Kisah Mualaf Ayah Hariri Masuk Islam saat Operasi Badai Gurun

Rabu, 07 Desember 2022 - 05:15 WIB
loading...
Kisah Mualaf Ayah Hariri Masuk Islam saat Operasi Badai Gurun
Tentara AS dalam Operasi Badai Gurun. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Setelah Perang Teluk usai, terdapat sekitar 100 tentara Muslim di Fort Bragg, Carolina Utara --dan hanya satu di antaranya seorang perempuan. Sersan Hariri, tiga puluh tahun, yang masuk Islam di Saudi Arabia, kembali ke Amerika Serikat dan mengenakan hijab di basis militernya.

Berikut penuturan selengkapnya Ayah Hariri sebagaimana dinukil Steven Barbosa dalam bukunya berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" dan diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X" (Mizan, 1995).

Saya seorang intendan. Saya dikirim ke Saudi dan kami ditempatkan di Dammam. Kemiliteran menyewa sebuah kamp yang merupakan kamp para pekerja. Di sanalah kami tinggal dan di sana pula kami mengendalikan operasi gudang kami.

Beberapa kompi kami berada jauh di padang pasir dan mereka tidak mempunyai perbekalan. Kami mengendalikan gudang perbekalan untuk persediaan air dan makanan bagi mereka. Keseluruhan batalion itu terdiri dari lima kompi, dengan sekitar seribu tentara. Dua ratus di antaranya Perempuan.



Suatu hari, mereka sedang berlatih di luar. Mereka berteriak, "Lihat! Ada Scud!" Kami semua mengira dia bercanda. Kemudian saya keluar untuk memastikan, sebab Anda tidak boleh bergurau tentang hal-hal semacam itu. Tiba-tiba kami mendengar suara itu lalu kami mendongak ke atas, terlihat kepulan asap. Benda itu meledak tepat di atas tenda kami, tapi tak ada bunyi tanda bahaya. Benda tersebut mendarat di seberang tenda kami. Setiap orang memberitahukan bahaya dengan berteriak, "Gas! Gas!" dari tenda ke tenda.

Sekitar dua atau tiga menit kemudian alarm berbunyi. Kami menghabiskan sepanjang malam itu dengan bersiaga di tempat perlindungan, sebab sebuah misil telah lewat di dekat kami, dan yang satu meledak tepat di atas kepala kami tanpa sinyal bahaya!

Kami menulis daftar kebutuhan yang perlu dibeli, dan mengesahkannya melalui para penghubung, dan para tentara pergi untuk membelinya. Salah seorang yang menjual barang kebutuhan kami adalah orang yang memperkenalkan saya kepada Islam. Sekarang dia juga menjadi suami saya, Hussain Hariri. Dia berasal dari Lebanon.

Pada suatu hari saya memintanya untuk menceritakan pada saya sebuah kisah dari Al-Quran. Saya ingin tahu buku macam apakah Al-Quran itu --apakah itu sebuah buku yang keras dan kejam?

Dia mengakhiri ceritanya dengan kisah Nabi Yusuf. Ketika telah menyelesaikan cerita tersebut, saya berkata, "Kami juga punya kisah seperti itu, tetapi orang-orangnya berbeda." Dia hanya tertawa, "Itu kisah yang sama."

Dia berkata bahwa mereka juga punya Moses, tetapi menyebutnya Musa. Dia memberitahu saya nama-nama yang terdapat di Injil dan memberitahukan nama-nama mereka dalam bahasa Arab di Al-Quran.

Hal itu mengejutkan saya. Saya bahkan tidak pernah mendengar tentang Islam atau Quran sampai kami mulai diberikan pengarahan tentang apa yang tidak boleh kami lakukan, apa yang tidak boleh kami ucapkan, dan area yang harus dihindari, sebelum diterjunkan ke lapangan.

Saya bertanya kepadanya apakah dia dapat mencarikan Al-Quran berbahasa Inggris untuk saya. Dia mendapatkannya dari salah seorang temannya. Itu terjadi sekitar bulan Desember.



Pada suatu malam, Hussain dan saya makan malam bersama di ruangan saya. Segera setelah kami menyelesaikan makan malam kami, dia bertanya kepada saya apakah saya ingin bercakap-cakap lebih jauh tentang Islam. Saya tanya kepadanya seberapa banyak yang harus diketahui seseorang sebelum dia mengucapkan syahadat.

Dia bilang Anda dapat menjadi seorang Muslim tanpa mengetahui apa pun tentang Islam, dan jika engkau menunggu sampai mengetahui segalanya tentang Islam, engkau tidak akan pernah melakukannya. Karena sangat banyak yang harus dipelajari.

