QS. Al-Ahqaf Ayat 15
Allah memerintahkan agar semua manusia berbuat baik kepada ibu-bapaknya, baik ketika keduanya masih hidup maupun telah meninggal dunia. Berbuat baik ialah melakukan semua perbuatan yang baik sesuai dengan perintah agama. Berbuat baik kepada orang tua ialah menghormatinya, memelihara, dan memberi nafkah apabila ia sudah tidak mempunyai penghasilan lagi. Sedangkan berbuat baik kepada kedua orang tua setelah meninggal dunia ialah selalu mendoakannya kepada Allah agar diberi pahala dan diampuni segala dosanya. Berbuat baik kepada kedua orang tua termasuk amal yang tinggi nilainya di sisi Allah, sedangkan durhaka kepadanya termasuk perbuatan dosa besar.
Anak merupakan penerus kehidupan bagi kedua orang tuanya, cita-cita atau perbuatan yang tidak dapat dilakukan semasa hidupnya diharapkan dapat dilanjutkan oleh anaknya. Oleh karena itu, anak juga merupakan harapan orang tuanya, bukan saja harapan sewaktu ia masih hidup, tetapi juga harapan setelah meninggal dunia. Dalam hadis Rasulullah saw, diterangkan bahwa di antara amal yang tidak akan putus pahalanya diterima oleh manusia sekalipun ia telah meninggal dunia ialah doa dari anak-anaknya yang saleh yang selalu ditujukan untuk orang tuanya.
Rasulullah saw bersabda:
Apabila manusia meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)
Dari hadis ini dapat dipahami bahwa orang tua hendaklah mendidik anaknya agar menjadi orang yang taat kepada Allah, suka beramal saleh, melaksanakan perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya. Pendidikan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, misalnya dengan pendidikan di sekolah, pendidikan di rumah, memberikan contoh yang baik, dan sebagainya. Hanya anak-anak yang saleh yang taat kepada Allah dan suka beramal saleh, yang dapat berbakti dan berdoa untuk orang tuanya.
Pada ayat ini, Allah menerangkan secara khusus mengapa orang harus berbuat baik kepada ibunya. Pengkhususan itu menunjukkan bahwa ketika anak akan berbuat baik kepada orang tuanya, ibu harus didahulukan daripada ayah. Sebab perhatian, pengorbanan, dan penderitaan ibu lebih besar dan lebih banyak dalam memelihara dan mendidik anak dibandingkan dengan perhatian, pengorbanan, dan penderitaan yang dialami oleh ayah. Di antara pengorbanan, perhatian, dan penderitaan ibu ialah:
1. Ibu mengandung anak dalam keadaan penuh cobaan dan penderitaan. Semula dirasakan kandungan itu ringan, sekalipun telah mulai timbul perubahan-perubahan dalam dirinya, seperti makan tidak enak, perasaan gelisah, kadang-kadang mual, muntah, dan sebagainya. Semakin lama kandungan itu semakin berat. Bertambah berat kandungan itu bertambah berat pula cobaan yang ditanggung ibu, sampai saat-saat melahirkan. Hampir-hampir cobaan itu tidak tertanggungkan lagi, serasa nyawa akan putus.
2. Setelah anak lahir, ibu memelihara dan menyusuinya. Masa mengandung dan menyusui ialah 30 bulan. Ayat Al-Qur'an menerangkan bahwa masa menyusui yang paling sempurna ialah dua tahun. Allah berfirman:
Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. (al-Baqarah/2: 233)
Dalam ayat ini diterangkan bahwa masa menyusui dan hamil adalah 30 bulan. Hal ini berarti bahwa ibu harus menumpahkan perhatiannya selama masa hamil dan menyusui, yaitu 30 bulan.
