Tradisi Berpuasa Umat Muslim di Negeri Macau
A
A
A
Bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat dinanti karena pahala yang berlipat ganda ketika seorang muslim melaksanakan ibadah di bulan ini. Menjalankan puasa di bulan Ramadhan adalah kewajiban bagi umat Islam di seluruh dunia.
Tentu saja sudah tidak terhitung lagi cerita tentang orang-orang yang berpuasa di sini. Namun, yang menarik adalah bagaimana ketika mereka yang beragama Islam harus menunaikan ibadah puasa di negeri orang yang penganut agama Islamnya tak sebanyak di Indonesia.
Meski jaraknya tak terlalu jauh dari tanah air, namun tetap saja sulit menyamakan suasana puasa di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim dengan negara di belahan Asia lainnya.
Di Indonesia, kebersamaan menjadi kata kunci. Ya, Ramadhan biasanya selalu dikaitkan dengan suasana guyub. Buka bersama, sahur bersama, mempererat simpul kekeluargaan maupun pertemanan dalam jalinan silaturrahim. Apa jadinya kalau kemudian kita menjalani puasa di negeri orang, apalagi di negara yang muslimnya minoritas seperti Macau?
Negara bagian Macau bisa dikatakan menjadi contoh negara yang begitu toleran memberikan kebebasan penganut agama lain untuk menjalankan ibadahnya tanpa ada rasa takut. Toleransi antarumat beragama disini begitu dijamin dan membuat nyaman termasuk warganegara Indonesia yang berdomisili di Macau.
SINDO pun berkesempatan langsung melihat dari dekat tradisi atau kebiasaan umat muslim asal Indonesia yang berdomisili di Macau. Public Relations Executive Macao Government Tourism Office, Vicente Domingos Pereira Countinho mengatakan sebenarnya, di Macau waktu puasa hampir serupa dengan Indonesia.
Menurut sepengetahuannya, tidak ada larangan, tapi tidak ada penyesuaian jam kerja seperti halnya pekerja di Tanah Air. Pemerintahan China yang 'mengendalikan' Macau, Shanghai dan Hong Kong, tidak memberikan keistimewaan pada muslim yang berpuasa saat bekerja.
"Saya kira hampir sama aturan puasa disini (macau) dengan di Indonesia dimana dipersilakan (puasa), tergantung kita menjalaninya saat kerja yang beda hanya jadwal buka yang beda satu jam," katanya.
Vicente pun mengantarkan rekan jurnalis yang ingin beribadah salat sekaligus melihat langsung aktivitas umat muslim di Macau di sebuah masjid tua di kawasan Jalan Ramal dos Mouros, Macau.
Kondisi jalan raya yang ramai dan agak gerimis siang itu tak menyurutkan kami untuk melihat langsung masjid tersebut meski pengemudi kendaraan roda empat lain memacu kendaraannya dengan cepat, meski beberapa pengemudi memarkir kendaraannya di sisi kiri bahu jalan.
Tibalah kami di lokasi masjid dimana sebuah gapura putih besar yang merupakan pintu masuk menuju kawasan masjid pun menyambut kehadiran kami. Pada gapura itu tertera tulisan Macau Mosque and Cemetery dan Mesquita E Cemeterio de Macau warna hijau dengan huruf kapital. Tempat itu merupakan satu-satunya masjid dan tempat pemakaman muslim di Macau.
Gerimis pun mulai turun agak deras saat pria pemilik nama lengkap Vicente Domingos Pereira Countinho ini mengantarkan ke masjid. Jika dibandingkan dengan gedung-gedung pencakar langit yang berada di Macau, lokasi masjid dan pemakaman terbilang sangat sederhana, meski memiliki halaman yang cukup luas.
Selain masjid ada beberapa bangunan yang berada di sana, kamar mandi, sekretariat (tempat imam istirahat), tempat masak, dan tempat pemandian jenazah. Ada juga tempat wudhu untuk jemaah laki-laki dan perempuan. Di sebelah kanan masjid, terdapat lokasi pemakaman.
"Rencana akan dibangun masjid yang lebih besar di sini, tapi belum ada kelanjutannya. Di sebelah kanan ada sekitar 200 makam," ujar Abdul Halim, pekerja asal Indonesia, yang telah 10 tahun tinggal di Macau.
Selain masjid ada beberapa bangunan yang berada di sana, kamar mandi, sekretariat (tempat imam istirahat), tempat masak, dan tempat pemandian jenazah. Ada juga tempat wudhu untuk jamaah laki-laki dan perempuan. Di sebelah kanan masjid, terdapat lokasi pemakaman.
Adapun tentang sejarah Masjid Macau tersebut, saat SINDO menanyakan pada Abdul Karem, lelaki asal Pakistan yang lama tinggal di Macau tak tahu pasti mengenai kapan masjid itu dibangun. Namun, tempat ini sudah ada sekitar 200 tahun yang lalu.
