Kisah Mualaf Amerika Davud Abdul Hakim, Belajar Banyak Agama Sebelum Masuk Islam

Jum'at, 02 Desember 2022 - 18:47 WIB
loading...
Kisah Mualaf Amerika Davud Abdul Hakim, Belajar Banyak Agama Sebelum Masuk Islam
Muslim Amerika Serikat sangat heterogen, berasal dari berbagai negara. Foto/Ilustrasi: cnn
A A A
Dia adalah Davud Abdul Hakim. Mualaf asal Amerika Serikat ini sebelum masuk Islam dia bernama David Hunsicker. Kepalanya nyaris gundul, selalu membawa tasbih, mengenakan celana jeans belel dan kemeja flanel seperti penebang pohon, dan duduk santai di kursinya.

Davud berkisah orang tuanya menganggap Islam sebagai agamanya orang kulit hitam karena kesan yang mereka dapatkan dari aktivis Nation of Islam, Farrakhan dan Malcolm X. Itu sebabnya ketika dirinya memutuskan ingin menjadi seorang Muslim mereka tidak mengerti bagaimana dia bisa begitu. "Jika saya pergi ke masjid, ibu saya berkata, 'jadi kamu satu-satunya orang kulit putih di sana?" katanya tertawa.

Steven Barbosa dalam bukunya berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" mengisahkan Davud mencoba beberapa agama sebelum memutuskan memeluk agama Islam. Kunjungannya ke Turki dalam pertukaran pelajar mempercepat keputusannya.



Berikut penuturan Davud selengkapnya sebagaimana dinukil buku yang telah diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X" (Mizan, 1995):

Saya dilahirkan di Allentown, Pennsylvania, 23 Oktober 1971. Saya tinggal di sebuah desa di daerah pinggiran. Germansville. Dapat saya katakan bahwa sekarang 80% penduduknya adalah orang Belanda Pennsylvania dan setiap orang mempunyai nenek moyang Jerman.

Mungkin ada sekitar 500 orang di kota itu, berpencar di tempat yang luas. Sampai umur lima tahun saya tinggal di pertanian keluarga. Setelah itu kami pindah seperempat mil jauhnya dari tempat itu dan mendirikan rumah kami sendiri di atas tanah yang dahulunya sebuah ladang. Seorang tua di sekitar tempat itu selalu menyesali ayah saya mengapa dia membangun rumah di tanah perkebunan kentang yang tersubur di daerah itu.

Yang membuat saya mengambil keputusan ikut dalam pertukaran pelajar adalah karena saya bukan seorang Amerika yang patriotik. Saya tidak percaya pada Mimpi Amerika. Saya pikir saya tidak akan pernah mempercayainya. Saya mencari tempat lain yang dapat saya sebut rumah dan saya mulai mencari agama yang lain.

Saya mempelajari agama Buddha. Tampaknya tak ada yang memuaskan saya. Saya mencari sesuatu semacam naskah guru yang suci. Saya membeli sebuah terjemahan Al-Quran. Ketika sedang membaca seluruh isinya, saya terhenyak. Buku itu berbicara pada saya.



Buku itu mengatakan pada saya bahwa saya harus menjadi seorang Muslim. Saya tak dapat melihat jalan yang lain kecuali menjadi seorang Muslim. Al-Quran itu menjelaskan segala sesuatunya kepada saya. Saya mengenali kebenaran.

Saya mengumumkan diri saya kepada orang-orang di sekitar saya bahwa saya seorang Muslim. Itu sebelum saya mengucapkan kalimat syahadat. Saya tidak pernah berjumpa dengan seorang Muslim. Saya hanya merasa bahwa saya seorang Muslim.

Saya berusaha untuk mendapatkan lebih banyak buku. Pada saat saya ingin menjadi seorang Muslim dan ingin pergi ke Jerman karena itu merupakan tanah air suku saya, pada saat itu pula saya mengetahui bahwa banyak suku Turki di Jerman yang merupakan orang Muslim.

Saya berharap dapat berjumpa dengan mereka dan mereka mau mengajarkan pada saya lebih jauh tentang Islam. Turki merupakan satu-satunya negara Islam yang ditawarkan dalam program pertukaran pelajar itu. Turki merupakan pilihan kedelapan saya dalam daftar tersebut. Secara kebetulan saya dikirim ke sana.

Ketika sampai di Turki saya mendapatkan banyak buku. Orang Muslim tersebar di sekeliling saya. Saya dapat mendengar suara azan lima kali sehari. Maka saya semakin matang sebagai Muslim. Saya berada di sana selama setahun.

Kebanyakan orang Turki tidak mau berpikir dua kali mengenai agama Islam. Banyak di antara mereka justru menyatakan diri ateis, "Oh, kami tidak mempercayai hal itu. Kami terlalu baik untuk itu. Kami ingin menjadi orang Barat. Kami ingin menjadi seperti orang Eropa."

Mereka mengabaikan Islam. Tetapi saya masih mempunyai beberapa teman Muslim yang saleh. Saya terjebak di antara teman-teman yang ateis karena mereka menginginkan gaya hidup Amerika. Agar tidak terserang rindu tanah air, saya cenderung untuk lebih sering bersama orang-orang ateis itu. Tetapi teman-teman Muslim lain berkata, "Nah, Anda harus mulai mengikuti sholat Jumat." Saya mulai mencoba melaksanakannya. Mereka membantu saya mempelajari cara melakukan sholat.



Saat pertama saya menghadiri sholat Jumat adalah pada malam Mi'raj. Saya bersama keluarga [tuan rumah] saya dan kami sedang berpuasa.

Di Istambul terdapat banyak tempat suci. Kami mengunjungi salah satunya. Saya tidak tahu siapa yang dikuburkan di sana. Orang asing tak diizinkan masuk. Kami berdoa di makam itu. Waktu itu hari Jumat.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4619 seconds (0.1#10.140)