Kisah Sayyidah Aisyah, 10 Tahun Bersama Rasulullah SAW dan Wafat di Era Muawiyah
loading...
A
A
A
Sayyidah Aisyah ra adalah istri Rasulullah SAW . Sepeninggal Nabi SAW beliau hidup sangat sederhana. Tunjangan yang diberikan para khalifah disumbangkan kepada fakir miskin . Beliau menjadi tempat bertanya bagi para sahabat Nabi Muhammad SAW .
"Ibu Utama agama Islam ini terkenal dengan bermacam ragam sifatnya kesalehannya, umurnya, kebijaksanaannya, kesederhanaannya, kemurahan hatinya, dan kesungguhan hatinya untuk menjaga kemurnian riwayat sunnah Nabi," tutur Jamil Ahmad dalam buku berjudul "Seratus Muslim Terkemuka" karya Jamil Ahmad (Pustaka Firdaus, 1996). Berikut kisah Aisyah ra selengkapnya:
Seorang gadis kecil periang berumur sembilan tahun sedang gembira bermain-main dengan teman-temannya. Rambutnya awut-awutan dan mukanya kotor karena debu. Tiba-tiba beberapa orang yang sudah agak tua muncul dari sebuah rumah di dekat situ dan datang ke tempat anak-anak tadi bermain-main.
Mereka lalu membawa anak gadis itu pulang, memberinya pakaian yang rapi, dan malam itu juga, gadis itu dinikahkan dengan laki-laki paling agung di antara manusia, Nabi agama Islam.
Suatu penghormatan paling unik yang pernah diterima seorang wanita. Aisyah adalah salah seorang putri tersayang Sayidina Abu Bakar , sahabat Nabi yang setia, yang kemudian menggantikan Nabi sebagai Khalifah Islam yang pertama.
Gadis itu lahir di Mekkah 614 Masehi, delapan tahun sebelum permulaan zaman Hijrah. Orang tuanya sudah memeluk agama Islam. Sejak mulai kecil anak gadis itu telah dididik sesuai dengan tradisi paling mulia --agama baru itu-- dan dengan sempurna dipersiapkan dan diberinya hak penuh untuk kemudian menduduki tempat yang mulia.
Ia menjadi istri Nabi selama 10 tahun. Masih muda sewaktu dinikahkan dengan Nabi, tetapi ia memiliki kemampuan sangat baik sehingga dapat menyesuaikan diri dengan tugas barunya.
Kehadirannya membuktikan bahwa ia seorang yang cerdas dan setia, dan sebagai istri, sangat mencintai tokoh dermawan paling besar bagi umat manusia.
Di seluruh dunia, ia diakui sebagai pembawa riwayat paling otentik bagi ajaran Islam seperti apa yang telah disunahkan oleh suaminya. Ia dianugerahi ingatan yang sangat tajam, dan mampu mengingat segala pertanyaan yang diajukan para tamu wanita kepada Nabi, serta juga mengingat segenap jawaban yang diberikan oleh Nabi.
Diingatnya secara sempurna semua kuliah yang diberikan Nabi kepada para delegasi dan jemaah di masjid. Karena kamar Aisyah itu bersebelahan dengan masjid, dengan cermat dan tekun ia mendengarkan dakwah, kuliah, dan diskusi Nabi dengan para sahabat dan orang-orang lain.
Ia mengajukan juga pertanyaan-pertanyaan kepada Nabi tentang soal-soal yang sulit dan rumit sehubungan dengan ajaran agama baru itu. Hal-hal inilah yang menyebabkan ia menjadi ilmuwan dan periwayat yang paling besar dan paling otentik bagi sunnah Nabi dan ajaran Islam.
Aisyah tidak ditakdirkan hidup bersama-sama dengan Nabi untuk waktu yang lama. Pernikahannya itu berlangsung hanya sepuluh tahun saja. Tahun 11 Hijrah, 632 Masehi, Nabi wafat dan dimakamkan di kamar yang dihuni Aisyah.
Era Khalifah
Nabi digantikan oleh seorang sahabat yang setia, Abu Bakar, sebagai khalifah Islam yang pertama. Aisyah terus menduduki urutan kesatu, dan setelah Fatimah meninggal dunia di tahun 11 Hijrah, Aisyah dianggap sebagai wanita yang paling penting di dunia Islam. Tetapi ayahnya, Abu Bakar, tidak berumur panjang. Ia meninggal dunia dua setengah tahun setelah wafat Nabi.
Selama kekuasaan Umar al-Faruq, kalifah yang kedua, Aisyah menduduki posisi sebagai ibu utama di seluruh daerah-daerah Islam yang secara cepat makin meluas. Orang datang untuk meminta nasihat-nasihatnya yang bijaksana tentang segala hal yang penting.
Umar terbunuh dan kemudian Khalifah Usman. Dua peristiwa kesyahidan tersebut telah mengguncangkan sendi-sendi negara baru itu, dan menjurus kepada perpecahan yang tragis di kalangan umat Islam. Keadaan itu sangat merugikan agama yang sedang menyebar luas dan berkembang dengan cepat, yang pada waktu itu telah menjalar sampai ke batas pegunungan Atlas di sebelah Barat, dan ke puncak-puncak Hindu Kush di sebelah Timur.
Aisyah tidak dapat tinggal diam sebagai penonton dalam menghadapi oknum-oknum pemecah-belah itu. Dengan sepenuh hati ia membela mereka yang menuntut balas atas kesyahidan khalifah yang ketiga.
