Kisah Rasulullah dan Jeruk Asam yang Patut Diteladani

Minggu, 10 November 2019 - 05:15 WIB
Kisah Rasulullah dan Jeruk Asam yang Patut Diteladani
Kisah Rasulullah dan Jeruk Asam yang Patut Diteladani
A A A
Ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya ibadah. Bahkan para ulama mengatakan, ruhnya amal adalah ikhlas.

Dalam Kitab Al-Hikam, Syeikh Ibnu Atho'illah As-Sakandari (wafat 1309), menceritakan salah satu akhlak mulia Nabi Muhammad shallalahu 'alaihi wa sallam (SAW). Beliau mengajarkan hakikat ikhlas yang begitu indah.

Alkisah, suatu hari saat Rasulullah SAW sedang berkumpul dengan beberapa sahabatnya. Datanglah seorang perempuan kafir membawa beberapa biji buah jeruk sebagai hadiah. Rasulullah menerimanya dengan senyuman gembira.

Lalu mulailah jeruk itu dimakan oleh Rasulullah SAW dengan tersenyum. Sebiji demi sebiji hingga habislah semua jeruk tersebut. Maka ketika perempuan itu meminta izin untuk pulang, maka salah seorang sahabat segera bertanya mengapa tidak sedikit pun Rasulullah menyisakan jeruk tadi untuk sahabat lainnya.

Rasulullah SAW pun menjawab: "Tahukah kamu, sebenarnya buah jeruk itu terlalu asam sewaktu Aku merasakannya pertama kali. Kalau kalian ikut makan, Aku takut ada di antara kalian yang akan mengernyitkan dahi atau memarahi perempuan tersebut. Aku takut hatinya akan tersinggung. Sebab itu Aku habiskan semuanya."

Akhlak yang agung seperti ini tidak dapat dipoles di permukaan, tetapi semata-mata karena ada cahaya ikhlas yang sudah tertanam di dalam hati. Sikap dan perilaku adalah cerminan hati. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Rasulullah SAW bersabda:

"Aku pernah bertanya kepada Jibril tentang ikhlas. Lalu Jibril berkata, 'Aku telah menanyakan hal itu kepada Allah', lalu Allah berfirman, '(Ikhlas) adalah salah satu dari rahasiaku, yang Aku berikan ke dalam hati orang-orang yang kucintai dari kalangan hamba-hamba-Ku".

Kata Syeikh Ibnu Atho'illah, tidak ada amal-amal yang agung dapat tegak kecuali Allah telah menanamkan cahaya ikhlas yang dapat menghidupkan amalnya. Amal adalah geraknya badan lahir atau hati. Amal itu digambarkan sebagai tubuh (jasad). Sedangkan ikhlas itu sebagai ruhnya. Badan tanpa ruh berarti mati.

Allah Ta'ala berfirman, "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus. (Al-Bayyinah: 5). Di ayat lain, "Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan (ikhlas) kepada-Nya. (Az-Zumar: 2).

Ikhlas itu bertingkat sesuai perbedaan orang yang beramal. Pertama, keikhlasan orang yang bersungguh-sungguh dalam ibadah adalah bersih dari pada riya' yang nampak maupun yang tersembunyi. Tujuan amal perbuatan mereka selalu hanya pahala yang dijanjikan oleh Allah kepada hamba-Nya, dan supaya diselamatkan dari neraka-Nya.

Kedua, keikhlasan orang-orang yang cinta kepada Allah. Ia beramal hanya karena mengagungkan Allah, karena hanya Allah Dzat yang wajib diagungkan, bukan karena pahala atau selamat dari siksa neraka. Perempuan sufi Robi'ah al-'Adawiyyah pernah bermunajat kepada Allah: "Ya Allah, aku beribadah kepadamu bukan karena takut nerakamu, dan juga tidak karena cinta dengan surgamu."

Ketiga, keikhlasan orang-orang yang sudah ma'rifat (mengenal) kepada Allah. Mereka selalu melihat kepada Allah, gerak dan diamnya badan dan hatinya itu semua atas kehendak Allah. Mereka tidak merasa kalau bisa beramal, kecuali diberi pertolongan oleh Allah, tidak sebab daya kekuatan dirinya sendiri. Wallahu A'lam bisshowab.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2650 seconds (0.1#10.140)