Salat Tarawih Terlalu Cepat? Ini Penjelasan Ustaz Somad

Senin, 28 Mei 2018 - 21:19 WIB
Salat Tarawih Terlalu...
Salat Tarawih Terlalu Cepat? Ini Penjelasan Ustaz Somad
A A A
Pertanyaan:
Apa hukum melaksanakan salat Tarawih terlalu cepat?

Jawaban:
Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dinyatakan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Siapa yang melaksanakan Qiyamullail di bulan Ramadhan karena keimanan dan hanya mengharapkan balasan dari Allah Swt, maka diampuni dosanya yang telah lalu”. Allah Swt mensyariatkan puasa di siang hari bulan Ramadhan dan lewat lidah nabi-Nya Ia syariatkan Qiyamullail di malam bulan Ramadhan.

Qiyamullail ini dijadikan sebagai penyebab kesucian dari dosa dan kesalahan. Akan tetapi Qiyamullail yang dapat mengampuni dosa dan membersihkan dari noda adalah yang dilaksanakan seorang muslim dengan sempurna syarat-syarat, rukun-rukum, adab dan batasannya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa thuma’ninah adalah salah satu rukum dari rukun salat, sama seperti membaca al-Fatihah, ruku’ dan sujud. Ketika seseorang melaksanakan salat dengan cara yang tidak baik di hadapan Rasulullah Saw, tidak melakukan thuma’ninah, Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Kembalilah, salatlah kembali, karena sesungguhnya engkau belum salat”.

Kemudian Rasulullah SAW mengajarkan bagaimana shalat yang diterima Allah Swt seraya berkata: “Ruku’lah hingga engkau thuma’ninah dalam ruku’, kemudian bangkitlah hingga engkau i’tidal berdiri. Kemudian sujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam sujud. Kemudian bangkitlah hingga thuma’ninah dalam keadaan duduk. Kemudian lakukanlah itu dalam semua salatmu”. (HR. Al-Bukhari, Muslim dan para penyusun kitab as-Sunan, dari hadits Abu Hurairah ra).

Thuma’ninah dalam semua rukun adalah syarat yang mesti ada. Batasan thuma’ninah yang disyaratkan, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama menetapkan kadar thuma’ninah minimal satu kali Tasbih, misalnya seperti mengucapkan kalimat: “Subhana rabbiyal a'la” (Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi).

Sebagian ulama seperti Imam Ibnu Taimiah mensyaratkan kadar Thuma’ninah dalam ruku’ dan sujud kira-kira tiga kali Tasbih. Dalam hadits disebutkan bahwa membaca Tasbih tiga kali dan itu adalah batas minimal, oleh sebab itu mesti ada thuma’ninah kira-kira tiga kali Tasbih. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya”. (Qs. Al-Mu’minun [23]: 1-2).

Khusyu’ itu ada 2 Jenis:
1. Khusyu’ tubuh adalah tenangnya tubuh dan tidak melakukan perbuatan sia-sia, tidak menoleh seperti menolehnya srigala. Tidak ruku’ dan sujud seperti patokan ayam. Akan tetapi melaksanakan shalat dengan rukun-rukun dan batasan-batasan sebagaimana yang disyariatkan Allah Swt. Oleh sebab itu mesti ada khusyu’ tubuh dan khusyu’ hati.

2. Khusyu’ hati adalah menghadirkan keagungan Allah Swt, yaitu dengan merenungkan makna ayat-ayat yang dibaca, mengingat akhirat, mengingat sedang berada di hadapan Allah Swt. Allah Swt berfirman dalam sebuah hadits Qudsi, “Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Ketika seorang hamba mengucapkan: “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 2). Allah Swt menjawab: “Hamba-Ku memuji-Ku”.

Ketika hamba itu mengucapkan: “Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Qs. Al-Fatihah [2]: 3). Allah Swt menjawab: “Hamba-Ku memuji-Ku”.

Ketika hamba itu mengucapkan: “Yang menguasai di hari Pembalasan”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 4). Allah Swt menjawab: “Hamba-Ku memuliakan-Ku”.

Ketika hamba itu mengucapkan: “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 5). Allah Swt menjawab: “Ini antara Aku dan hamba-Ku. Hamba-Ku mendapatkan apa yang ia mohonkan”.

Ketika hamba itu mengucapkan: “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 6-7). Allah Swt menjawab: “Ini untuk hamba-Ku dan hamba-Ku mendapatkan apa yang ia mohonkan”. (HR. Muslim).

Allah Swt tidak terasing dari orang yang sedang melaksanakan salat. Allah Swt memperkenankan permohonannya, oleh sebab itu mesti ada interaksi antara orang yang shalat dengan Allah Swt. Menghadirkan hati dalam setiap gerakan salat, dalam setiap waktu salat dan dalam setiap rukun salat.

Orang-orang yang salat dan hanya memikirkan ingin segera selesai melaksanakan salat dan melemparkan salat seakan-akan salat itu beban berat di pundak mereka, bukanlah itu salat yang diharapkan. Banyak orang yang melaksanakan salat pada bulan Ramadhan sebanyak dua puluh rakaat dan dua puluh tiga rakaat dalam hitungan beberapa menit saja. Yang mereka inginkan hanyalah cepat menyelesaikan shalat dalam waktu sesingkat mungkin. Tidak sempurna ruku’, sujud dan khusyu’nya.

Ini sama seperti yang disebutkan dalam hadits: “Salat itu naik ke langit dalam keadaan hitam pekat. Ia berkata kepada pemiliknya, “Engkau disia-siakan Allah Swt sebagaimana engkau telah menyia-nyiakanku”. Salat yang khusyu’ dan tenang akan naik ke langit dalam keadaan putih bercahaya, ia akan berkata kepada pemiliknya, “Semoga Allah Swt menjagamu sebagaimana engkau telah menjagaku”.

Nasihat saya kepada para imam dan mereka yang melaksanakan salat dengan jumlah rakaat yang banyak akan tetapi tidak dengan cara yang benar, tidak khusyu’, tidak menghadirkan hati dan tidak dengan ketenangan tubuh. Sebaiknya mereka melaksanakan delapan rakaat dengan tenang dan khusyu’, itu lebih baik daripada dua puluh rakaat. Yang dilihat bukanlah kuantitas dan banyaknya.

Akan tetapi yang dilihat adalah cara dan sifatnya. Yang dinilai adalah salat itu sendiri, apakah salat yang dilaksanakan oleh orang-orang yang khusyu’ atau salat orang yang tergesa-gesa. Kita memohon kepada Allah Swt semoga menjadikan kita tergolong orang-orang beriman yang khusyu’. (Fatwa Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi).

(Dikutip dari Buku “30 Fatwa Seputar Ramadhan” yang disusun Ustaz Abdul Somad. Ustaz Abdul Somad memilih fatwa tiga ulama besar al-Azhar; Syekh ‘Athiyyah Shaqar, Syekh DR Yusuf al-Qaradhawi dan Syekh DR Ali Jum’ah, karena keilmuan dan manhaj al-Washatiyyah (moderat) yang mereka terapkan dalam fatwanya)
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1208 seconds (0.1#10.140)