Hukum Memasuki Tempat Ibadah Agama Lain Menurut Ulama dan 4 Mazhab

Rabu, 21 Desember 2022 - 17:35 WIB
loading...
Hukum Memasuki Tempat...
KH Ahmad Syahrin Thoriq, pengasuh Ponpes Subuluna Bontang Kalimantan Timur yang juga alumnus Al-Azhar Mesir. Foto/Ist
A A A
Hukum memasuki tempat ibadah agama lain perlu diketahui oleh umat muslim. Para ulama menjelaskannya dalam berbagai sudut pandang.

Secara umum, hukum memasuki tempat ibadah agama lain terbagi menjadi dua keadaan yaitu pertama, sedang diadakannya ritual peribadatan agama lain. Kondisi kedua, ketika tidak ada peribadatan.

Mari kita simak penjelasan Pengasuh Pesantren Subuluna Bontang Kalimantan Timur KH Ahmad Syahrin Thoriq berikut.

1. Adanya Ritual Ibadah
Para ulama sepakat bahwa memasuki tempat ibadah agama lain semisal gereja, sinagog, kuil sedang diselenggarakannya ritual ibadah mereka, haram hukumnya. Dalilnya adalah keumuman firman Allah dalam Surah Al-Kafirun dan Atsar dari Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu:

لاَ تَدْخُلُوْا عَلَى المشْرِكِيْنَ فِي كَنَائِسِهِمْ يَوْمَ عِيْدِهِمْ فَإِنَّ السُخْطَةَ تَنْزِلُ عَلَيْهِمْ

Artinya: "Janganlah kalian memasuki tempat ibadah orang musyrik pada saat mereka sedang merayakan hari agama mereka, karena kemarahan Allah akan turun kepada mereka." (HR Abdur Razaq dalam Al-Mushannaf No 1608; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 9:234 dan dinilai kuat oleh Al-Bukhari dalam At Tarikh)

Ibnul Qayyim berkata: "Kaum muslimin tidak boleh turut serta, membantu dan hadir dalam perayaan mereka tersebut. Hal ini telah disepakati oleh para ahli ilmu (para ulama) dan telah dinyatakan oleh para ulama empat madzhab di kitab-kitab mereka."

2. Tidak Ada Peribadatan
Jika tidak ada ritual ibadah, misalnya seseorang hanya sekadar mampir ke sebuah kuil atau gereja, atau menghadiri acara yang bukan ritual ibadah di gereja, maka para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Ada yang mutlak mengharamkan, ada yang memakruhkan dan ada yang membolehkan.

Kalangan Hanafiyyah (Mazhab Hanafi)berpendapat haramnya memasuki rumah ibadah agama lain karena dipandang tempat yang buruk dan menjadi tempat berkumpulnya para setan.

Sebagian kalangan Hanabilah (Mazhab Hanbali) memakruhkan karena di dalamnya ada gambar-gambar dan juga patung-patung. Sedangkan mayoritas ulama Madzhab Malikiyah, Syafi'iyah, dan sebagian Hanabilah membolehkannya.

Pendapat yang Kuat (Rajih)
Para ulama rata-rata merajihkan pendapat jumhur ulama, yakni bolehnya memasuki gereja, sinagog, kuil dan tempat lainnya bila bukan dalam rangka menghadiri atau turut berpartisipasi untuk ritual ibadah mereka.

Hal ini karena ada banyak riwayat yang menyebutkan bahwa dulu para sahabat Nabi juga memasuki gereja-gereja. Jika hal tersebut diharamkan, tentu mereka tidak akan melakukannya, di antara riwayatnya: Ibnu A'id meriwayatkan dalam Kitabnya Futuh asy-Syam bahwa orang-orang Nasrani mempersiapkan makanan untuk Khalifah Umar bin Khattab yang berkunjung ke Syam dan mengundangnya makan.

Umar bertanya: "Di mana makanannya?" Mereka menjawab: "Di gereja." Umar pun menolak memasuki gereja dan berkata kepada Sayyidina Ali: "Masuklah bersama-sama umat Islam dan santaplah makanannya." Ali pun memasuki gereja bersama-sama dengan umat Islam dan menyantap makanan.

Di dalam gereja, Ali menyaksikan aneka lukisan dan berujar: "Memang tidaklah semestinya seorang Amirul Mukminin memasuki gereja (dengan lukisan dan patung di dalamnya) lalu menyantap makanan."

Komite Fatwa Saudi Arabia membolehkan seorang muslim memasuki tempat ibadah agama lain dengan syarat:
1. Adanya maslahat bagi agama Islam, misalnya dalam rangka berdakwah atau berdebat dengan orang Nasrani agar mereka masuk Islam.
2. Tidak menimbulkan perbuatan haram, misalnya basa-basi dalam kemaksiatan mereka.
3. Berani menampakkan jati diri keislamannya di hadapan orang kafir.
4. Tidak menyebabkan orang awam tertipu karena mengira bahwa dirinya setuju dengan agama orang Nasrani.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, KH Ahmad Syahrin Thoriq mengatakan, apa yang dilakukan oleh saudara kita dengan melakukan kegiatan penyuluhan kesehatan di gereja secara asal hukumnya boleh menurut mayoritas ulama. Asalkan tidak dilakukan terus menerus dan tidak ada pilihan tempat lainnya yang lebih baik.

Wallahu A'lam

Referensi:
1. HR Abdur Razaq dalam Al-Mushannaf No 1608; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 9:234
2. Ahkam Ahli Adz Dzimmah Hal 492
3. Al-Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaithiyah (38/155)
4. Hasyiah Ibnu Abidin (5/248)
5. Jawahirul Iklil (1/183)
6. Hasyiyah Jamil (3/572)
7. Al-Qulyubi (4/235)
8. Kasyful Qina (1/293).
9. Al-Mughni (8/113)
10. Al-Inshaf (1/496).
11. Fatwa Lajnah Daimah (2/33)

(rhs)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2387 seconds (0.1#10.140)