Prof Sohail Humayun Hashmi Mengaku Menjadi Muslim Tak Sengaja
loading...
A
A
A
Prof Sohail Humayun Hashmi menyebut dirinya menjadi Muslim tak sengaja. Jihad baginya pada dasarnya adalah mencoba hidup sebagai seorang Muslim sesuai dengan kepercayaannya. Apa maksudnya? Sebelum menjelaskan perihal tersebut warga Amerika Serikat ini berbicara tentang jihad dan politik.
Menurutnya, istilah jihad memang berkonotasi agama, tetapi terlalu sering dikaitkan dengan aspirasi politik. "Kita memang tak dapat memisahkan Islam atau jihad dari politik," ujarnya.
"Jihad pada dasarnya adalah perjuangan untuk mencapai suatu tatanan masyarakat yang lebih baik masyarakat yang tidak ada anggotanya yang kelaparan, atau hidup dalam suasana yang tertekan dan tertindas," lanjut Prof Sohail Humayun Hashmi sebagaimana dinukil Steven Barbosa dalam bukunya yang berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" (Bantam Doubleday, New York 1993)
Menurut Sohail, sesungguhnya inilah hakikat politik: mengalokasikan sumber daya yang terbatas jumlahnya secara adil dan merata. Kadang-kadang sistem tersebut lebih berorientasi pada pemenuhan hak kelompok yang kaya dan kuat.
Sementara itu di tempat lain, yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam hubungan ini Islam mencoba memerangi penyimpangan-penyimpangan itu agar sistem tidak hanya menguntungkan segelintir orang semata-mata.
Sekadar mengingatkan, Sohail Humayun Hashmi adalah seorang muslim yang tinggal di Amerika Serikat. Dia adalah profesor Hubungan Internasional di Alumnae Foundation dan Profesor Politik di Mount Holyoke College.
Imigran keturunan India ini banyak mengajar etika internasional komparatif, khususnya konsep perang dan perdamaian yang adil, dan pada studi agama dalam politik, khususnya Islam dalam politik domestik dan internasional.
Sohail telah menerbitkan berbagai topik dalam etika Islam dan teori politik, termasuk kedaulatan, intervensi kemanusiaan, toleransi, masyarakat sipil, dan teori jihad . Buku terbarunya adalah volume yang telah diedit berjudul Just Wars, Holy Wars, and Jihads: Christian, Jewish, and Muslim Encounters and Exchanges (Oxford University Press, 2012). Dia saat ini sedang mengerjakan sebuah buku yang menganalisis tanggapan Muslim terhadap kebangkitan hukum internasional .
Berikut penuturan Sohail Humayun Hashmi tentang Islam, jihad, dan politik selengkapnya sebagaimana dinukil dalam buku yang diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X " (Mizan, 1995):
Sejak munculnya sekularisasi sistem politik yang dianut oleh dunia Barat, ada anggapan kuat bahwa jika politik dikaitkan dengan agama, maka yang akan terjadi adalah konflik, pembunuhan, kerusuhan, dan peperangan.
Satu penyebab yang cukup jelas bagi berkembangnya pemikiran semacam ini adalah pengalaman bangsa-bangsa Eropa yang menyaksikan permusuhan dan perang antara kaum Katolik dan Protestan yang berlangsung cukup lama dan menyakitkan. Maka muncullah ide sekularisasi --menolak mengkaitkan agama dengan aktivitas politik dan menekankan bahwa beragama merupakan urusan pribadi setiap orang.
Masyarakat mengkhawatirkan kalau-kalau Islam juga mengarah kepada jalan pikiran semacam di atas, dan memisahkan agama dengan politik. Saya cenderung berkata tidak. Justru sebaliknya, politik sedang kembali ke Islam.
Sesudah Perang Dunia II, gerakan antikolonialisme dipimpin oleh orang-orang yang ingin agar imperialis Barat meninggalkan negeri mereka. Tetapi pikiran itu lebih dimaksudkan agar mereka juga dapat seperti orang-orang Barat itu --mencapai status orang yang menjajah mereka.
Para pemimpin itu pada dasarnya ingin menggantikan peran penjajah itu, dan menindas rakyat di negeri mereka sendiri. Mereka ingin hidup enak, tinggal di vila-vila mewah.
Sayangnya, yang mereka lakukan adalah meniru-niru kaum imperialis dengan menerapkan nilai-nilai Barat; mulai memperlakukan agama (Islam) semata-mata sebagai urusan pribadi setiap orang.
