Kisah Sufi Bayazid Al-Bustami: Orang yang Menyadari Kematian
loading...
A
A
A
Kisah ini karya Abu Yazid Taifur bin Isa Surusyan, juga dikenal dengan Bayazid. Dia dikenal sebagai salah seorang sufi kenamaan Persia abad ke-III dari Bistam wilayah Qum, lahir pada tahun 874 M dan wafat pada usia 73 tahun.
Kakeknya adalah seorang penganut Zoroastrian, dan ia mengenyam pendidikan esoterisnya di India. Karena gurunya, Abu- Ali dari Sind, tidak mengetahui sepenuhnya tata cara ritual Islam, beberapa ahli beranggapan bahwa Abu-Ali seorang penganut Hindu, dan bahwa Bayazid sebenarnya mempelajari metode mistik India. Tetapi, tak ada ahli yang berwenang, di antara para Sufi, yang membenarkan anggapan tersebut. Para pengikut Bayazid antara lain tarekat Bistamia.
Berikut kisah tersebut sebagaimana dinukil dari buku berjudul Tales of The Dervishes karya Idries Shah yang diterjemahkan Ahmad Bahar menjadi "Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi"
Konon, ada seorang darwis yang mengadakan perjalanan lewat laut. Ketika para penumpang lain satu demi satu naik ke kapal, mereka melihatnya dan sebagaimana lazimnya mereka meminta nasihat padanya. Semua darwis akan mengatakan hal yang itu-itu saja kepada setiap orang yang meminta nasihat: darwis itu tampaknya hanya mengulangi salah satu rumusan yang menjadi sasaran perhatian darwis dari masa ke masa.
Rumusan itu adalah: "Cobalah menyadari maut sampai kau tahu apa maut itu." Hanya sedikit penumpang yang secara serius tertarik pada peringatan tersebut.
Mendadak ada angin topan menderu. Awak kapal dan penumpang semuanya berlutut, memohon pada Tuhan agar menyelamatkan kapal itu. Mereka berteriak-teriak ketakutan, pasrah pada nasib, menangis mengharapkan pertolongan. Sementara itu, sang Darwis duduk tenang, merenung, tak bereaksi sama sekali terhadap kehebohan dan situasi di sekelilingnya.
Akhirnya, kekacauan itu berhenti, laut dan langit tenang, dan para penumpang menjadi sadar betapa tenang darwis itu selama peristiwa badai itu berlangsung.
Ada orang bertanya padanya: 'Tidakkah Tuan menyadari bahwa selama prahara menakutkan tadi berlangsung hanya selembar papan kokoh yang memisahkan kita dari maut?"
"Oh, ya, tentu," jawab sang darwis, "saya tahu bahwa di laut selalu begitu. Tetapi, saya juga sadar bahwa, seperti yang sudah sering saya renungkan ketika berada di darat, dalam peristiwa biasa sehari-hari, pemisah antara kita dan maut bahkan lebih rapuh lagi."
Kakeknya adalah seorang penganut Zoroastrian, dan ia mengenyam pendidikan esoterisnya di India. Karena gurunya, Abu- Ali dari Sind, tidak mengetahui sepenuhnya tata cara ritual Islam, beberapa ahli beranggapan bahwa Abu-Ali seorang penganut Hindu, dan bahwa Bayazid sebenarnya mempelajari metode mistik India. Tetapi, tak ada ahli yang berwenang, di antara para Sufi, yang membenarkan anggapan tersebut. Para pengikut Bayazid antara lain tarekat Bistamia.
Berikut kisah tersebut sebagaimana dinukil dari buku berjudul Tales of The Dervishes karya Idries Shah yang diterjemahkan Ahmad Bahar menjadi "Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi"
Konon, ada seorang darwis yang mengadakan perjalanan lewat laut. Ketika para penumpang lain satu demi satu naik ke kapal, mereka melihatnya dan sebagaimana lazimnya mereka meminta nasihat padanya. Semua darwis akan mengatakan hal yang itu-itu saja kepada setiap orang yang meminta nasihat: darwis itu tampaknya hanya mengulangi salah satu rumusan yang menjadi sasaran perhatian darwis dari masa ke masa.
Rumusan itu adalah: "Cobalah menyadari maut sampai kau tahu apa maut itu." Hanya sedikit penumpang yang secara serius tertarik pada peringatan tersebut.
Mendadak ada angin topan menderu. Awak kapal dan penumpang semuanya berlutut, memohon pada Tuhan agar menyelamatkan kapal itu. Mereka berteriak-teriak ketakutan, pasrah pada nasib, menangis mengharapkan pertolongan. Sementara itu, sang Darwis duduk tenang, merenung, tak bereaksi sama sekali terhadap kehebohan dan situasi di sekelilingnya.
Akhirnya, kekacauan itu berhenti, laut dan langit tenang, dan para penumpang menjadi sadar betapa tenang darwis itu selama peristiwa badai itu berlangsung.
Ada orang bertanya padanya: 'Tidakkah Tuan menyadari bahwa selama prahara menakutkan tadi berlangsung hanya selembar papan kokoh yang memisahkan kita dari maut?"
"Oh, ya, tentu," jawab sang darwis, "saya tahu bahwa di laut selalu begitu. Tetapi, saya juga sadar bahwa, seperti yang sudah sering saya renungkan ketika berada di darat, dalam peristiwa biasa sehari-hari, pemisah antara kita dan maut bahkan lebih rapuh lagi."
(mhy)