Islam Itu Cinta

Kamis, 30 Mei 2019 - 08:01 WIB
Islam Itu Cinta
Islam Itu Cinta
A A A
Muhammad Sabri
Direktur Pengkajian Materi BPIP RI

Tak pernah ada beda yang bisa ditakar, tentu. Itulah yang dipakai orang, misalnya, untuk mengukur beda antara waktu dan kekekalan, antara manusia dan sang Pencipta, antara aneka warna dan kebeningan.

Beda itu begitu paripurna, begitu radikal, begitu total, hingga Yang Maha Lain tak dapat dirumuskan, tak dapat dicakapkan, hanya dapat disebut lamat-lamat dalam kesenyapan yang sunyi. Alqur'an pun menggetarkannya dalam diksi yang hati-hati: "Dan tak satu pun menyamai-Nya" (QS Al-Ikhlas:4).
Demikianlah, agama, selalu bermuasal dari ikhwal Yang Maha Sunyi, yang numinous dan berakhir pada konstruksi. Frithjof Schuon --genius terbesar tradisi Philosophia Perennis Abad ke-20-- dalam The Transcendent Unity of Religions (1976), mengandaikan agama dalam dua paras: esoterik dan eksoterik.

Jika yang pertama menampilkan sisi agama yang transenden, infinitum, "langit", dan tak tercakapkan. Yang terakhir meletakkan agama sebagai yang historis, mempesona, penuh warna, "bumi", dan taksa. (Baca Juga: Perjalanan Cinta Burung-burung dalam Manthiq Al-Thayr)

Tapi ada keanehan yang mengalir deras dalam diri yang sublim: Yang Maha Sunyi, merupakan bagian terpenting dari "harapan" dan juga "ketakutan" di sudut yang paling ganjil dan asing, seolah Dia dikenal begitu karib. Tak begitu jelas bagaimana nama-Nya menjejak. Mugkin itu tanda bahwa yang transenden melintasi yang imanen, bahwa yang sakral menubuh dalam sejarah yang profan, acapkali lewat jalur "ulang-alik" bumi-langit.

Terkadang, kita coba menengok alur itu kembali, dan menyaksikan ada sebuah konstruksi, ada "identitas" yang menyeruak di sana sebagai tanda yang beku dalam waktu. Di titik ini kita lalu menyaksikan: antara argumen dan haluan terbentang sebilah garis, tapi tak selamanya detak kehidupan menepuh garis itu.

"Melati hadir tanpa 'kenapa', ia mekar karena mekar," begitu pendakuan Angelus Silesius. Begitu seterusnya, "hutan dan kesunyian, patung dan puing, ruang dan bunyi, kabut dan hujan adalah momen-momen yang hadir tanpa mesti membutuhkan argumen," gumam seorang penyair.

Lalu dimana letak otorita dan Tangan Tuhan di sana? "Tak ada", jawab kaum mistikus. Hanya Tuhan yang disangkakan sebagai "sosok", hanya Tuhan yang dirumuskan secara katagoris demikian yang butuh argumen dan arah. Dan sebab itu seolah Dia bergerak dalam ruang: tanpa kedahsyatan, tanpa amor dan horor yang bertaut. Mungkin itu sebabnya, agama selalu menyisakan sisinya yang misteri.

Beberapa tahun lalu, dua ormas Islam terbesar di Indonesia (Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah) telah menunaikan muktamarnya di Jombang dan Makassar, masing-masing mengusung tema "Islam Nusantara" dan "Islam Berkemajuan". Adakah yang mempesona dari tema itu?

Tema pertama ingin menegaskan satu hal: luhurnya sebuah identitas kultural, berikut ruang dan kebudayaan tipikal yang merengkuhnya untuk membedakannya, misalnya dengan Islam Persia, Islam Arabia, Islam Afrika, Islam Indo-Pakistan, Islam Cina, Islam Euro-America, dan seterusnya.

Sementara tema terakhir mengisyaratkan pentingnya Islam yang visioner, yang menghalau kejumudan, dan menggairahkan tajdid. Dalam visun Philosophia Perennis, kedua tema itu punya pesona, menampilkan aneka warna yang eksotik, tapi juga geliat "bumi" yang guyah.

Ia mempromosikan eksoterisme keislaman yang agung, meski membutuhkan subsidi jejak langit yang esoterik. Bukankah langit ibarat "roh" yang menghidupi semesta sementara bumi adalah "raga" yang merawat kehidupan?

Esoterisme Islam, sebab itu, adalah cahaya bening yang melesat cepat dan membentangkan kerahmatannya yang tak tepermanai bagi kemanusiaan. Tetapi cahaya itu terhenti ketika sisinya yang eksoteris hadir sebagai "identitas", yang menegaskan ruang, menekuk waktu, memapankan tradisi, dan membentangkan sebilah garis tegas antara argumen dan haluan.

Di sini kian tegas, tak ada totalitas yang bisa dirumuskan ketika yang transenden dan yang sakral merayapi sejarah. Tak ada juga totalitas yang bermakna. Sebab, bahasa, termasuk bahasa yang dipilih Tuhan, dikonstruksi oleh rongga dan keinginan yang mengandaikan adanya tegangan antara "langit" yang suci dan "bumi" yang labil.

Alegorisme perennial mengandaikan, setiap warna yang aneka dan mempesona, di dalam dirinya selalu berintikan "kebeningan". Di titik ini, perspektif perennial meniscayakan: di dalam jantung setiap agama dan tradisi otentik (the heart of religions) terdapat pesan kebenaran yang sama, yakni cinta. Dengan begitu, absah untuk mendakukan bahwa inti dari Islam adalah iman, sebagaimana jantung dari iman adalah cinta.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2599 seconds (0.1#10.140)