Pada dasarnya, ada lima rukun Islam. Anda harus menyadari bagaimana hal itu akan mempengaruhi hidup Anda. Anda harus menyadarinya mulai saat ini, Anda akan bertanggungjawab atas semua tindakan Anda. Dan Anda harus bersungguh-sungguh berkeinginan menjadi seorang Muslim dan bukan hanya --yah, mungkin saya akan mencoba agama ini untuk sementara. Keikhlasan dan kesungguhan sangatlah penting.

Saya berkata, "Saya akan mempelajari hal-hal yang lain nanti, tetapi saya sudah mempunyai bekal yang cukup untuk membuat keputusan sekarang."

Dia menghela napas panjang, dan berkata, "Baiklah, apa keputusanmu?"

Saya berkata, "Saya ingin menjadi seorang Muslim."

Dia berkata, "Engkau harus mengucapkan kalimat syahadat."

Dia mengucapkannya dalam bahasa Inggris dan saya mengikutinya. Kemudian dia berkata, "Engkau harus mengucapkannya dalam bahasa Arab." Saya telah mulai belajar huruf-huruf dan percakapan bahasa Arab, tetapi bukan bahasa Arab Al-Quran. Dia melafalkannya dalam bahasa Arab dan dia memberitahu saya makna tiap kata, dan dia berkata, "Jika engkau tidak mengetahui apa yang engkau ucapkan, berarti engkau tidak mengucapkan apa-apa."

Saya mengucapkan syahadat tiga kali dan selesailah sudah.



Saya memberitahu perwira komandan saya. Dia berkata, "Baiklah, seberapa jauh ini akan mempengaruhi kerjamu?"

Saya berkata, "Sekarang ini tidak akan berpengaruh apa-apa."

Dia berkata, "Baiklah, kalau begitu."

Ada sebuah toko kecil di kamp itu. Pada hari itu kami berbicara kepada lelaki Syria yang mengendalikan toko itu. Orang itu menunjukkan kepada saya beberapa sajadah dan tasbih. Hussain memberikan sepasang kerudung yang dibuatnya untuk saya. Pada jam-jam tugas, tentu saja, saya masih harus mengenakan seragam pasukan badai gurun. Tetapi selepas jam tugas, saya memakai jubah panjang hitam dan kerudung hitam. Saya tampak seperti orang Saudi.

Saya mendapat tatapan aneh. Orang-orang begitu terkejut. Saya berkata kepada mereka, "Hey, nama saya Sersan Peck. Ada yang ingin Anda tanyakan pada saya?"

Mereka menjawab, "Tidak."

Saya bertanggung jawab atas inventarisasi kamp itu. Suatu hari segerombolan Angkatan Laut datang untuk mengambil beberapa perbekalan. Ketika itu saya mengenakan pakaian seperti ini, berjalan berkeliling dengan membawa kunci-kunci menuju ke gudang, mengeluarkan barang-barang dari sana.

Pusat kamp dekat dari kemah kami, dan di sanalah setiap orang menanti sampai perlengkapannya tiba. Jadi banyak orang melewati Dammam dalam perjalanannya menuju kota-kota yang berlainan.

Saya mengenakan kerudung putih dan banyak orang bertanya-tanya, "Apa yang dilakukan biarawati itu di sini?" Saya bahkan tidak pernah memikirkan hal itu. Tetapi ketika saya kembali ke kamar dan melihat ke cermin, saya bergumam, "Yah, saya benar-benar tampak seperti seorang biarawati."

Kurang dari sebulan kemudian saya kembali ke Amerika.

Hussain tetap tinggal di sana. Dengan berharap musim panas ini kami berdua berada di negara yang sama pada waktu yang sama.



Saya kembali ke Fort Bragg. Kemudian saya mengambil cuti tiga puluh hari. Saya ingin tahu apa hak-hak saya sekarang sebagai orang Muslim. Saya membuat perjanjian dengan JAG (Judge Advocate General), penasihat hukum untuk orang-orang militer. Saya berbicara kepada seorang kapten dan menanyakan apa hak-hak saya. Dia berkata, "Pada dasarnya Anda tidak mempunyai hak apa pun. Bicaralah pada komandan Anda."

Sementara itu saya telah bergabung dengan kelompok rekan wanita di luar kemiliteran. Suami salah satu rekan tersebut merintis sebuah kelompok masyarakat Islam di Fort Bragg. Dia menceritakan hal ini pada suaminya. Suaminya berkata, "Anda seharusnya diizinkan untuk mempunyai beberapa hak."

