah Mualaf Jerman Wilfred Hoffman di Tanah Suci, Kembali ke Ibrahim
Murad Wilfred Hoffman, mualaf dari Jerman berhaji pada tahun 1982. Foto/Ilustrasi: ist
A A A
Kembali ke Ibrahim . Begitu judul catatan Murad Wilfred Hoffman, mualaf asal Jerman, saat melaksanakan ibadah haji, terutama saat menjalankan ritual sa'i. Catatan harian tersebut dihimpun dalam buku berjudul "Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman" (Gema Insani Press, 1998). Peristiwa bersejarah pada diri Hoffman ini terjadi dua tahun setelah ia memeluk Islam, tepatnya pada Desember 1982.



Berikut catatan tersebut:

Aku melaksanakan Sa'i --sejarahnya bermula pada zaman Nabi Ibrahim as (Siti Hajar mencari air untuk anaknya, Ismail as)-- yaitu lari-lari kecil sebanyak tujuh kali antara dua bukit kembar Shafa dan Marwah, yang terletak di samping Masjidil Haram dan menjadi bagian masjid tersebut dengan bantuan muthawif Saudi. Ia mungkin kesulitan memperdengarkan kepadaku ketika aku berusaha melafalkan doa-doa bahasa Arab dengan dialekku yang menakutkan ini.

Ketika aku telah menyelesaikan manasik umrah, seorang anak membantuku memotong sejumput rambutku sebagai pokok kembalinya aku melaksanakan kehidupan biasa (tahallul dari ihram). Dengan demikian, sekarang aku bisa mengganti pakaian ihram dengan pakaian biasa.

Pada hari selanjutnya, aku berharap bisa berada sendirian di Masjidil Haram ini, walaupun hanya sekali. Oleh karena itu, aku berusaha bangun pagi sekali, sekitar jam tiga pagi, dan sebelum azan yang pertama.

Namun keinginan itu tidak terjadi, karena ada ratusan muslim yang terus berdatangan siang-malam tanpa berhenti melakukan thawaf, atau antre menunggu kesempatan untuk menyentuh atau mencium Hajar Aswad untuk kesekian kali.

Orang-orang Islam itu, ketika melakukan hal tersebut, menguatkan kembali getaran hubungan pribadi mereka. Tidak hanya dengan jutaan orang umat Islam yang datang ke tempat ini, sebelum mereka (dan yang akan hadir di masa mendatang, insya Allah), namun semata karena Nabi Muhammad saw. Karena, ketika Ka'bah dibangun sekaligus diperbaiki kembali setelah diterjang banjir, Nabi Muhammad SAW --sebagai penengah di antara suku yang bertikai-- meletakkan tangannya di Hajar Aswad, sekarang posisi/tempatnya di pojok timur Kakbah.



Kesadaran sejarah ini amat pantas bagi agama yang syiar-syiar hajinya berasal dari Nabi Ibrahim as --dari masa sepanjang lebih dari 3800 tahun-- dengan syarat bahwa pelaku ibadah haji tersebut mengetahui betul kandungan sejarah dan pelambangan ritus-ritus yang dilakukannya.

Gereja-gereja Kristen tidak dengan mudah mengakui ajaran-ajaran Yahudi dan Paganisme yang terkandung dalam ritus-ritus mereka, sedangkan Islam tidak merasa keberatan mengakui akar-akar lama ritus-ritusnya.

Muhammad SAW tidak mengaku bahwa beliau membawa agama baru, namun risalahnya adalah pembaruan dan penyempurnaan agama Allah yang satu, yaitu penyerahan dan penundukan, artinya Islam menyerahkan diri semenjak zaman azali.

Di Sisi Makam Nabi
Pada 23 Desember 1982, Murad Wilfred Hoffman ke Madinah. Dalam hal ini dia menyempatkan diri ke makam Nabi Muhammad SAW. Berikut catatan harian Hoffman saat di Madinah tersebut.

Barangsiapa yang pernah menyaksikan perayaan Maulid Nabi SAW perayaannya amat bersemangat di malam hari, di masjid-masjid yang diterangi lampu, di dalam dan di luarnya, ditambah lagi dengan ritus-ritus yang menyerupai ritus kependetaan. Maka, ia akan menyaksikan dengan terhenyak tindakan para polisi agama Arab Saudi di Madinah, pada malam maulid itu yang terus mengontrol untuk memastikan tidak ada seorang pun yang melaksanakan sholat menghadap makam Nabi.

Kewaspadaan mereka ditunjukkan dengan melarang orang sholat pada hari maulidnya dekat kuburnya, selain sholat-sholat sunnah.

Orang tidak perlu mengkritik perlakuan ini, jika ia mengetahui bahwa apa yang terjadi setelah wafatnya Almasih adalah dimulai dengan ketakjuban padanya diikuti dengan menuhankannya.

Islam berusaha menekan kecenderungan semacam ini, sebelum tersebar.