Sehubungan dengan ayat ini, ada riwayat yang mengatakan bahwa seorang wanita melahirkan dalam masa kandungan enam bulan. Maka perkara itu diajukan kepada 'Utsman bin 'Affan, khalifah waktu itu. 'Utsman bermaksud melakukan hukum had (merajam) karena wanita itu disangka telah berbuat zina lebih dahulu sebelum melakukan akad nikah. Maka 'Ali bin Abi thalib mengemukakan pendapat kepada 'Utsman dengan berkata, "Allah swt menyatakan bahwa masa menyusui itu dua tahun (24 bulan), dan dalam ayat ini dinyatakan bahwa masa mengandung dan masa menyusui 30 bulan. Hal ini berarti bahwa masa hamil itu paling kurang 6 bulan. Berarti wanita tidak dapat dihukum rajam karena ia melahirkan dalam masa hamil yang ditentukan ayat." Mendengar itu, 'Utsman bin 'Affan mengubah pendapatnya semula dan mengikuti pendapat 'Ali bin Abi thalib.
Ibnu 'Abbas berkata, "Apabila seorang wanita mengandung selama sembilan bulan, ia cukup menyusui anaknya selama 21 bulan, apabila ia mengandung 7 bulan, cukup ia menyusui anaknya 23 bulan, dan apabila ia mengandung 6 bulan ia menyusui anaknya selama 24 bulan.
Oleh karena itu, maka amat bijaksana kalau seorang anak disusui dengan air susu ibu (ASI), sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan sesuai pula dengan tuntunan ilmu kedokteran, kecuali kalau karena keadaan terpaksa bisa diganti dengan susu produk lain.
3. Ibulah yang paling banyak berhubungan dengan anak dalam memelihara dan mendidiknya, sampai anaknya sanggup mandiri. Kewajiban ibu memelihara dan mendidik anaknya itu tidak saja selama ibu terikat dengan perkawinan dengan bapak si anak, tetapi juga pada saat ia telah bercerai dengan bapak si anak.
Kecintaan dan rasa sayang ibu terhadap anaknya adalah ketentuan dari Allah, sebagaimana firman-Nya:
Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. (Luqman/31: 14)
Sehubungan dengan persoalan di atas, Rasulullah saw menjawab pertanyaan seorang sahabat dalam salah satu hadis:
Dari Bahz bin hakim dari bapaknya dari kakeknya, mudah-mudahan Allah meridainya, ia berkata, "Aku berkata, 'Ya Rasulullah, kepada siapa aku berbakti? Rasulullah menjawab, 'Kepada ibumu. Aku berkata, 'Kemudian kepada siapa? Jawab Rasulullah, 'Kepada ibumu. Aku berkata, 'Kemudian kepada siapa? Jawab Rasulullah, 'Kepada ibumu. Aku berkata, 'Kemudian kepada siapa? Rasulullah berkata, 'Kepada ayahmu, kemudian kepada karibmu yang paling dekat, lalu yang paling dekat." (Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidhi)
Adapun tanggung jawab ayah sebagai orang tua adalah sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab memelihara, memberi nafkah, dan menjaga ketenteraman dan keharmonisan keluarga. Ayah sebagai pemimpin keluarga dapat membagi tugas-tugas kepada istri, anak-anak yang lebih tua, maupun anggota-anggota keluarga lain yang tinggal dalam keluarga tersebut. Tanggung jawab spiritual sebagai ayah ialah membawa keluarga pada kedekatan kepada Allah, melaksanakan ibadah dengan benar dan melahirkan generasi baru, sebagaimana firman Allah:
Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa." (al-Furqan/25: 74)
Ayat ini menerangkan sikap yang baik dari seorang anak kepada orang tuanya yang telah mengasuhnya sejak kecil sampai dewasa, pada saat-saat orang tuanya itu telah berusia lanjut, lemah, dan pikun. Waktu itu si anak telah berumur sekitar 40 tahun, ia berdoa, "Wahai Tuhanku, berilah aku bimbingan dan petunjuk untuk mensyukuri nikmat-Mu yang tiada taranya yang telah engkau berikan kepadaku, baik yang berhubungan dengan petunjuk sehingga aku dapat melaksanakan perintah-Mu dan menghindari larangan-Mu, maupun petunjuk yang telah Engkau berikan kepada kedua orang tuaku sehingga mereka mencurahkan rasa kasih sayangnya kepadaku, sejak aku masih dalam kandungan, waktu aku masih kecil sampai aku dewasa. Wahai Tuhanku, terimalah semua amalku dan tanamkan dalam diriku semangat ingin beramal saleh yang sesuai dengan keridaan-Mu, dan bimbinglah pula keturunanku mengikuti jalan yang lurus; jadikanlah mereka orang yang bertakwa dan beramal saleh."
