Bisa Ngomong Kebenaran tapi Tak Mengerjakan, Haruskah Diam Saja?
A
A
A
RAIS Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, berpendapat mengatakan kebaikan pasti bagian dari kebaikan itu sendiri. Orang harus tetap bicara tentang kebaikan, kendati dirinya tidak mengerjakan tentang kebaikan itu.
Pakar ilmu ushul fiqih yang juga mufasir faqih ini bercerita tentang Imam Busyiri. Suatu ketika Imam Busyiri mengeluh, "saya ini orang yang banyak kesalahan. Di antara salah saya adalah saya bisa ngomong tapi saya tidak melakukan. Yaitu, misalnya, saya ngomong ke orang supaya tahajud, saya tidak tahajud. Saya ngomong orang supaya salat sunah, saya nggak pernah salat sunah."
Hal itu yang menyarahi Imam Bajuri. "Itu yang syarah burdah," ujar Gus Baha. Imam Bajuri mengkritik begini: "Kalau Anda berbicara itu untuk mengritik diri sendiri, yaitu dalam konteks Anda mengkritik diri sendiri, oke. Tapi omongan Anda salah, karena secara usul fiqih fatal. Fatalnya begini, misalnya saya tidak pernah tahajud apakah kemudian saya tidak boleh mengatakan bahwa tahajud itu sunah? Apa saya diwajibkan diam, hanya karena saya tidak pernah tahajud?".
Gus Baha berpendapat bahwa mengatakan kebaikan pasti bagian dari kebaikan itu sendiri. Pernyataan Gus Baha ini diposting di akun Instagram Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, gusbaha_online, Jumat 3/4/2020. Gus Baha adalah putera seorang ulama ahli Quran KH Nursalim Al-Hafizh dari Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah.
Jauh sebelum itu, dalam kajian tafsir di Pesantren Sidogiri, Gus Baha menjelaskan mengenai metode penafsiran Syeikh Izzuddin bin Abdissalam yang memunculkan kaedah “لايترك الحق لاجل الباطل” “Kebenaran tidak bisa ditinggalkan hanya karena ada kebatilan”.
Kaedah ini timbul ketika Syekh Izzuddin mengkaji ayat:
۞ إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
Dalam Surat Al-Baqarah Ayat 158 itu dijelaskan bahwa bukit Shafa dan Marwah merupakan bagian dari syi’ar ibadah untuk sa’i pada ibadah umrah dan haji. Maka barangsiapa yang menuju Baitul Haram untuk menunaikan haji atau umrah maka tidak mengapa bahkan wajib baginya untuk melakukan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah, meski orang-orang musyrik juga sedang sa’i dan mendekatkan diri kepada berhala-berhala mereka di sana.
Menurut Gus Baha, ayat ini menjelaskan jika ada perkara hak yang bercampur aduk dengan perkara batil maka perkara hak itu tidak bisa ditinggalkan karena adanya perkara batil. Buktinya Allah SWT tetap memerintahkan kita untuk melakukan sa’i di Shafa dan Marwah sekalipun di sana terdapat kemunkaran, yakni orang-orang musyrik juga sedang sa’i dan mendekatkan diri kepada berhala-berhala mereka di sana.
Hal ini juga dibuktikan ketika Rasulullah thawaf di ka’bah yang ketika itu masih dikuasai oleh Kafir Qurasy. Di sana masih ada banyak berhala yang disembah oleh penduduk Qurasy. Nabi tetap melaksanakan thawaf sekalipun di sana terdapat kemungkaran. "Dari sinilah Syeikh Izzuddin menyimpulkan bahwa kebenaran tidak bisa ditinggalkan hanya karena ada kebatilan," ujar Gus Baha.
Demikian pula ketika Nabi hendak melaksanakan perang. Hukum berjihad ketika itu adalah wajib. Ketika demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam pasukan yang ikut berperang bersama Nabi pasti terdapat orang fasiq dan fajir. Sedangkan berkumpul bersama dengan orang demikian termasuk maksiat. Seandainya Nabi menentukan kriteria pasukan yang hendak berperang bersama beliau (untuk menghindari maksiat), mungkin sangat sedikit pasukan yang ikut bersama Rasulullah, karena tidak semua sahabat itu seadil Abu Bakar dan Umar.
"Hal ini berbeda dengan keterangan yang ada di dalam Fathul Mu’in," ujar Gus Baha.
Di dalam Fathul Mu’in dijelaskan bahwa melaksanakan haji hukumnya adalah wajib. Namun ketika di sana ada kebatilan (kemunkaran) maka hukumnya menjadi tidak wajib. Begitu juga dengan keterangan Imam Baijuri dalam kitabnya al-Baijuri. Jika diputuskan hukum demikian, menurut Gus Baha, mungkin tidak akan ada yang melakukan haji, karena dalam proses pendaftaran, pemberangkatan hingga prosesi haji itu sendiri pasti ada kemunkaran, padahal haji itu wajib. “Saya tidak menyalahkan ya, ini hanya untuk perbandingan mana pendapat yang lebih kalian cocoki,” papar Gus Baha.
“Coba bayangkan,” lanjutnya, "Berhala yang sebatil itu (disembah yang mengakibatkan adanya kesyirikan) saja tidak bisa menggugurkan pekerjaan yang hak (pekerjaan haji seperti thawaf dan sa’i), apalagi maksiat-maksiat yang amatiran seperti yang ada sekarang ini (bercampur baur dengan ajnabiyah). Jika yang menopang barang hak itu harus steril, terus siapa yang mau melaksanakan?” jelasnya.
