Kapan Terjadinya Malam Lailatul Qadar?
A
A
A
Ustaz Dr Miftah el-Banjary
Pakar Linguistik Arab Lulusan Institute of Arab Studies Cairo-Mesir
Di dalam Alquran, Allah Swt tidak menjelaskan secara eksplisit kapan terjadinya malam lailatul qadar itu secara pasti. Allah memang sengaja merahasiakan turunnya malam lailatul qadar pada setiap tahun di bulan Ramadhan. Hikmah dirahasiakan turunnnya malam mulia itu setiap tahunnya agar setiap orang mukmin bersungguh-sungguh menantikan dan memperolehnya sejak awal Ramadhan hingga akhirnya.
Ketiadaan informasi yang jelas tentang kapan turunnya malam keutamaan itu, bukan berarti tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Para golongan ‘arifin, para ulama serta orang-orang mukmin yang memang terpilih mampu mengenali malam yang bertepatan lailatul qadar melalui pertandanya. Mereka dapat mengenali sejumlah tanda-tanda yang memang secara implisit disebutkan sejumlah keterangan dari hadis-hadis nabi SAW.
Bahkan sejumlah golongan arifin mampu memprediksikan terjadinya malam lailatul qadar itu berdasarkan pengalaman empiris dan pengetahuan mukasyafah yang Allah karuniakan melalui kebersihan hati mereka. Di antara sejumlah tokoh ulama besar yang mampu memperkirakan terjadinya malam lailatul qadar tersebut adalah Ibnu Abbas, Ibnu Araby Syekh Abdul, Imam al-Ghazali, Imam as-Syadzili dan sejumlah tokoh sufi lainnya.
Sebagian para ulama ada yang menyatakan terjadinya pada malam 21 Ramadhan. Namun, ada pula sejumlah ulama yang memberikan kepastian berdasarkan pengalaman spritual mereka. Ibnu Abbas misalnya, beliau menyatakan tafsiran beliau terhadap surah al-Qadr bahwa maksud malam lailatul qadar yang dimaksud terjadinya pada malam 27 Ramadhan.
Sedangkan para kalangan sufi, seperti Imam Ghazali, Ibnu Araby, dan Imam as-Syadzili malah mampu membuat semacam kaidah rumus prediksi terjadinya malam lailatul qadar berdasarkan hari dimulainya awal bulan Ramadhan. Keterangan kaidah perumusan tersebut dapat ditemui pada keterangan Kitab Hasyiah Baijury, Tuhfah as-Syarwany wal Jamal dan ‘Inatut Thalibin.
Ada kesamaan kaidah antara al-Imam al-Ghazali dan Imam as-Syadzili dalam menentukan malam terjadinya lailatul qadar, menurut perhitungannya: “Jika awal puasa dimulai hari Ahad, maka ia jatuh pada malam ke-[29], jika pada hari Senin [21], Selasa [27], Rabu [19], Kamis [25], Jum’at [17], Sabtu [23].”
Sedangkan ada perbedaan dengan prediksi Ibnu Araby yang menurutnya, “Jika awal puasa dimulai pada hari ahad, maka malam lailatul qadar jatuh pada malam ke-[27] hari Senin [19], Selasa [25], Rabu [17], Jum’at [29], Sabtu [21].” Sedangkan jika terjadinya awal puasa pada hari kamis, Ibnu Araby tidak memberikan angka kepastian yang jelas, melainkan hanya memberikan batasan terjadinya pada malam-malam ganjil pada malam sepuluh terakhir bulan Ramadhan.
Menurut keterangan di dalam kitab Sulamul Futuhat terdapat perbedaan lagi, “Jika Ahad [27], Senin [29], Selasa [25], Rabu [27], Kamis [21], Jum’at [29], Sabtu [21].”
Sedangkan menurut keterangan Syekh Ali bin Abdurrahman al-Kalantani di di dalam kitab Jauhur al-Mauhub menyebutkan jika awal puasa dimulai pada hari Ahad, maka malam lailatul qadar jatuh pada malam ke-[27], Senin [29], Selasa [25], Rabu [27] Kamis [21], Sabtu [21], di sana tidak disebutkan hari Jumat. Imam Nawawi pun memiliki kaidah yang sedikit berbeda, menurut beliau pada hari Ahad [29] Senin [21] Selasa [27] Rabu [29] Kamis [25] Jum’at [27] Sabtu [23].
Menurut Imam Ghazali di dalam kitab Mukasyafatul Qulub, malam lailatul qadar itu dapat diketahui dari sejumlah pertanda fenomena alam. Di antaranya pada malam itu, suasana cerah, hening dan nyaman, tidak dingin dan tidak pula panas, tidak pula hujan, atau gerimis. Bintang-bintang bersinar gemerlapan. Pada pagi harinya, matahari bersinar agak redup, disebabkan kepakan sayap malaikat yang turun naik silih berganti hingga fajar.
Tujuan utama kita beribadah semata-mata mengharapkan ridha-Nya, bukan semata malam lailatul qadar. Keutamaan lailatul qadar hanya bonus. Syukur kita jika memperoleh keutamannya. Hal yang terpenting yang diajarkan oleh Rasulullullah ketika kita menemui malam mulia itu hendaknya berdoa. “Allahumma inni as’aluka ridhaka wal jannah, wa ‘azubika min sakhatika wannar. Ya Allah, aku meminta ridha-Mu dan surga-Mu dan aku berlindung dari azab api kemurkaan-Mu.”
