Hukum Istinja: Pengertian, Doa, dan Tata Caranya
loading...
A
A
A
Hukum istinja : pengertian, doa, dan tata caranya perlu kita ketahui agar kita bisa menjalankan apa-apa yang telah diatur dalam agama. Sebelum kita bahas soal tersebut, kita patut mengetahui dulu apa itu istinja.
Istinja yang sering dipahami sebagai perbuatan membersihkan kubul atau dubur, dalam bahasa Arab merupakan derivasi dari kata najâ yanjû, yang berarti memotong atau melepas diri (qatha‘a).
Orang istinja artinya orang sedang berupaya melepas dirinya dari kotoran yang menempel di anggota tubuhnya.
Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani dalam at-Tausyîh ‘alâ Ibni Qasim, (Surabaya, Nurul Huda) menjelaskan adapun istinja dalam terminologi syariat adalah membersihkan sesuatu yang keluar dari kemaluan, kubul ataupun dubur, menggunakan air atau batu yang terikat beberapa syarat tertentu.
Hukum dan Alat Beristinja
Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, Pengajar di Ma’had Aly Situbondo, Jawa Timur dalam tulisannya berjudul "Istinja: Pengertian, Hukum, dan Tata Caranya" yang dilansir laman resmi Nahdlatul Ulama mengatakan, ulama sepakat bahwa hukum istinja dari sisa kotoran yang menempel setelah buang hajat adalah wajib. Bahkan, walau tak diwajibkan pun tabiat setiap orang pasti mendorong melakukannya. Karena tabiat yang sehat tentu risih dan terganggu dengan kotoran yang ada pada dirinya.
Allah berfirman:
فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُوْا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِيْنَ (التوبة: 108)
Artinya, “Di dalam masjid itu terdapat penduduk Quba yang bersuci dan membersihkan dirinya, Allah sangat cinta kepada hamba-Nya yang bersuci.” ( QS at-Taubah : 108)
Di ayat ini secara tegas Allah menyatakan cintanya kepada siapa saja yang mencintai kebersihan dan kesucian.
Alat istinja ada dua: (1) air; dan (2) batu atau benda lain yang memiliki kesamaan sifat dan fungsi dengannya, yaitu bukan benda cair, suci, berpotensi membersihkan najis yang melekat di kubul maupun dubur, dan bukan termasuk benda yang dimuliakan, seperti buku, roti, dan semisalnya.
Di antara dalil air menjadi alat istinja adalah hadist riwayat Anas bin Malik ra meriwayatkan:
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلىَّ الله عليه وسَلَّمَ يَدْخُلُ الْخَلاَءَ فَأَحْمِلُ أَنَا وَغُلَامٌ نَحْوِي إِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وعَنَزَةً فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Artinya, “Bilamana Rasulullah SAW masuk ke kamar kecil untuk buang hajat, maka saya (Anas ra) dan seorang anak seusia saya membawakan wadah berisi air dan satu tombak pendek, lalu beliau istinja dengan air tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim).
Adapun dalil kebolehan istinja dengan batu adalah hadits riwayat Abdullah bin Mas’ud ra:
أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ ولَمْ أَجِدْ ثَالِثًا. فَأَتَيْتُهُ بِرَوْثَةٍ، فَأَخَذَهُمَا وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ، وَقَالَ: إِنَّهَا رِجْسٌ
Artinya, “Suatu ketika ketika Nabi SAW buang air besar, lalu memerintahkan saya agar membawakannya tiga batu. Kebetulan, waktu itu saya hanya menemukan dua batu dan tidak menemukan satu batu lagi. Lalu saya mengambil kotoran binatang (yang sudah kering). Akhirnya, beliau pun mengambil kedua batu tersebut dan membuang kotoran binatang yang saya berikan. Bersabda, ‘Sesungguhnya kotoran binatang itu najis’.” (HR al-Bukhari).
Dalam riwayat Imam Ahmad dan ad-Daraquthni, terdapat tambahan redaksi yang menyebutkan bahwa Nabi bersabda, ‘I‘tini bi ghairiha’, atau ‘Carikan saya benda yang lain sebagai ganti dari kotoran tadi’. Artinya, batu yang digunakan bersuci tidak boleh kurang dari tiga, namun bisa lebih bila memang dibutuhkan.
