Uniknya Ramadhan di Mesir
A
A
A
Dr Miftah el-Banjary MA
Penulis Buku Keajaiban Seribu Dinar
Mesir salah satu negeri Islam yang menarik untuk kita jejaki budaya bulan Ramadhan di sana. Sejak peristiwa Fath Masr; pembebasan Mesir dari imperium Romawi oleh salah satu sahabat Rasulullah bernama Jenderal Amru bin Ash pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab (639-642 M), pada akhirnya penduduk Mesir mayoritas memeluk agama Islam.
Mesir dikenal sebagai Umm Dunya; Sumber Peradaban Dunia, disebabkan ada banyak peradaban besar di dunia ini yang silih berganti menguasai Mesir. Dimulai dari peradaban Fir’aun, Yunani, Romawi hinga peradaban Islam dari kekhalifahan Fathimiyyah, Mamluk, hingga Turki Utsmani.
Oleh karena itulah ada banyak tradisi unik di Mesir. Salah satunya adalah tradisi menggantungkan lampu Fanous; semacam lampu lampion yang menggunakan listrik. Dulunya lampu-lampu semacam ini dibagikan oleh pihak kekhalifahan pada rakyatnya untuk menghiasi tempat-tempat ibadah dan jalan yang menandai datangnya bulan Ramadhan.
Kini, tradisi memasang lampu Fanous tetap menjadi tradisi masyarakat Mesir ketika menjelang tibanya bulan Ramadhan. Bila di jalan-jalan sudah banyak para pedagang lampu Fanous yang menjual dagangannya, maka menandakan bulan Ramadhan segera tiba.
Selain itu, pada bulan Ramadhan akan bermunculan kue-kue khas Ramadhan. Salah satunya adalah kue Kanufa. Teksturnya seperti kue lapis legit yang terasa sangat manis sekali. Konon kue ini dulunya juga dibagikan pasukan Shalahuddin Al-Ayubi dari Syam ketika mereka pertama kali memasuki Mesir diawal bulan Ramadhan.
Mengawali ketentuan awal tibanya bulan Ramadhan, orang Mesir mempercayakan sepenuhnya pada keputusan pemerintah yang diwakili oleh keputusan lembaga Dar-Efta Mesir; semacam MUI di Indonesia. Di sana terdapat para alim ulama yang sebagian besar didominasi oleh para Syekh Al-Azhar. Ketika Dar-Efta memutuskan awal bulan Ramadhan, maka seluruh masyarakat muslim Mesir sepakat memulai berpuasa, sehingga tidak terjadi perbedaan pendapat penentuan awal dan akhir Ramadhan seperti di Indonesia.
Menandai kedatangan bulan Ramadhan, orang Mesir menyambutnya dengan suka-cita. Biasanya mereka saling mengucapkan selamat Ramadhan dengan orang-orang yang mereka temui dengan ucapan, “Ramadhan kariem. Kullu sanah wa antum thayyib. Ramadhan bulan penuh kemuliaan. Semoga Anda dalam keadaan baik sepanjang tahun.”
Letak geografis Mesir yang terletak di benua Afrika menyebabkan musim panas yang terjadi di sana bisa mencapai 35-40° celcius. Anda bisa membayangkan jika kebetulan Anda berpuasa Ramadhan di puncak musim panas yang siang harinya lebih panjang ketimbang malam harinya? Pada musim panas, lama waktu berpuasa di sana bisa mencapai 18 jam dengan cuaca yang sangat panas. Di sanalah kesabaran orang yang berpuasa di sana benar-benar diuji keimanannya.
Bagi orang Mesir bulan Ramadhan adalah ladang amal yang tak boleh disia-siakan begitu saja, sehingga mereka berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan sekecil apa pun itu, mulai dari bersedekah kurma hingga membagi-bagikan hidangan makanan atau menjamu orang yang berbuka puasa.
Biasanya bagi orang-orang kaya yang dermawan mereka akan membagi-bagikan hidangan makanan gratis di setiap penjuru jalanan. Hidangan gratis itu dikenal dengan istilah “Maidatur Rahman” (Hidangan dari Tuhan yang Maha Penyayang). Selain itu, sama halnya di Indonesia “Maidatur Rahman” bisa dijumpai di setiap masjid ketika menjelang waktu berbuka puasa.
Jika Anda berpuasa Ramadhan di Mesir, jangan Anda bayangkan akan mudah menemukan masjid yang cepat selesai shalawat tarawihnya seperti di Indonesia. Rata-rata imam salat tarawih di Mesir membaca satu juz Alquran dengan jumlah hitungan antara 11 dan 23 rakaat salat tarawih.
Satu hal pemandangan yang indah nuansa bulan Ramadhan di sana, kita akan menyaksikan orang-orang yang membawa mushaf Alquran dan asyik membacanya, baik di masjid maupun di tempat-tempat umum di jalanan, Metro, bus, halte, pasar, pertokoan. Membaca Alquran di jalanan bukanlah hal yang asing.
Dan tentunya kita juga akan sulit menemukan warung makan yang buka di siang hari di bulan Ramadhan, meskipun di sana juga terdapat penganut non-muslim Kristen Koptik yang berjumlah hampir 2% dari penduduk mayoritas muslim di Mesir.
Kristen Koptik di sana sangat menghormati saudaranya kaum muslimin yang berpuasa. Meskipun ada beberapa restauran yang buka, akan tetapi mereka tetap tertutup dan jauh dari pandangan publik. Beginilah indahnya toleransi beragama yang dibangun atas dasar saling menghormati dan menghargai terhadap keyakinan agama masing-masing.
