Kisah Nabi Musa dan Perempuan Cantik Pezina

Senin, 21 Mei 2018 - 16:59 WIB
Kisah Nabi Musa dan...
Kisah Nabi Musa dan Perempuan Cantik Pezina
A A A
PADA suatu senja yang lengang, seorang wanita Bani Israil berjalan terhuyung-huyung. Pakaiannya serba hitam menandakan bahwa ia berada dalam duka cita yang mencekam. Kerudungnya menangkup rapat hampir seluruh wajahnya. Tanpa rias muka atau perhiasan menempel di tubuhnya.

Kulit yang bersih, badan yang ramping dan roman mukanya yang ayu, tidak dapat menghapus kesan kepedihan yang tengah merusak hidupnya karna zina. Ia melangkah terseret-seret mendekati kediaman rumah Nabi Musa ‘alaihissalam (AS).

Diketuknya pintu pelan-pelan sambil mengucapkan salam. Maka terdengarlah ucapan dari dalam “Silakan masuk”. Perempuan cantik itu lalu berjalan masuk sambil kepalanya terus merunduk. Air matanya berderai tatkala ia berkata: “Wahai Nabi Allah. Tolonglah saya, doakan saya agar Tuhan berkenan mengampuni dosa keji saya.”

“Apakah dosamu ?” tanya Nabi Musa terkejut. “Saya takut mengatakannya. ” jawab wanita cantik itu.

“Katakanlah jangan ragu-ragu!” desak Nabi Musa. Maka perempuan itupun terpatah bercerita, “Saya telah berzina,”

Mendengar itu, kepala Nabi Musa terangkat, hatinya tersentak. Perempuan itu meneruskan, “Dari perzinaan itu saya pun hamil, setelah anak itu lahir, langsung saya cekik lehernya sampai tewas,” ucap wanita itu seraya menangis sejadi-jadinya.

Nabi Musa berapi-api matanya. Dengan muka berang ia menghardik,” Perempuan bejad, enyah kamu dari sini! Agar siksa Allah tidak jatuh ke dalam rumahku karena perbuatanmu. Pergi!” teriak Nabi Musa sambil memalingkan matanya karena jijik.

Perempuan berwajah ayu dengan hati bagaikan kaca membentur batu, hancur luluh segera bangkit dan melangkah surut. Dia terantuk-antuk ke luar dari dalam rumah Nabi Musa. Ratap tangisnya amat memilukan. Ia tak tahu harus kemana lagi hendak mengadu.

Bahkan ia tak tahu mau dibawa kemana lagi kaki-kakinya. Bila seorang Nabi saja sudah menolaknya, bagaimana pula manusia lain bakal menerimanya? Terbayang olehnya betapa besar dosanya, betapa jahat perbuatannya.

Malaikat Jibril pun turun mendatangi Nabi Musa. Sang Ruhul Amin Jibril lalu bertanya, “Mengapa engkau menolak seorang wanita yang hendak bertobat dari dosanya? Tidakkah engkau tahu dosa yang lebih besar daripadanya? ” Nabi Musa pun terperanjat. “Dosa apakah yang lebih besar dari kekejian wanita pezina dan pembunuh itu?” Maka Nabi Musa dengan penuh rasa ingin tahu bertanya kepada Jibril.

“Betulkah ada dosa yang lebih besar dari pada perempuan yang nista itu?” tanyanya. ”Ada!” jawab Jibril dengan tegas. “Dosa apakah itu?” tanya Musa kian penasaran.

Jibril menjawab: “Orang yang meninggalkan salat dengan sengaja dan tanpa menyesal. Orang itu dosanya lebih besar dari pada seribu kali berzina”.

Sambil terkaget mendengar penjelasan ini, Nabi Musa kemudian memanggil wanita tadi untuk menghadap kembali kepadanya. Ia mengangkat tangan dengan khusuk untuk memohonkan ampunan kepada Allah untuk perempuan tersebut.

Nabi Musa menyadari, orang yang meninggalkan salat dengan sengaja dan tanpa penyesalan adalah sama saja seperti berpendapat bahwa salat itu tidak wajib dan tidak perlu atas dirinya. Berarti ia seakan-akan menganggap remeh perintah Tuhan, bahkan seolah-olah menganggap Tuhan tidak punya hak untuk mengatur dan memerintah hamba-Nya.

Sedang orang yang bertobat dan menyesali dosanya dengan sungguh-sungguh berarti masih mempunyai iman di dadanya dan yakin bahwa Allah itu berada di jalan ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya Tuhan pasti mau menerima kedatangannya.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (rahimahullah) mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan salat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, halaman 7)

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa orang yang meninggalkan salat, sehingga terlewat waktu, kemudian ia mengqadanya, maka ia akan disiksa dalam neraka selama satu huqub. Satu huqub adalah 80 tahun. Satu tahun terdiri dari 360 hari, sedangkan satu hari di akhirat perbandingannya adalah 1000 tahun di dunia.

Sumber:
Dikutip dari Buku 30 Kisah Teladan karya KH Abdurrahman Arroisy
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1395 seconds (0.1#10.140)