Pakar Linguistik Arab Lulusan Institute of Arab Studies Cairo-Mesir
Di dalam Alquran, Allah Swt tidak menjelaskan secara eksplisit kapan terjadinya malam lailatul qadar itu secara pasti. Allah memang sengaja merahasiakan turunnya malam lailatul qadar pada setiap tahun di bulan Ramadhan. Hikmah dirahasiakan turunnnya malam mulia itu setiap tahunnya agar setiap orang mukmin bersungguh-sungguh menantikan dan memperolehnya sejak awal Ramadhan hingga akhirnya.
Ketiadaan informasi yang jelas tentang kapan turunnya malam keutamaan itu, bukan berarti tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Para golongan ‘arifin, para ulama serta orang-orang mukmin yang memang terpilih mampu mengenali malam yang bertepatan lailatul qadar melalui pertandanya. Mereka dapat mengenali sejumlah tanda-tanda yang memang secara implisit disebutkan sejumlah keterangan dari hadis-hadis nabi SAW.
Bahkan sejumlah golongan arifin mampu memprediksikan terjadinya malam lailatul qadar itu berdasarkan pengalaman empiris dan pengetahuan mukasyafah yang Allah karuniakan melalui kebersihan hati mereka. Di antara sejumlah tokoh ulama besar yang mampu memperkirakan terjadinya malam lailatul qadar tersebut adalah Ibnu Abbas, Ibnu Araby Syekh Abdul, Imam al-Ghazali, Imam as-Syadzili dan sejumlah tokoh sufi lainnya.
Sebagian para ulama ada yang menyatakan terjadinya pada malam 21 Ramadhan. Namun, ada pula sejumlah ulama yang memberikan kepastian berdasarkan pengalaman spritual mereka. Ibnu Abbas misalnya, beliau menyatakan tafsiran beliau terhadap surah al-Qadr bahwa maksud malam lailatul qadar yang dimaksud terjadinya pada malam 27 Ramadhan.
Sedangkan para kalangan sufi, seperti Imam Ghazali, Ibnu Araby, dan Imam as-Syadzili malah mampu membuat semacam kaidah rumus prediksi terjadinya malam lailatul qadar berdasarkan hari dimulainya awal bulan Ramadhan. Keterangan kaidah perumusan tersebut dapat ditemui pada keterangan Kitab Hasyiah Baijury, Tuhfah as-Syarwany wal Jamal dan ‘Inatut Thalibin.
Ada kesamaan kaidah antara al-Imam al-Ghazali dan Imam as-Syadzili dalam menentukan malam terjadinya lailatul qadar, menurut perhitungannya: “Jika awal puasa dimulai hari Ahad, maka ia jatuh pada malam ke-[29], jika pada hari Senin [21], Selasa [27], Rabu [19], Kamis [25], Jum’at [17], Sabtu [23].”
Sedangkan ada perbedaan dengan prediksi Ibnu Araby yang menurutnya, “Jika awal puasa dimulai pada hari ahad, maka malam lailatul qadar jatuh pada malam ke-[27] hari Senin [19], Selasa [25], Rabu [17], Jum’at [29], Sabtu [21].” Sedangkan jika terjadinya awal puasa pada hari kamis, Ibnu Araby tidak memberikan angka kepastian yang jelas, melainkan hanya memberikan batasan terjadinya pada malam-malam ganjil pada malam sepuluh terakhir bulan Ramadhan.
Menurut keterangan di dalam kitab Sulamul Futuhat terdapat perbedaan lagi, “Jika Ahad [27], Senin [29], Selasa [25], Rabu [27], Kamis [21], Jum’at [29], Sabtu [21].”
Sedangkan menurut keterangan Syekh Ali bin Abdurrahman al-Kalantani di di dalam kitab Jauhur al-Mauhub menyebutkan jika awal puasa dimulai pada hari Ahad, maka malam lailatul qadar jatuh pada malam ke-[27], Senin [29], Selasa [25], Rabu [27] Kamis [21], Sabtu [21], di sana tidak disebutkan hari Jumat. Imam Nawawi pun memiliki kaidah yang sedikit berbeda, menurut beliau pada hari Ahad [29] Senin [21] Selasa [27] Rabu [29] Kamis [25] Jum’at [27] Sabtu [23].
Menurut Imam Ghazali di dalam kitab Mukasyafatul Qulub, malam lailatul qadar itu dapat diketahui dari sejumlah pertanda fenomena alam. Di antaranya pada malam itu, suasana cerah, hening dan nyaman, tidak dingin dan tidak pula panas, tidak pula hujan, atau gerimis. Bintang-bintang bersinar gemerlapan. Pada pagi harinya, matahari bersinar agak redup, disebabkan kepakan sayap malaikat yang turun naik silih berganti hingga fajar.
Tujuan utama kita beribadah semata-mata mengharapkan ridha-Nya, bukan semata malam lailatul qadar. Keutamaan lailatul qadar hanya bonus. Syukur kita jika memperoleh keutamannya. Hal yang terpenting yang diajarkan oleh Rasulullullah ketika kita menemui malam mulia itu hendaknya berdoa. “Allahumma inni as’aluka ridhaka wal jannah, wa ‘azubika min sakhatika wannar. Ya Allah, aku meminta ridha-Mu dan surga-Mu dan aku berlindung dari azab api kemurkaan-Mu.”
(rhs)