Penulis Buku Keajaiban Seribu Dinar
Mesir salah satu negeri Islam yang menarik untuk kita jejaki budaya bulan Ramadhan di sana. Sejak peristiwa Fath Masr; pembebasan Mesir dari imperium Romawi oleh salah satu sahabat Rasulullah bernama Jenderal Amru bin Ash pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab (639-642 M), pada akhirnya penduduk Mesir mayoritas memeluk agama Islam.
Mesir dikenal sebagai Umm Dunya; Sumber Peradaban Dunia, disebabkan ada banyak peradaban besar di dunia ini yang silih berganti menguasai Mesir. Dimulai dari peradaban Fir’aun, Yunani, Romawi hinga peradaban Islam dari kekhalifahan Fathimiyyah, Mamluk, hingga Turki Utsmani.
Oleh karena itulah ada banyak tradisi unik di Mesir. Salah satunya adalah tradisi menggantungkan lampu Fanous; semacam lampu lampion yang menggunakan listrik. Dulunya lampu-lampu semacam ini dibagikan oleh pihak kekhalifahan pada rakyatnya untuk menghiasi tempat-tempat ibadah dan jalan yang menandai datangnya bulan Ramadhan.
Kini, tradisi memasang lampu Fanous tetap menjadi tradisi masyarakat Mesir ketika menjelang tibanya bulan Ramadhan. Bila di jalan-jalan sudah banyak para pedagang lampu Fanous yang menjual dagangannya, maka menandakan bulan Ramadhan segera tiba.
Selain itu, pada bulan Ramadhan akan bermunculan kue-kue khas Ramadhan. Salah satunya adalah kue Kanufa. Teksturnya seperti kue lapis legit yang terasa sangat manis sekali. Konon kue ini dulunya juga dibagikan pasukan Shalahuddin Al-Ayubi dari Syam ketika mereka pertama kali memasuki Mesir diawal bulan Ramadhan.
Mengawali ketentuan awal tibanya bulan Ramadhan, orang Mesir mempercayakan sepenuhnya pada keputusan pemerintah yang diwakili oleh keputusan lembaga Dar-Efta Mesir; semacam MUI di Indonesia. Di sana terdapat para alim ulama yang sebagian besar didominasi oleh para Syekh Al-Azhar. Ketika Dar-Efta memutuskan awal bulan Ramadhan, maka seluruh masyarakat muslim Mesir sepakat memulai berpuasa, sehingga tidak terjadi perbedaan pendapat penentuan awal dan akhir Ramadhan seperti di Indonesia.
Menandai kedatangan bulan Ramadhan, orang Mesir menyambutnya dengan suka-cita. Biasanya mereka saling mengucapkan selamat Ramadhan dengan orang-orang yang mereka temui dengan ucapan, “Ramadhan kariem. Kullu sanah wa antum thayyib. Ramadhan bulan penuh kemuliaan. Semoga Anda dalam keadaan baik sepanjang tahun.”
Letak geografis Mesir yang terletak di benua Afrika menyebabkan musim panas yang terjadi di sana bisa mencapai 35-40° celcius. Anda bisa membayangkan jika kebetulan Anda berpuasa Ramadhan di puncak musim panas yang siang harinya lebih panjang ketimbang malam harinya? Pada musim panas, lama waktu berpuasa di sana bisa mencapai 18 jam dengan cuaca yang sangat panas. Di sanalah kesabaran orang yang berpuasa di sana benar-benar diuji keimanannya.
Bagi orang Mesir bulan Ramadhan adalah ladang amal yang tak boleh disia-siakan begitu saja, sehingga mereka berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan sekecil apa pun itu, mulai dari bersedekah kurma hingga membagi-bagikan hidangan makanan atau menjamu orang yang berbuka puasa.
Biasanya bagi orang-orang kaya yang dermawan mereka akan membagi-bagikan hidangan makanan gratis di setiap penjuru jalanan. Hidangan gratis itu dikenal dengan istilah “Maidatur Rahman” (Hidangan dari Tuhan yang Maha Penyayang). Selain itu, sama halnya di Indonesia “Maidatur Rahman” bisa dijumpai di setiap masjid ketika menjelang waktu berbuka puasa.
Jika Anda berpuasa Ramadhan di Mesir, jangan Anda bayangkan akan mudah menemukan masjid yang cepat selesai shalawat tarawihnya seperti di Indonesia. Rata-rata imam salat tarawih di Mesir membaca satu juz Alquran dengan jumlah hitungan antara 11 dan 23 rakaat salat tarawih.
Satu hal pemandangan yang indah nuansa bulan Ramadhan di sana, kita akan menyaksikan orang-orang yang membawa mushaf Alquran dan asyik membacanya, baik di masjid maupun di tempat-tempat umum di jalanan, Metro, bus, halte, pasar, pertokoan. Membaca Alquran di jalanan bukanlah hal yang asing.
Dan tentunya kita juga akan sulit menemukan warung makan yang buka di siang hari di bulan Ramadhan, meskipun di sana juga terdapat penganut non-muslim Kristen Koptik yang berjumlah hampir 2% dari penduduk mayoritas muslim di Mesir.
Kristen Koptik di sana sangat menghormati saudaranya kaum muslimin yang berpuasa. Meskipun ada beberapa restauran yang buka, akan tetapi mereka tetap tertutup dan jauh dari pandangan publik. Beginilah indahnya toleransi beragama yang dibangun atas dasar saling menghormati dan menghargai terhadap keyakinan agama masing-masing.
(rhs)