Contoh yang amat popular adalah yang terjadi di Turki. Kejadiannya dimulai sekitar 1920-an, sebelum Perang Dunia II. Sampai-sampai pemerintah ikut campur tangan mengatur cara orang berpakaian; melarang rakyat berbusana tradisional, karena terkesan kampungan dan anti-nasionalis.
Hasilnya, negara mulai mengarahkan kehidupan rakyatnya ke hal-hal yang keterlaluan. Mulailah pemerintah bertindak otoriter, karena mereka begitu ngotot untuk mendidik rakyatnya sesuai dengan kemauan petinggi negara yang tentu saja sering kali bertentangan dengan budaya dan nilai-nilai setempat.
Ada suatu periode dalam pergerakan Islam pada permulaan abad ini, ketika ada upaya-upaya untuk menyelaraskan dunia modern dengan prinsip-prinsip Islam. Sayangnya, gerakan kaum modernis ini tak pernah menjadi sesuatu yang solid.
Pemikiran-pemikiran mereka lebih sering berkisar di kalangan kaum intelektual yang biasanya amat pandai dalam berteori. Teori-teori itu tak pernah dapat diterjemahkan dalam program-program yang dapat diimplementasikan dalam gerakan-gerakan politik.
Akhirnya peluang untuk memadukan Islam dengan kehidupan modern digarap oleh kelompok-kelompok yang mereka sebut fundamentalis. Mereka katakan: kita sudah coba sistem nasionalis, ternyata gagal.
Pemerintahan di negeri-negeri Muslim lebih menguntungkan kelompok kaya yang minoritas; sementara sebagian besar yang miskin harus hidup menderita karena kepapaannya.
Kondisi semacam ini merupakan lahan subur untuk menumbuhkan gerakan politik yang menentang sistem yang mapan itu. Dan Islam datang untuk memberi pemecahannya.
Islam memiliki etika sosial yang sangat tinggi dan kuat, yang selalu mengacu kepada kehidupan pribadi Nabi Muhammad SAW. Semasa hidupnya, Rasulullah tidak dikelilingi oleh kelompok elite Mekkah, melainkan oleh para mantan budak, masyarakat kelas bawah --merekalah yang pertama kali menjadi Muslim. Karena itu Islam senantiasa berpihak kepada orang-orang yang miskin dan papa. Dan ajaran inilah yang menjadi sumber dari gerakan-gerakan Islam semacam di atas.
Sesungguhnya mayoritas Muslim tidak sependapat dengan pikiran fundamentalisme. Karena yang dilakukan oleh kelompok itu tidak lebih dari ingin menggantikan peran dan dominasi elite pasca-kolonial dengan kelompok mereka sendiri.
Dengan itu mereka dapat menegakkan sistem politik secara top-down. Dan karena itu, situasinya seperti lingkaran setan yang sulit diurai ujung pangkalnya. Dengan menggunakan kalimat-kalimat retorik bernapaskan Islam, mereka menjanjikan penerapan nilai-nilai Islam yang universal. Bahkan jika dibutuhkan mereka siap untuk berperang membela Palestina.
Tapi ketika tiba ke praktik aktual, mereka sendiri menjadi seorang berideologi nasionalis. Mereka ingin memastikan bahwa mereka tidak akan kehilangan kekuasaan, bahwa mereka mampu mengubah negara menurut visi mereka sendiri, dan pada akhirnya mereka menjadi sama opresifnya dengan kaum nasionalis yang ingin mereka gulingkan.
Ini terjadi di Iran.
Kaum modernis yakin bahwa pandangan Islam tentang sanksi moral tidak ditentukan oleh negara, tetapi oleh komunitas --oleh ummah. Dengan kata lain, Anda tidak mengundang-undangkan sanksi moral; Anda yang menerapkan tekanan sosial, yang lebih lunak ketimbang kalau negara yang memberlakukannya. Negara tidak boleh mengeluarkan ketentuan apa pun untuk menerapkan kode moral terhadap setiap individu beragama.
Di Amerika, kami mulai dari titik nol. Kami membangun komunitas sendiri. Komunitas itu dapat dimulai dengan arah melanjutkan status quo --homesick-mosque versus budaya complacent-mosque. Atau dapat diorganisir secara politik dan kemudian terpecah oleh faksi-faksi berbeda yang ada di dunia Muslim dewasa ini. Atau mengubah secara perlahan pendekatan terhadap Islam, yang didasarkan pada penafsiran-penafsiran.