"Tempat ini awalnya merupakan kamp tentara muslim yang kemudian diubah menjadi masjid. Ini merupakan masjid satu-satunya di Macau," jelas Karem usai menunaikan salat zuhur.
Hal senada diungkapkan Abdul Halim. Ia tahu keberadaan Masjid Macau dari cerita imam masjid asal Timor Timur yang merantau di Macau yang sudah meninggal dunia. "Pada 1970 tempat ini awalnya wisma polisi. Dua perantau asal Timor Timur yang sempat menjadi imam di sini namanya Abah Yunus dan Uncle Karim, kakak beradik. Kami di sini menyebut dengan panggilan itu," ungkap Halim.
Kurang lebih selama hampir 6 tahun terakhir, masjid ini tak punya imam tetap setelah wafatnya Uncle Karim. September 2018 masjid ini baru punya imam tetap, namanya Mohammad Ramadhan, asal Mongolia.
"Selama 6 tahun, masjid ini tak ada kegiatan apa-apa. Jadi, imam salatnya siapa saja. Tapi untuk salat Jumat, imamnya selalu dikirim dari Hong Kong. Satu jam sebelum Jumat, imam tersebut datang, setelah Jumat, dia pulang," ucap Halim.
Mayoritas mereka yang datang ke masjid ini berasal dari Indonesia yang bekerja di Macau, warga Pakistan, dan beberapa dari China. Berbeda dengan hari biasa sekitar 10 orang, tapi saat tarawih bisa mencapai 100 orang.
Kawasan Macau mulai gelap saat waktu menunjukan pukul 19.00 waktu setempat (selisih satu jam dengan Indonesia), tepat saat berbuka puasa. Di meja besar panjang, sejumlah hidangan tersedia. Mulai dari buah-buahan, susu, dan teri tepung. Lebih dari 15 orang tampak menyantap makanan dan menariknya hidangan itu disuguhkan oleh orang Pakistan.
"Makanan berbuka puasa itu yang menyediakan orang-orang Pakistan. Kami kadang-kadang ikut membantu dalam menyiapkan segala keperluan untuk makanan atau takjil buat buka bersama," ujar Abul Halim.
Salah seorang dari mereka yang merupakan warga dari Pakistan menyodorkan sepiring buah dan segelas susu. Suasana Ramadhan sangat terasa dengan saling memberi. Mereka kemudian salat Magrib dilanjutkan salat Isya dan tarawih.
Tentu saja sudah tidak terhitung lagi cerita tentang orang-orang yang berpuasa di sini. Namun, yang menarik adalah bagaimana ketika mereka yang beragama Islam harus menunaikan ibadah puasa di negeri orang yang penganut agama Islamnya tak sebanyak di Indonesia.
Meski jaraknya tak terlalu jauh dari tanah air, namun tetap saja sulit menyamakan suasana puasa di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim dengan negara di belahan Asia lainnya.
Di Indonesia, kebersamaan menjadi kata kunci. Ya, Ramadhan biasanya selalu dikaitkan dengan suasana guyub. Buka bersama, sahur bersama, mempererat simpul kekeluargaan maupun pertemanan dalam jalinan silaturrahim. Apa jadinya kalau kemudian kita menjalani puasa di negeri orang, apalagi di negara yang muslimnya minoritas seperti Macau?
Negara bagian Macau bisa dikatakan menjadi contoh negara yang begitu toleran memberikan kebebasan penganut agama lain untuk menjalankan ibadahnya tanpa ada rasa takut. Toleransi antarumat beragama disini begitu dijamin dan membuat nyaman termasuk warganegara Indonesia yang berdomisili di Macau.
SINDO pun berkesempatan langsung melihat dari dekat tradisi atau kebiasaan umat muslim asal Indonesia yang berdomisili di Macau. Public Relations Executive Macao Government Tourism Office, Vicente Domingos Pereira Countinho mengatakan sebenarnya, di Macau waktu puasa hampir serupa dengan Indonesia.
Menurut sepengetahuannya, tidak ada larangan, tapi tidak ada penyesuaian jam kerja seperti halnya pekerja di Tanah Air. Pemerintahan China yang 'mengendalikan' Macau, Shanghai dan Hong Kong, tidak memberikan keistimewaan pada muslim yang berpuasa saat bekerja.
"Saya kira hampir sama aturan puasa disini (macau) dengan di Indonesia dimana dipersilakan (puasa), tergantung kita menjalaninya saat kerja yang beda hanya jadwal buka yang beda satu jam," katanya.
Vicente pun mengantarkan rekan jurnalis yang ingin beribadah salat sekaligus melihat langsung aktivitas umat muslim di Macau di sebuah masjid tua di kawasan Jalan Ramal dos Mouros, Macau.