Selanjutnya pada 26 Desember 1982, Hoffaman membuat catatan lagi sebagai berikut:

Kami terlambat beberapa menit untuk keluar dari masjid setelah sholat. Tampak ada sesuatu yang menghambat di pintu utama. Persis di tengah-tengah pintu, ada seorang muslim sedang tenggelam total dalam sholatnya. Mungkin dia datang terlambat sebelum rakaat terakhir, dan sekarang dia sedang menyempurnakan rakaatnya. Dia tampak tenggelam dalam sholatnya sampai-sampai melupakan semua yang ada di sekelilingnya.

Semua jamaah menjauhi daerah sholatnya, khawatir mengganggu kekhusyuan sholatnya. Tidak seorang pun yang mengkritik keterlambatannya yang menyebabkan pemandangan ini. Ini karena si muslim sedang menunaikan kewajiban agamanya. Tidak lebih dari itu.

Pemandangan semacam ini tidak mungkin terjadi ketika para penziarah Kristen menyesaki Gereja St. Petrus di Roma. Perbedaan ini disebabkan karena ritus-ritus keagamaan Kristen hanya mengenal misa suci yang dipimpin oleh seorang pendeta sebagai simbol agama resmi. Islam tidak mengenal hal semacam itu. Yang ada hanya satu kewajiban (sholat) yang mesti ditunaikan oleh semua umat Islam. Adapun kepemimpinan imam dalam sholat hanyalah untuk menunaikan tepat pada waktunya.

Sholat mendapat tempat dan kedudukan yang tinggi dalam Islam, sampai-sampai pasal-pasal tentang sholat memenuhi kitab-kitab fikih. Seperti, kitab monumental karya Muhyiddin Abu Zakariya al-Anshari, yaitu Minhaj ath-Thalibin, yang dirilis pada abad ke-13. Di antara kitab yang paling mengagumkan adalah al-Muwattha' karya Imam Malik bin Anas yang mengkhususkan 14 bab awalnya hanya untuk menerangkan syarat-syarat dan kaidah-kaidah sholat.



Sesuai dengan kaidah-kaidah ini, wajib bagi setiap muslim untuk menghormati penuh ketenangan orang yang sedang sholat. Juga tidak dibenarkan melanggar daerah shalat, baik yang tertentu atau tidak --selembar sajadah shalat atau hanya dengan meletakkan kaca mata di depannya-- dalam kondisi apa pun.

Jika si muslim menguasai kaidah dasar shalat --seperti yang terjadi di setiap negeri. Islam-- maka mudah saja baginya secara relatif tenggelam dalam shalat, baik di pompa bensin, di trotoar, atau di atas menara yang tinggi. Sungguh kekuatan "Harakah Islamiyah", yang seringkali dipandang sebagai teka-teki oleh Barat, yang dilahirkan dan dihasilkan dari kekuatan dalam shalat.

Tentang Murad Wilfred Hoffman
Nama sebelum ia masuk Islam adalah Wilfred Hoffman. Begitu memeluk Islam, namanya ditambah menjadi Murad Wilfred Hoffman atau lebih populer dengan Murad Hoffman.

Dia terlahir pada 6 Juli 1931, dari sebuah keluarga Katholik, di Jerman. Pendidikan Universitasnya dilalui di Union College, New York. Dia Doktor dalam bidang Undang-Undang Jerman, juga magister dari Universitas Harvard dalam bidang Undang-Undang Amerika.

Ia bekerja di kementerian luar negeri Jerman, semenjak tahun 1961 hingga tahun 1994. Ia terutama bertugas dalam masalah pertahanan nuklir. Murad pernah menjadi direktur penerangan NATO di Brussel, Duta Besar Jerman di Aljazair dan terakhir Duta Besar Jerman di Maroko, hingga tahun 1994.



Pengalamannya sebagai duta besar dan tamu beberapa negara Islam mendorongnya untuk mempelajari Islam, terutama Al-Qur'an. Dengan tekun ia mempelajari Islam dan belajar mempraktikkan ibadah-ibadahnya.

Setelah lama ia rasakan pergolakan pemikiran dalam dirinya yang makin mendekatkan dirinya kepada keimanan, pada tanggal 25 September 1980, di Islamic Center Colonia, ia mengucapkan dua kalimat syahadat.

Ketika ia menjadi duta besar Jerman di Maroko, pada tahun 1992, ia mempublikasikan bukunya yang menggegerkan masyarakat Jerman: Der Islam als Alternative (Islam sebagai Alternatif).

Dalam buku tersebut, ia tidak saja menjelaskan bahwa Islam adalah alternatif yang paling baik bagi peradaban Barat yang sudah keropos dan kehilangan justifikasinya, namun ia secara eksplisit mengatakan bahwa alternatif Islam bagi masyarakat Barat adalah suatu keniscayaan.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1417 seconds (0.1#10.140)