Dalam Islam terdapat konsep yang kuat tentang ijtihad. Istilah ini berasal dari kata jihad. Ijtihad adalah salah satu bentuk jihad yang artinya upaya untuk menafsirkan agama. Kata ini digunakan dalam pengertian yang sangat teknis oleh para fuqaha Muslim, ketika mereka berjuang dengan rasio mereka, berdasarkan semua sumber hukum-Al-Quran, Sunnah, dan praktek-praktek komunitas terdahulu. Mereka berupaya menghasilkan fatwa-fatwa hukum yang sesuai dengan situasi baru. Mereka melakukan ijtihad, itulah jihad pribadi mereka. Dan saya pikir itulah situasi yang dihadapi komunitas Muslim Amerika dewasa ini, melakukan ijtihad.
Muslim Tak Sengaja
Jihad saya pada dasarnya adalah mencoba hidup sebagai seorang Muslim sesuai dengan kepercayaan saya. Jika ada orang yang menyukai cara hidup saya, saya akan dengan suka hati menjelaskannya pada mereka. Tetapi saya tidak akan menyebut-nyebut diri saya Muslim. Sebenarnya saya memiliki antipati mendalam pada mereka yang menampakkan keberagamaan mereka secara lahiriah, yang membuat keributan dan gangguan kalau mau melakukan shalat, yang menurut saya bertentangan dengan tujuan sholat itu sendiri.
Saya pikir saya tidak diwajibkan menjelaskan Islam. Saya berislam dengan cara yang telah diajarkan orang-tua saya sejak kecil. Saya menjadi Muslim dengan cara yang saya pahami sendiri. Saya sudah memikirkannya dan saya tiba pada keyakinan bahwa saya percaya akan pesan-pesan Islam. Saya telah menginternalisasinya.
Saya menyebut diri saya "Muslim tak sengaja". Saya dilahirkan dalam sebuah keluarga Muslim. Di India saya mengasumsikan hal tertentu sebagai kebenaran, hanya karena semua orang di sekitar saya mempercayainya. Tetapi berada di Amerika membuat Anda harus benar-benar menguji apa yang Anda percayai dan bertindak menurut keyakinan Anda.
"Muslim sengaja" adalah kaum Muslimin di Amerika yang telah berjuang sangat keras, terkadang dari latar belakang agama Kristen dan Yahudi yang ketat, dan kemudian tiba pada kesimpulan bahwa Islam adalah jalan hidup yang mereka cari-cari. Saya pikir di sanalah masa depan Islam, khususnya di negeri ini.
Menurutnya, istilah jihad memang berkonotasi agama, tetapi terlalu sering dikaitkan dengan aspirasi politik. "Kita memang tak dapat memisahkan Islam atau jihad dari politik," ujarnya.
"Jihad pada dasarnya adalah perjuangan untuk mencapai suatu tatanan masyarakat yang lebih baik masyarakat yang tidak ada anggotanya yang kelaparan, atau hidup dalam suasana yang tertekan dan tertindas," lanjut Prof Sohail Humayun Hashmi sebagaimana dinukil Steven Barbosa dalam bukunya yang berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" (Bantam Doubleday, New York 1993)
Menurut Sohail, sesungguhnya inilah hakikat politik: mengalokasikan sumber daya yang terbatas jumlahnya secara adil dan merata. Kadang-kadang sistem tersebut lebih berorientasi pada pemenuhan hak kelompok yang kaya dan kuat.
Sementara itu di tempat lain, yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam hubungan ini Islam mencoba memerangi penyimpangan-penyimpangan itu agar sistem tidak hanya menguntungkan segelintir orang semata-mata.
Sekadar mengingatkan, Sohail Humayun Hashmi adalah seorang muslim yang tinggal di Amerika Serikat. Dia adalah profesor Hubungan Internasional di Alumnae Foundation dan Profesor Politik di Mount Holyoke College.
Imigran keturunan India ini banyak mengajar etika internasional komparatif, khususnya konsep perang dan perdamaian yang adil, dan pada studi agama dalam politik, khususnya Islam dalam politik domestik dan internasional.
Sohail telah menerbitkan berbagai topik dalam etika Islam dan teori politik, termasuk kedaulatan, intervensi kemanusiaan, toleransi, masyarakat sipil, dan teori jihad . Buku terbarunya adalah volume yang telah diedit berjudul Just Wars, Holy Wars, and Jihads: Christian, Jewish, and Muslim Encounters and Exchanges (Oxford University Press, 2012). Dia saat ini sedang mengerjakan sebuah buku yang menganalisis tanggapan Muslim terhadap kebangkitan hukum internasional .