Saya berkata, "Saya telah membuat pertemuan dengan pihak JAG. Mereka berkata tidak."

"Saya akan coba menghubungi beberapa teman saya," katanya. Dia berpangkat E8, seorang sersan kepala. Dia sedikit lebih berpengaruh.

Dia menghubungi salah seorang temannya, yang membuat salinan peraturan kebijaksanaan komando dan mengirimkannya dari Georgia. Di situ dikatakan apa yang harus dilakukan seorang komandan terhadap permohonan kemudahan penyesuaian diri dan pelaksanaan ajaran agama. Peraturan itu memuat garis pedomannya. Saya membawa salinannya kepada komandan saya. Di situ dikatakan bahwa semua pakaian keagamaan harus diperbolehkan. Maka saya pun membawa kerudung coklat yang ingin saya pakai.

Dia mempelajari peraturan itu selama satu minggu atau lebih, lalu dia kembali dan berkata, "Tak ada satu pun dalam peraturan ini yang memberi hak pada saya untuk mengatakan tidak, jadi saya harus membolehkannya."

Pada saat makan siang, saya mengenakan kerudung saya.



Penampilan saya sangat mencolok dan menarik perhatian. Ketika masa cuti saya usai, saya bekerja di toko perbekalan batalion. Para perwira berdatangan ke sana untuk mengawasi dan memastikan segala sesuatunya berjalan dengan baik, dan saya selalu mendapat sekilas pandangan aneh dari mereka.

Seseorang berkata, "Mengapa Anda meletakkan kain lap di atas kepala Anda itu?" Dia seorang tamtama yang lebih rendah. Saya berbalik dan mereka melihat pangkat saya, kemudian mereka berkata "Uh-oh, maaf."

Saya berkata, "Ini bukan kain lap, ini adalah pakaian religius; saya mengenakan ini karena alasan religius."

Mereka berkata, "Maaf, maaf."

Pangkat saya mungkin menghalangi banyak orang untuk mengatakan apa yang ingin mereka katakan. Karena sebagian orang dalam kompi tersebut berpangkat E4 atau di bawahnya, sementara saya berpangkat E6. Sekarang banyak orang yang berpangkat E4 atau lebih rendah mendapatkan izin untuk memakai hijab, dan mereka mengalami hal-hal yang lebih sulit dari saya.

Tahun lalu, komandan sersan mayor, perwira berpangkat tertinggi di sana, menginginkan saya untuk memberikan pidato singkat di NCOPD (Noncommissioned Officer Development Program). Setiap bulan, dia meminta dua atau tiga orang untuk berpidato tentang topik yang berlainan.

Dia memanggil saya, dan ketika saya sedang berjalan menuju ke depan, saya tak sengaja mendengar seorang wanita berpangkat E5 berkata, "Apakah kami harus mendengarkan ini?"

Saya berdiri dan berkata, "Dalam perjalanan saya menuju ke mari, saya mendengar komentar yang berbunyi 'Apakah kami harus mendengarkan ini?' Dan saya berdiri di sini untuk memberitahu kalian, Ya, Anda harus mendengarkannya. Ini bukan mengenai agama siapa yang benar dan agama siapa yang salah. Ini mengenai tugas kalian sebagai anggota NCO dan bagian dari tugas kalian sebagai NCO adalah mengurus tentara kalian. Anda mengendalikan tentara yang beragama Kristen, Luther, dan Yahudi, atau apa pun. Tetapi apabila kalian tidak mengetahui apa-apa tentang tentara kalian, kalian tidak mengetahui bagaimana mengendalikan mereka.

"Jika kalian mempunyai tentara Muslim dan mereka tinggal di barak, mereka mempunyai hak yang sama dengan tentara Yahudi dalam hal yang berkenaan dengan jatah makanan yang terpisah. Tentara Yahudi mempunyai hak untuk tidak makan diruang mess, sebab sebagian besar makanan tercampur dengan daging babi. Jika Anda telah menikah, Anda mendatangi bagian personalia, Anda akan mendapat uang tiap bulan dan Anda akan membeli makanan sendiri, karena Anda telah menikah. Sekarang, orang-orang di barak tidak diberi hak untuk mendapatkan uang tersebut, tetapi tentara Muslim dan Yahudi berhak sebab mereka mempunyai peraturan makanan yang berdasarkan pada agama mereka. Mereka boleh membeli makanan sendiri."

Sersan mayor itu berkata, "Bagus sekali."

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2370 seconds (0.1#10.140)