Sehubungan dengan ayat ini Ibnu 'Abbas berkata, "Barang siapa telah mencapai umur 40 tahun, sedangkan perbuatan baiknya belum dapat mengalahkan perbuatan jahatnya, maka hendaklah ia bersiap-siap untuk masuk neraka."
Pada riwayat yang lain Ibnu 'Abbas berkata, "Allah telah memperkenankan doa Abu Bakar. Beliau telah memerdekakan sembilan orang budak mukmin di antaranya Bilal dan Amir bin Fuhairah. Beliau tidak pernah bermaksud hendak melakukan suatu perbuatan baik, melainkan Allah menolongnya. Beliau berdoa, "Wahai Tuhanku, berikanlah kebaikan pada diriku, dengan memberikan kebaikan kepada anak cucuku. Jadikanlah kebaikan dan ketakwaan itu menjadi darah daging bagi keturunanku." Allah telah memperkenankan doa beliau. Tidak seorang pun dari anak-anaknya yang tidak beriman kepada Allah; ibu-bapaknya dan anak-anaknya semua beriman. Oleh karena itu, tidak seorang pun di antara sahabat Rasulullah yang memperoleh keutamaan seperti ini.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Mas'ud dalam Sunan-nya bahwa Rasulullah saw pernah mengajarkan doa berikut ini:
Wahai Tuhanku, timbulkanlah rasa kasih sayang dalam hati kami; timbulkanlah perdamaian di antara kami, bimbinglah kami ke jalan keselamatan. Lepaskanlah kami dari kegelapan dan bimbinglah kami menuju cahaya yang terang. Jauhkanlah kami dari segala kekejian baik yang lahir maupun yang batin. Berkatilah kami pada pendengaran kami, pada penglihatan kami, pada hati kami, pada istri-istri kami, pada keturunan kami. Terimalah tobat kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Jadikanlah kami orang yang selalu mensyukuri nikmat Engkau serta memuji-Mu, karena pemberian nikmatmu itu dan sempurnakanlah nikmat-Mu itu atas kami. (Riwayat Abu Dawud)
Surat Al Ahqaaf terdiri dari 35 ayat termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, diturunkan sesudah surat Al Jaatsiyah. Dinamai Al Ahqaaf (bukit-bukit pasir) dari perkataan Al Ahqaaf yang terdapat pada ayat 21 surat ini.Dalam ayat tersebut dan ayat-ayat sesudahnya diterangkan bahwa Nabi Hud a.s. telah menyampaikan risalahnya kepada kaumnya di Al Ahqaaf yang sekarang dikenal dengan Ar Rab'ul Khaali, tetapi kaumnya tetap ingkar sekalipun mereka telah diberi peringatan pula oleh rasul-rasul yang sebelumnya. Akhirnya Allah menghancurkan mereka dengan tiupan angin kencang. Hal ini adalah sebagai isyarat dari Allah kepada kaum musyrikin Quraisy bahwa mereka akan dihancurkan bila mereka tidak mengindahkan seruan Rasul.
Sebagian ulama menilai penganut Rasional sangat memperluas penggunaan metafora dengan menggunakan pemahaman tamsil atau perumpamaan bagi ayat-ayat al-Quran
Seorang pembicara tak menggunakan metafora kecuali jika ia tak mampu menemukan kosakata atau ungkapan yang bersifat hakiki, dan tentunya harus diyakini bahwa Allah maha mampu atas segala sesuatu.
Dzun Nun, seorang Mesir (wafat tahun 860), yang dianggap sebagai pengarang kisah ini, sering dikaitkan dengan semacam Perserikatan Rahasia (Freemasonry).
Halqavi (pengarang kisah ini) mengatakan hanya ada sedikit kisah Sufi, yang bisa dibaca oleh siapa pun saat kapan pun dan tetap mempengaruhi kesadaran batin secara konstruktif.
Setiap bahasa mengenal kata atau ungkapan yang bersifat metaforis, termasuk bahasa yang digunakan al-Quran. Tapi bagaimana dengan al-Quran yang redaksi-redaksinya merupakan susunan Ilahi?