Berikut penuturan Sohail Humayun Hashmi tentang Islam, jihad, dan politik selengkapnya sebagaimana dinukil dalam buku yang diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X " (Mizan, 1995):
Sejak munculnya sekularisasi sistem politik yang dianut oleh dunia Barat, ada anggapan kuat bahwa jika politik dikaitkan dengan agama, maka yang akan terjadi adalah konflik, pembunuhan, kerusuhan, dan peperangan.
Satu penyebab yang cukup jelas bagi berkembangnya pemikiran semacam ini adalah pengalaman bangsa-bangsa Eropa yang menyaksikan permusuhan dan perang antara kaum Katolik dan Protestan yang berlangsung cukup lama dan menyakitkan. Maka muncullah ide sekularisasi --menolak mengkaitkan agama dengan aktivitas politik dan menekankan bahwa beragama merupakan urusan pribadi setiap orang.
Masyarakat mengkhawatirkan kalau-kalau Islam juga mengarah kepada jalan pikiran semacam di atas, dan memisahkan agama dengan politik. Saya cenderung berkata tidak. Justru sebaliknya, politik sedang kembali ke Islam.
Sesudah Perang Dunia II, gerakan antikolonialisme dipimpin oleh orang-orang yang ingin agar imperialis Barat meninggalkan negeri mereka. Tetapi pikiran itu lebih dimaksudkan agar mereka juga dapat seperti orang-orang Barat itu --mencapai status orang yang menjajah mereka.
Para pemimpin itu pada dasarnya ingin menggantikan peran penjajah itu, dan menindas rakyat di negeri mereka sendiri. Mereka ingin hidup enak, tinggal di vila-vila mewah.
Sayangnya, yang mereka lakukan adalah meniru-niru kaum imperialis dengan menerapkan nilai-nilai Barat; mulai memperlakukan agama (Islam) semata-mata sebagai urusan pribadi setiap orang.
Contoh yang amat popular adalah yang terjadi di Turki. Kejadiannya dimulai sekitar 1920-an, sebelum Perang Dunia II. Sampai-sampai pemerintah ikut campur tangan mengatur cara orang berpakaian; melarang rakyat berbusana tradisional, karena terkesan kampungan dan anti-nasionalis.
Hasilnya, negara mulai mengarahkan kehidupan rakyatnya ke hal-hal yang keterlaluan. Mulailah pemerintah bertindak otoriter, karena mereka begitu ngotot untuk mendidik rakyatnya sesuai dengan kemauan petinggi negara yang tentu saja sering kali bertentangan dengan budaya dan nilai-nilai setempat.
Ada suatu periode dalam pergerakan Islam pada permulaan abad ini, ketika ada upaya-upaya untuk menyelaraskan dunia modern dengan prinsip-prinsip Islam. Sayangnya, gerakan kaum modernis ini tak pernah menjadi sesuatu yang solid.
Pemikiran-pemikiran mereka lebih sering berkisar di kalangan kaum intelektual yang biasanya amat pandai dalam berteori. Teori-teori itu tak pernah dapat diterjemahkan dalam program-program yang dapat diimplementasikan dalam gerakan-gerakan politik.
Akhirnya peluang untuk memadukan Islam dengan kehidupan modern digarap oleh kelompok-kelompok yang mereka sebut fundamentalis. Mereka katakan: kita sudah coba sistem nasionalis, ternyata gagal.
Pemerintahan di negeri-negeri Muslim lebih menguntungkan kelompok kaya yang minoritas; sementara sebagian besar yang miskin harus hidup menderita karena kepapaannya.
Kondisi semacam ini merupakan lahan subur untuk menumbuhkan gerakan politik yang menentang sistem yang mapan itu. Dan Islam datang untuk memberi pemecahannya.
Islam memiliki etika sosial yang sangat tinggi dan kuat, yang selalu mengacu kepada kehidupan pribadi Nabi Muhammad SAW. Semasa hidupnya, Rasulullah tidak dikelilingi oleh kelompok elite Mekkah, melainkan oleh para mantan budak, masyarakat kelas bawah --merekalah yang pertama kali menjadi Muslim. Karena itu Islam senantiasa berpihak kepada orang-orang yang miskin dan papa. Dan ajaran inilah yang menjadi sumber dari gerakan-gerakan Islam semacam di atas.