Di dalam Perang Unta, suatu pertempuran melawan Ali, khalifah yang keempat, pasukan Aisyah kalah dan ia terus mundur ke Madinah di bawah perlindungan pengawal yang diberikan oleh putra khalifah sendiri.
"Ibu Utama agama Islam ini terkenal dengan bermacam ragam sifatnya kesalehannya, umurnya, kebijaksanaannya, kesederhanaannya, kemurahan hatinya, dan kesungguhan hatinya untuk menjaga kemurnian riwayat sunnah Nabi," tutur Jamil Ahmad dalam buku berjudul "Seratus Muslim Terkemuka" karya Jamil Ahmad (Pustaka Firdaus, 1996). Berikut kisah Aisyah ra selengkapnya:
Baca Juga
Seorang gadis kecil periang berumur sembilan tahun sedang gembira bermain-main dengan teman-temannya. Rambutnya awut-awutan dan mukanya kotor karena debu. Tiba-tiba beberapa orang yang sudah agak tua muncul dari sebuah rumah di dekat situ dan datang ke tempat anak-anak tadi bermain-main.
Mereka lalu membawa anak gadis itu pulang, memberinya pakaian yang rapi, dan malam itu juga, gadis itu dinikahkan dengan laki-laki paling agung di antara manusia, Nabi agama Islam.
Suatu penghormatan paling unik yang pernah diterima seorang wanita. Aisyah adalah salah seorang putri tersayang Sayidina Abu Bakar , sahabat Nabi yang setia, yang kemudian menggantikan Nabi sebagai Khalifah Islam yang pertama.
Gadis itu lahir di Mekkah 614 Masehi, delapan tahun sebelum permulaan zaman Hijrah. Orang tuanya sudah memeluk agama Islam. Sejak mulai kecil anak gadis itu telah dididik sesuai dengan tradisi paling mulia --agama baru itu-- dan dengan sempurna dipersiapkan dan diberinya hak penuh untuk kemudian menduduki tempat yang mulia.
Ia menjadi istri Nabi selama 10 tahun. Masih muda sewaktu dinikahkan dengan Nabi, tetapi ia memiliki kemampuan sangat baik sehingga dapat menyesuaikan diri dengan tugas barunya.
Kehadirannya membuktikan bahwa ia seorang yang cerdas dan setia, dan sebagai istri, sangat mencintai tokoh dermawan paling besar bagi umat manusia.
Di seluruh dunia, ia diakui sebagai pembawa riwayat paling otentik bagi ajaran Islam seperti apa yang telah disunahkan oleh suaminya. Ia dianugerahi ingatan yang sangat tajam, dan mampu mengingat segala pertanyaan yang diajukan para tamu wanita kepada Nabi, serta juga mengingat segenap jawaban yang diberikan oleh Nabi.
Diingatnya secara sempurna semua kuliah yang diberikan Nabi kepada para delegasi dan jemaah di masjid. Karena kamar Aisyah itu bersebelahan dengan masjid, dengan cermat dan tekun ia mendengarkan dakwah, kuliah, dan diskusi Nabi dengan para sahabat dan orang-orang lain.
Ia mengajukan juga pertanyaan-pertanyaan kepada Nabi tentang soal-soal yang sulit dan rumit sehubungan dengan ajaran agama baru itu. Hal-hal inilah yang menyebabkan ia menjadi ilmuwan dan periwayat yang paling besar dan paling otentik bagi sunnah Nabi dan ajaran Islam.
Aisyah tidak ditakdirkan hidup bersama-sama dengan Nabi untuk waktu yang lama. Pernikahannya itu berlangsung hanya sepuluh tahun saja. Tahun 11 Hijrah, 632 Masehi, Nabi wafat dan dimakamkan di kamar yang dihuni Aisyah.
Era Khalifah
Nabi digantikan oleh seorang sahabat yang setia, Abu Bakar, sebagai khalifah Islam yang pertama. Aisyah terus menduduki urutan kesatu, dan setelah Fatimah meninggal dunia di tahun 11 Hijrah, Aisyah dianggap sebagai wanita yang paling penting di dunia Islam. Tetapi ayahnya, Abu Bakar, tidak berumur panjang. Ia meninggal dunia dua setengah tahun setelah wafat Nabi.
Selama kekuasaan Umar al-Faruq, kalifah yang kedua, Aisyah menduduki posisi sebagai ibu utama di seluruh daerah-daerah Islam yang secara cepat makin meluas. Orang datang untuk meminta nasihat-nasihatnya yang bijaksana tentang segala hal yang penting.
Umar terbunuh dan kemudian Khalifah Usman. Dua peristiwa kesyahidan tersebut telah mengguncangkan sendi-sendi negara baru itu, dan menjurus kepada perpecahan yang tragis di kalangan umat Islam. Keadaan itu sangat merugikan agama yang sedang menyebar luas dan berkembang dengan cepat, yang pada waktu itu telah menjalar sampai ke batas pegunungan Atlas di sebelah Barat, dan ke puncak-puncak Hindu Kush di sebelah Timur.
Aisyah tidak dapat tinggal diam sebagai penonton dalam menghadapi oknum-oknum pemecah-belah itu. Dengan sepenuh hati ia membela mereka yang menuntut balas atas kesyahidan khalifah yang ketiga.
Di dalam Perang Unta, suatu pertempuran melawan Ali, khalifah yang keempat, pasukan Aisyah kalah dan ia terus mundur ke Madinah di bawah perlindungan pengawal yang diberikan oleh putra khalifah sendiri.