Bubur Sayur ala Masjid Tua di Bantul
A
A
A
BANTUL - Ada yang berbeda di Masjid Sabiilurrosyaad, Kauman Wijirejo, Pandak, Bantul, setiap Bulan Ramadan.
Menu nasi bubur dengan sayur tahu bercampur tempe menjadi sajian buka puasa yang tidak boleh dilewatkan. Sajian menu bubur menjadi sebuah tradisi turun temurun, sejak masjid tertua ini didirikan.
Bukan tanpa sebab, karena bubur ini ternyata memiliki filosofi yang luar biasa dan tetap ingin dijaga oleh warga sekitar masjid.
Tidak hanya menjadi tradisi turun temurun, karena ternyata personal yang memasaknya juga sudah turun temurun. Masih satu garis dengan pendahulu mereka yang dulu juga menjadi juru masak bubur tersebut.
Empat orang laki-laki yang kini sudah memasuki usia senja, Zurkoni, Wardani, Jamhani dan Hasanudin selalu setia memasak bubur sejak mereka masih anak-anak. “Mboten enten (tidak ada) paksaan, semua sukarela,” papar Wardani, 60, difabel yang telah ikut memasak sejak menginjak remaja.
Disajikan dengan piring dari logam seng warna kuning dan putih, bubur yang diberi sayur dengan hiasan potongan tahu putih serta beberapa potongan tempe dengan pemanis irisan cabe kecil menjadi pemandangan setiap hari menjelang buka puasa, kecuali malam 21 ramadan berganti nasi.
Tidak ada keahlian khusus dari keempat laki-laki yang sudah tua tersebut. Meski tidak mengharuskan laki-laki namun sebuah kebetulan, sajian bubur bersama sayurnya tersebut diolah oleh laki-laki semua.
Dalam sebuah kuali besar, mereka sukarela meramu 4,5 kilogram (kg) beras, memarut 7 butir kelapa serta memotong beberapa tempe dan tahu menjadi bubur sejak pukul 14.00 WIB setiap hari.
Semuanya memang dilakukan dengan sukarela, tidak ada paksaan ataupun imbauan, semuanya melaksanakan hal tersebut karena merasa memiliki masjid tersebut. Bahkan menurut Ketua Takmir Masjid tersebut, Haryadi, semua bahan mulai dari beras, uba rampe, hingga ke kayu datangnya dari warga.
Tanpa paksaan, mereka memberikan sumbangan sesuai dengan kemampuan dan kemauan. “Kami sadar, ini sebuah tradisi yang harus kami lestarikan,” papar pria yang juga menjabat sebagai Kabag Kesra Desa Wijirejo ini.
Menurut Haryadi, tradisi bubur memang tidak lepas dari filosofi yang terkandung di dalamnya. Sama dengan masjid di Solo, bubur ternyata juga memiliki maksud sama untuk melakukan syiar agama islam. Seperti yang dilakukan oleh Panembahan Bodho, kakak dari Panembahan Senopati.
Bubur sangat cocok untuk buka puasa karena lembut, segar sehingga enak di perut yang baru saja kosong karena puasa. Secara ekonomi,bubur juga hemat karena dengan bahan yang sama, dapat menghasilkan porsi lebih banyak dibanding dengan dimasak seperti nasi.
Haryadi menyebutkan, di samping pertimbangan ekonomis dan kesehatan tersebut, sebenarnya cerita sesepuh desa, semua yang diajarkan oleh para pendahulu tentu memiliki nilai, makna dan arti. Demikian pula dengan bubur yang diajarkan oleh sesepuh desa tentu memiliki kandungan maksud.
Bubur bisa bermakna Bibirrrin berarti hal yang bagus, yaitu di masjid harus menjadi sumber dan pusat kebaikan dan hal yang bagus bagi masyarakat. Beber, yaitu membeberkan, menjelaskan, karena di dalam masjid Kanjeng Panembahan Bodho menerangkan ajaran islam.
Babar, yaitu meratakan ajaran agama islam ke seluruh lapisan masyarakat. Dan Bubur, artinya melebur yaitu ajaran agama Islam agar dapat melebur dengan jiwa masyarakat penganutnya.
“Hal ini dapat dipahami, pada jaman dahulu makanan merupakan hal penting sebagai sarana dakwah,”tambahnya.
Panembahan Bodho sendiri merupakan tokoh yang mendirikan dan membangun masjid tersebut. Ia merupakan ulama besar yang diyakini sebagai Waliyulloh (kekasih Allah, red). Panembahan Bodho bernama asli Raden Trenggono adalah Adipati Terung III pada awal abad ke 15 Masehi yang juga merupakan murid dari Sunan Kalijaga.
Tetapi karena pengikut Sunan Kalijaga, ia memilih menjadi ulama sehingga banyak yang menyebutnya Bodho atau bodoh. “Masjid ini dibangun jauh sebelum kerajaan Mataram ada, sehingga Panembahan Senopati sangat menghormati beliau,” terangnya.
