3 Pandangan Fiqih tentang Zakat Penghasilan dan Profesi

Rabu, 18 Januari 2023 - 16:52 WIB
loading...
3 Pandangan Fiqih tentang Zakat Penghasilan dan Profesi
Zakat Online: Ada 3 pandangan fiqih tentang zakat penghasilan dan profesi. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan ada 3 pandangan fiqih tentang zakat penghasilan dan profesi. Setidaknya begitu jika kita mengacu pada pendapat guru-guru seperti Abdur Rahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf. "Masalah ini sudah dibahas di Damaskus pada tahun 1952," ujar al-Qardhawi.

Dalam bukunya yang berjudul " Hukum Zakat " (Litera AntarNusa dan Mizan, 1996), Al-Qardhawi menyimpulkan 3 pandangan fiqih tersebut.

Baca Juga: Kakulator Zakat
Pertama, penghasilan dan profesi dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab. Nisab tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun. Maknanya, cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang di tengah-tengah kita. Dengan penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil penghasilan setiap tahun, karena hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun bahkan kebanyakan mencapai kedua sisi ujung tahun tersebut.

"Ini jika kita berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad," ujar Al-Qardhawi.

Berdasar hal itu, katanya, kita dapat menetapkan hasil penghasilan sebagai sumber zakat , karena terdapatnya illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fiqih sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat.

Selanjutnya dia menjelaskan karena Islam mempunyai ukuran bagi seseorang - untuk bisa dianggap kaya - yaitu 12 Junaih emas menurut ukuran Junaih Mesir lama maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat seseorang untuk terkena kewajiban zakat, sehingga jelas perbedaan antara orang kaya yang wajib zakat dan orang miskin penerima zakat.

Dalam hal ini, mazhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa jumlah senisab itu cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja tanpa harus terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan itu harus diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas hasil penghasilan dan profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin, seorang pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut.



Mengenai besar zakat , mereka mengatakan, "Penghasilan dan profesi, kita tidak menemukan contohnya dalam fiqih, selain masalah khusus mengenai penyewaan yang dibicarakan Ahmad. Ia dilaporkan berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata penghasilan, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab."

Menurut al-Qardhawi, hal itu sesuai dengan apa yang telah kita tegaskan lebih dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja yang penghasilannya tidak mencapai nisab seperti yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi cukup pada akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab yang telah berumur setahun.

Harta Pendapatan
Gaji dan upah adalah harta pendapatan. Akibat dari tafsiran itu, menurut al-Qardhawi, bahwa zakat wajib dipungut dari gaji atau semacamnya sebulan dari dua belas bulan. Karena ketentuan wajib zakat adalah cukup nisab penuh pada awal tahun atau akhir tahun.



Menurutnya, yang menarik adalah pendapat guru-guru besar tentang hasil penghasilan dan profesi dan pendapatan dari gaji atau lain-lainnya di atas, bahwa mereka tidak menemukan persamaannya dalam fiqih selain apa yang dilaporkan tentang pendapat Ahmad tentang sewa rumah di atas.

Tetapi sesungguhnya persamaan itu ada yang perlu disebutkan di sini, yaitu bahwa kekayaan tersebut dapat digolongkan kepada kekayaan penghasilan, "yaitu kekayaan yang diperoleh seseorang Muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai dengan syariat agama. Jadi pandangan fikih tentang bentuk penghasilan itu adalah, bahwa ia adalah "harta penghasilan."

Sekelompok sahabat berpendapat bahwa kewajiban zakat kekayaan tersebut langsung, tanpa menunggu batas waktu setahun. Di antara mereka adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah, Shadiq, Baqir, Nashir, Daud, dan diriwayatkan juga Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri, serta Auza'i.

Al-Qardhawi mengatakan yang mendesak, mengingat zaman sekarang, adalah menemukan hukum pasti "harta penghasilan" itu, oleh karena terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa hasil penghasilan, profesi, dan kekayaan non-dagang dapat digolongkan kepada "harta penghasilan" tersebut.

Bila kekayaan dari satu kekayaan, yang sudah dikeluarkan zakatnya, yang di dalamnya terdapat "harta penghasilan" itu, mengalami perkembangan, misalnya laba perdagangan dan produksi binatang ternak maka perhitungan tahunnya disamakan dengan perhitungan tahun induknya. Hal itu karena hubungan keuntungan dengan induknya itu sangat erat.



Berdasarkan hal itu, katanya, bila seseorang sudah memiliki satu nisab binatang ternak atau harta perdagangan, maka dasar dan labanya bersama-sama dikeluarkan zakatnya pada akhir tahun.

Ini jelas. Berbeda dengan hal itu, "harta penghasilan" dalam bentuk uang dari kekayaan wajib zakat yang belum cukup masanya setahun, misalnya seseorang yang menjual hasil tanamannya yang sudah dikeluarkan zakatnya 1/10 atau 1/20, begitu juga seseorang menjual produksi ternak yang sudah dikeluarkan zakatnya, maka uang yang didapat dari harga barang tersebut tidak dikeluarkan zakatnya waktu itu juga.

Hal itu untuk menghindari adanya zakat ganda, yang dalam perpajakan dinamakan "Tumpang Tindih Pajak."

Al-Qardhawi menjelaskan yang kita bicarakan di sini, adalah tentang "harta penghasilan," yang berkembang bukan dari kekayaan lain, tetapi karena penyebab bebas, seperti upah kerja, investasi modal, pemberian, atau semacamnya, baik dari sejenis dengan kekayaan lain yang ada padanya atau tidak.

Berlaku jugakah ketentuan setahun penuh bagi zakat kekayaan hasil kerja ini? Ataukah digabungkan dengan zakat hartanya yang sejenis dan ketentuan waktunya mengikuti waktu setahun harta lainnya yang sejenis itu? Atau wajib zakat terhitung saat harta tersebut diperoleh dan susah terpenuhi syarat-syarat zakat yang berlaku seperti cukup senisab, bersih dari hutang, dan lebih dari kebutuhan-kebutuhan pokok?



Menurut al-Qardhawi, yang jelas ketiga pendapat tersebut di atas adalah pendapat ulama- ulama fiqih meskipun yang terkenal banyak di kalangan para ulama fiqih itu adalah bahwa masa setahun merupakan syarat mutlak setiap harta benda wajib zakat, harta benda perolehan maupun bukan.

Hal itu berdasarkan hadis-hadis mengenai ketentuan masa setahun tersebut dan penilaian bahwa hadis-hadis tersebut berlaku bagi semua kekayaan termasuk harta hasil usaha.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3236 seconds (0.1#10.140)