Sesungguhnya mayoritas Muslim tidak sependapat dengan pikiran fundamentalisme. Karena yang dilakukan oleh kelompok itu tidak lebih dari ingin menggantikan peran dan dominasi elite pasca-kolonial dengan kelompok mereka sendiri.
Dengan itu mereka dapat menegakkan sistem politik secara top-down. Dan karena itu, situasinya seperti lingkaran setan yang sulit diurai ujung pangkalnya. Dengan menggunakan kalimat-kalimat retorik bernapaskan Islam, mereka menjanjikan penerapan nilai-nilai Islam yang universal. Bahkan jika dibutuhkan mereka siap untuk berperang membela Palestina.
Tapi ketika tiba ke praktik aktual, mereka sendiri menjadi seorang berideologi nasionalis. Mereka ingin memastikan bahwa mereka tidak akan kehilangan kekuasaan, bahwa mereka mampu mengubah negara menurut visi mereka sendiri, dan pada akhirnya mereka menjadi sama opresifnya dengan kaum nasionalis yang ingin mereka gulingkan.
Ini terjadi di Iran.
Kaum modernis yakin bahwa pandangan Islam tentang sanksi moral tidak ditentukan oleh negara, tetapi oleh komunitas --oleh ummah. Dengan kata lain, Anda tidak mengundang-undangkan sanksi moral; Anda yang menerapkan tekanan sosial, yang lebih lunak ketimbang kalau negara yang memberlakukannya. Negara tidak boleh mengeluarkan ketentuan apa pun untuk menerapkan kode moral terhadap setiap individu beragama.
Di Amerika, kami mulai dari titik nol. Kami membangun komunitas sendiri. Komunitas itu dapat dimulai dengan arah melanjutkan status quo --homesick-mosque versus budaya complacent-mosque. Atau dapat diorganisir secara politik dan kemudian terpecah oleh faksi-faksi berbeda yang ada di dunia Muslim dewasa ini. Atau mengubah secara perlahan pendekatan terhadap Islam, yang didasarkan pada penafsiran-penafsiran.
Dalam Islam terdapat konsep yang kuat tentang ijtihad. Istilah ini berasal dari kata jihad. Ijtihad adalah salah satu bentuk jihad yang artinya upaya untuk menafsirkan agama. Kata ini digunakan dalam pengertian yang sangat teknis oleh para fuqaha Muslim, ketika mereka berjuang dengan rasio mereka, berdasarkan semua sumber hukum-Al-Quran, Sunnah, dan praktek-praktek komunitas terdahulu. Mereka berupaya menghasilkan fatwa-fatwa hukum yang sesuai dengan situasi baru. Mereka melakukan ijtihad, itulah jihad pribadi mereka. Dan saya pikir itulah situasi yang dihadapi komunitas Muslim Amerika dewasa ini, melakukan ijtihad.
Muslim Tak Sengaja
Jihad saya pada dasarnya adalah mencoba hidup sebagai seorang Muslim sesuai dengan kepercayaan saya. Jika ada orang yang menyukai cara hidup saya, saya akan dengan suka hati menjelaskannya pada mereka. Tetapi saya tidak akan menyebut-nyebut diri saya Muslim. Sebenarnya saya memiliki antipati mendalam pada mereka yang menampakkan keberagamaan mereka secara lahiriah, yang membuat keributan dan gangguan kalau mau melakukan shalat, yang menurut saya bertentangan dengan tujuan sholat itu sendiri.
Saya pikir saya tidak diwajibkan menjelaskan Islam. Saya berislam dengan cara yang telah diajarkan orang-tua saya sejak kecil. Saya menjadi Muslim dengan cara yang saya pahami sendiri. Saya sudah memikirkannya dan saya tiba pada keyakinan bahwa saya percaya akan pesan-pesan Islam. Saya telah menginternalisasinya.
Saya menyebut diri saya "Muslim tak sengaja". Saya dilahirkan dalam sebuah keluarga Muslim. Di India saya mengasumsikan hal tertentu sebagai kebenaran, hanya karena semua orang di sekitar saya mempercayainya. Tetapi berada di Amerika membuat Anda harus benar-benar menguji apa yang Anda percayai dan bertindak menurut keyakinan Anda.
"Muslim sengaja" adalah kaum Muslimin di Amerika yang telah berjuang sangat keras, terkadang dari latar belakang agama Kristen dan Yahudi yang ketat, dan kemudian tiba pada kesimpulan bahwa Islam adalah jalan hidup yang mereka cari-cari. Saya pikir di sanalah masa depan Islam, khususnya di negeri ini.
(mhy)