Menu nasi bubur dengan sayur tahu bercampur tempe menjadi sajian buka puasa yang tidak boleh dilewatkan. Sajian menu bubur menjadi sebuah tradisi turun temurun, sejak masjid tertua ini didirikan.
Bukan tanpa sebab, karena bubur ini ternyata memiliki filosofi yang luar biasa dan tetap ingin dijaga oleh warga sekitar masjid.
Tidak hanya menjadi tradisi turun temurun, karena ternyata personal yang memasaknya juga sudah turun temurun. Masih satu garis dengan pendahulu mereka yang dulu juga menjadi juru masak bubur tersebut.
Empat orang laki-laki yang kini sudah memasuki usia senja, Zurkoni, Wardani, Jamhani dan Hasanudin selalu setia memasak bubur sejak mereka masih anak-anak. “Mboten enten (tidak ada) paksaan, semua sukarela,” papar Wardani, 60, difabel yang telah ikut memasak sejak menginjak remaja.
Disajikan dengan piring dari logam seng warna kuning dan putih, bubur yang diberi sayur dengan hiasan potongan tahu putih serta beberapa potongan tempe dengan pemanis irisan cabe kecil menjadi pemandangan setiap hari menjelang buka puasa, kecuali malam 21 ramadan berganti nasi.
Tidak ada keahlian khusus dari keempat laki-laki yang sudah tua tersebut. Meski tidak mengharuskan laki-laki namun sebuah kebetulan, sajian bubur bersama sayurnya tersebut diolah oleh laki-laki semua.
Dalam sebuah kuali besar, mereka sukarela meramu 4,5 kilogram (kg) beras, memarut 7 butir kelapa serta memotong beberapa tempe dan tahu menjadi bubur sejak pukul 14.00 WIB setiap hari.
Semuanya memang dilakukan dengan sukarela, tidak ada paksaan ataupun imbauan, semuanya melaksanakan hal tersebut karena merasa memiliki masjid tersebut. Bahkan menurut Ketua Takmir Masjid tersebut, Haryadi, semua bahan mulai dari beras, uba rampe, hingga ke kayu datangnya dari warga.
Tanpa paksaan, mereka memberikan sumbangan sesuai dengan kemampuan dan kemauan. “Kami sadar, ini sebuah tradisi yang harus kami lestarikan,” papar pria yang juga menjabat sebagai Kabag Kesra Desa Wijirejo ini.
Menurut Haryadi, tradisi bubur memang tidak lepas dari filosofi yang terkandung di dalamnya. Sama dengan masjid di Solo, bubur ternyata juga memiliki maksud sama untuk melakukan syiar agama islam. Seperti yang dilakukan oleh Panembahan Bodho, kakak dari Panembahan Senopati.
Bubur sangat cocok untuk buka puasa karena lembut, segar sehingga enak di perut yang baru saja kosong karena puasa. Secara ekonomi,bubur juga hemat karena dengan bahan yang sama, dapat menghasilkan porsi lebih banyak dibanding dengan dimasak seperti nasi.
Haryadi menyebutkan, di samping pertimbangan ekonomis dan kesehatan tersebut, sebenarnya cerita sesepuh desa, semua yang diajarkan oleh para pendahulu tentu memiliki nilai, makna dan arti. Demikian pula dengan bubur yang diajarkan oleh sesepuh desa tentu memiliki kandungan maksud.
Bubur bisa bermakna Bibirrrin berarti hal yang bagus, yaitu di masjid harus menjadi sumber dan pusat kebaikan dan hal yang bagus bagi masyarakat. Beber, yaitu membeberkan, menjelaskan, karena di dalam masjid Kanjeng Panembahan Bodho menerangkan ajaran islam.
Babar, yaitu meratakan ajaran agama islam ke seluruh lapisan masyarakat. Dan Bubur, artinya melebur yaitu ajaran agama Islam agar dapat melebur dengan jiwa masyarakat penganutnya.
“Hal ini dapat dipahami, pada jaman dahulu makanan merupakan hal penting sebagai sarana dakwah,”tambahnya.
Panembahan Bodho sendiri merupakan tokoh yang mendirikan dan membangun masjid tersebut. Ia merupakan ulama besar yang diyakini sebagai Waliyulloh (kekasih Allah, red). Panembahan Bodho bernama asli Raden Trenggono adalah Adipati Terung III pada awal abad ke 15 Masehi yang juga merupakan murid dari Sunan Kalijaga.
Tetapi karena pengikut Sunan Kalijaga, ia memilih menjadi ulama sehingga banyak yang menyebutnya Bodho atau bodoh. “Masjid ini dibangun jauh sebelum kerajaan Mataram ada, sehingga Panembahan Senopati sangat menghormati beliau,” terangnya.
(lis)