Kondisi jalan raya yang ramai dan agak gerimis siang itu tak menyurutkan kami untuk melihat langsung masjid tersebut meski pengemudi kendaraan roda empat lain memacu kendaraannya dengan cepat, meski beberapa pengemudi memarkir kendaraannya di sisi kiri bahu jalan.
Tibalah kami di lokasi masjid dimana sebuah gapura putih besar yang merupakan pintu masuk menuju kawasan masjid pun menyambut kehadiran kami. Pada gapura itu tertera tulisan Macau Mosque and Cemetery dan Mesquita E Cemeterio de Macau warna hijau dengan huruf kapital. Tempat itu merupakan satu-satunya masjid dan tempat pemakaman muslim di Macau.
Gerimis pun mulai turun agak deras saat pria pemilik nama lengkap Vicente Domingos Pereira Countinho ini mengantarkan ke masjid. Jika dibandingkan dengan gedung-gedung pencakar langit yang berada di Macau, lokasi masjid dan pemakaman terbilang sangat sederhana, meski memiliki halaman yang cukup luas.
Selain masjid ada beberapa bangunan yang berada di sana, kamar mandi, sekretariat (tempat imam istirahat), tempat masak, dan tempat pemandian jenazah. Ada juga tempat wudhu untuk jemaah laki-laki dan perempuan. Di sebelah kanan masjid, terdapat lokasi pemakaman.
"Rencana akan dibangun masjid yang lebih besar di sini, tapi belum ada kelanjutannya. Di sebelah kanan ada sekitar 200 makam," ujar Abdul Halim, pekerja asal Indonesia, yang telah 10 tahun tinggal di Macau.
Selain masjid ada beberapa bangunan yang berada di sana, kamar mandi, sekretariat (tempat imam istirahat), tempat masak, dan tempat pemandian jenazah. Ada juga tempat wudhu untuk jamaah laki-laki dan perempuan. Di sebelah kanan masjid, terdapat lokasi pemakaman.
Adapun tentang sejarah Masjid Macau tersebut, saat SINDO menanyakan pada Abdul Karem, lelaki asal Pakistan yang lama tinggal di Macau tak tahu pasti mengenai kapan masjid itu dibangun. Namun, tempat ini sudah ada sekitar 200 tahun yang lalu.
"Tempat ini awalnya merupakan kamp tentara muslim yang kemudian diubah menjadi masjid. Ini merupakan masjid satu-satunya di Macau," jelas Karem usai menunaikan salat zuhur.
Hal senada diungkapkan Abdul Halim. Ia tahu keberadaan Masjid Macau dari cerita imam masjid asal Timor Timur yang merantau di Macau yang sudah meninggal dunia. "Pada 1970 tempat ini awalnya wisma polisi. Dua perantau asal Timor Timur yang sempat menjadi imam di sini namanya Abah Yunus dan Uncle Karim, kakak beradik. Kami di sini menyebut dengan panggilan itu," ungkap Halim.
Kurang lebih selama hampir 6 tahun terakhir, masjid ini tak punya imam tetap setelah wafatnya Uncle Karim. September 2018 masjid ini baru punya imam tetap, namanya Mohammad Ramadhan, asal Mongolia.
"Selama 6 tahun, masjid ini tak ada kegiatan apa-apa. Jadi, imam salatnya siapa saja. Tapi untuk salat Jumat, imamnya selalu dikirim dari Hong Kong. Satu jam sebelum Jumat, imam tersebut datang, setelah Jumat, dia pulang," ucap Halim.
Mayoritas mereka yang datang ke masjid ini berasal dari Indonesia yang bekerja di Macau, warga Pakistan, dan beberapa dari China. Berbeda dengan hari biasa sekitar 10 orang, tapi saat tarawih bisa mencapai 100 orang.
Kawasan Macau mulai gelap saat waktu menunjukan pukul 19.00 waktu setempat (selisih satu jam dengan Indonesia), tepat saat berbuka puasa. Di meja besar panjang, sejumlah hidangan tersedia. Mulai dari buah-buahan, susu, dan teri tepung. Lebih dari 15 orang tampak menyantap makanan dan menariknya hidangan itu disuguhkan oleh orang Pakistan.
"Makanan berbuka puasa itu yang menyediakan orang-orang Pakistan. Kami kadang-kadang ikut membantu dalam menyiapkan segala keperluan untuk makanan atau takjil buat buka bersama," ujar Abul Halim.
Salah seorang dari mereka yang merupakan warga dari Pakistan menyodorkan sepiring buah dan segelas susu. Suasana Ramadhan sangat terasa dengan saling memberi. Mereka kemudian salat Magrib dilanjutkan salat Isya dan tarawih.
(rhs)