Istinja yang sering dipahami sebagai perbuatan membersihkan kubul atau dubur, dalam bahasa Arab merupakan derivasi dari kata najâ yanjû, yang berarti memotong atau melepas diri (qatha‘a).
Orang istinja artinya orang sedang berupaya melepas dirinya dari kotoran yang menempel di anggota tubuhnya.
Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani dalam at-Tausyîh ‘alâ Ibni Qasim, (Surabaya, Nurul Huda) menjelaskan adapun istinja dalam terminologi syariat adalah membersihkan sesuatu yang keluar dari kemaluan, kubul ataupun dubur, menggunakan air atau batu yang terikat beberapa syarat tertentu.
Hukum dan Alat Beristinja
Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, Pengajar di Ma’had Aly Situbondo, Jawa Timur dalam tulisannya berjudul "Istinja: Pengertian, Hukum, dan Tata Caranya" yang dilansir laman resmi Nahdlatul Ulama mengatakan, ulama sepakat bahwa hukum istinja dari sisa kotoran yang menempel setelah buang hajat adalah wajib. Bahkan, walau tak diwajibkan pun tabiat setiap orang pasti mendorong melakukannya. Karena tabiat yang sehat tentu risih dan terganggu dengan kotoran yang ada pada dirinya.
Allah berfirman:
فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُوْا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِيْنَ (التوبة: 108)
Artinya, “Di dalam masjid itu terdapat penduduk Quba yang bersuci dan membersihkan dirinya, Allah sangat cinta kepada hamba-Nya yang bersuci.” ( QS at-Taubah : 108)
Di ayat ini secara tegas Allah menyatakan cintanya kepada siapa saja yang mencintai kebersihan dan kesucian.
Alat istinja ada dua: (1) air; dan (2) batu atau benda lain yang memiliki kesamaan sifat dan fungsi dengannya, yaitu bukan benda cair, suci, berpotensi membersihkan najis yang melekat di kubul maupun dubur, dan bukan termasuk benda yang dimuliakan, seperti buku, roti, dan semisalnya.
Di antara dalil air menjadi alat istinja adalah hadist riwayat Anas bin Malik ra meriwayatkan:
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلىَّ الله عليه وسَلَّمَ يَدْخُلُ الْخَلاَءَ فَأَحْمِلُ أَنَا وَغُلَامٌ نَحْوِي إِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وعَنَزَةً فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Artinya, “Bilamana Rasulullah SAW masuk ke kamar kecil untuk buang hajat, maka saya (Anas ra) dan seorang anak seusia saya membawakan wadah berisi air dan satu tombak pendek, lalu beliau istinja dengan air tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim).
Adapun dalil kebolehan istinja dengan batu adalah hadits riwayat Abdullah bin Mas’ud ra:
أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ ولَمْ أَجِدْ ثَالِثًا. فَأَتَيْتُهُ بِرَوْثَةٍ، فَأَخَذَهُمَا وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ، وَقَالَ: إِنَّهَا رِجْسٌ
Artinya, “Suatu ketika ketika Nabi SAW buang air besar, lalu memerintahkan saya agar membawakannya tiga batu. Kebetulan, waktu itu saya hanya menemukan dua batu dan tidak menemukan satu batu lagi. Lalu saya mengambil kotoran binatang (yang sudah kering). Akhirnya, beliau pun mengambil kedua batu tersebut dan membuang kotoran binatang yang saya berikan. Bersabda, ‘Sesungguhnya kotoran binatang itu najis’.” (HR al-Bukhari).
Baca Juga
Dalam riwayat Imam Ahmad dan ad-Daraquthni, terdapat tambahan redaksi yang menyebutkan bahwa Nabi bersabda, ‘I‘tini bi ghairiha’, atau ‘Carikan saya benda yang lain sebagai ganti dari kotoran tadi’. Artinya, batu yang digunakan bersuci tidak boleh kurang dari tiga, namun bisa lebih bila memang dibutuhkan.