Pakar ilmu ushul fiqih yang juga mufasir faqih ini bercerita tentang Imam Busyiri. Suatu ketika Imam Busyiri mengeluh, "saya ini orang yang banyak kesalahan. Di antara salah saya adalah saya bisa ngomong tapi saya tidak melakukan. Yaitu, misalnya, saya ngomong ke orang supaya tahajud, saya tidak tahajud. Saya ngomong orang supaya salat sunah, saya nggak pernah salat sunah."
Hal itu yang menyarahi Imam Bajuri. "Itu yang syarah burdah," ujar Gus Baha. Imam Bajuri mengkritik begini: "Kalau Anda berbicara itu untuk mengritik diri sendiri, yaitu dalam konteks Anda mengkritik diri sendiri, oke. Tapi omongan Anda salah, karena secara usul fiqih fatal. Fatalnya begini, misalnya saya tidak pernah tahajud apakah kemudian saya tidak boleh mengatakan bahwa tahajud itu sunah? Apa saya diwajibkan diam, hanya karena saya tidak pernah tahajud?".
Gus Baha berpendapat bahwa mengatakan kebaikan pasti bagian dari kebaikan itu sendiri. Pernyataan Gus Baha ini diposting di akun Instagram Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, gusbaha_online, Jumat 3/4/2020. Gus Baha adalah putera seorang ulama ahli Quran KH Nursalim Al-Hafizh dari Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah.
Jauh sebelum itu, dalam kajian tafsir di Pesantren Sidogiri, Gus Baha menjelaskan mengenai metode penafsiran Syeikh Izzuddin bin Abdissalam yang memunculkan kaedah “لايترك الحق لاجل الباطل” “Kebenaran tidak bisa ditinggalkan hanya karena ada kebatilan”.
Kaedah ini timbul ketika Syekh Izzuddin mengkaji ayat:
۞ إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
Dalam Surat Al-Baqarah Ayat 158 itu dijelaskan bahwa bukit Shafa dan Marwah merupakan bagian dari syi’ar ibadah untuk sa’i pada ibadah umrah dan haji. Maka barangsiapa yang menuju Baitul Haram untuk menunaikan haji atau umrah maka tidak mengapa bahkan wajib baginya untuk melakukan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah, meski orang-orang musyrik juga sedang sa’i dan mendekatkan diri kepada berhala-berhala mereka di sana.
Menurut Gus Baha, ayat ini menjelaskan jika ada perkara hak yang bercampur aduk dengan perkara batil maka perkara hak itu tidak bisa ditinggalkan karena adanya perkara batil. Buktinya Allah SWT tetap memerintahkan kita untuk melakukan sa’i di Shafa dan Marwah sekalipun di sana terdapat kemunkaran, yakni orang-orang musyrik juga sedang sa’i dan mendekatkan diri kepada berhala-berhala mereka di sana.
Hal ini juga dibuktikan ketika Rasulullah thawaf di ka’bah yang ketika itu masih dikuasai oleh Kafir Qurasy. Di sana masih ada banyak berhala yang disembah oleh penduduk Qurasy. Nabi tetap melaksanakan thawaf sekalipun di sana terdapat kemungkaran. "Dari sinilah Syeikh Izzuddin menyimpulkan bahwa kebenaran tidak bisa ditinggalkan hanya karena ada kebatilan," ujar Gus Baha.
Demikian pula ketika Nabi hendak melaksanakan perang. Hukum berjihad ketika itu adalah wajib. Ketika demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam pasukan yang ikut berperang bersama Nabi pasti terdapat orang fasiq dan fajir. Sedangkan berkumpul bersama dengan orang demikian termasuk maksiat. Seandainya Nabi menentukan kriteria pasukan yang hendak berperang bersama beliau (untuk menghindari maksiat), mungkin sangat sedikit pasukan yang ikut bersama Rasulullah, karena tidak semua sahabat itu seadil Abu Bakar dan Umar.
"Hal ini berbeda dengan keterangan yang ada di dalam Fathul Mu’in," ujar Gus Baha.
Di dalam Fathul Mu’in dijelaskan bahwa melaksanakan haji hukumnya adalah wajib. Namun ketika di sana ada kebatilan (kemunkaran) maka hukumnya menjadi tidak wajib. Begitu juga dengan keterangan Imam Baijuri dalam kitabnya al-Baijuri. Jika diputuskan hukum demikian, menurut Gus Baha, mungkin tidak akan ada yang melakukan haji, karena dalam proses pendaftaran, pemberangkatan hingga prosesi haji itu sendiri pasti ada kemunkaran, padahal haji itu wajib. “Saya tidak menyalahkan ya, ini hanya untuk perbandingan mana pendapat yang lebih kalian cocoki,” papar Gus Baha.
“Coba bayangkan,” lanjutnya, "Berhala yang sebatil itu (disembah yang mengakibatkan adanya kesyirikan) saja tidak bisa menggugurkan pekerjaan yang hak (pekerjaan haji seperti thawaf dan sa’i), apalagi maksiat-maksiat yang amatiran seperti yang ada sekarang ini (bercampur baur dengan ajnabiyah). Jika yang menopang barang hak itu harus steril, terus siapa yang mau melaksanakan?” jelasnya.
(mhy)