Menempa kepekaan sosial
A
A
A
KADANG banyak orang kurang tepat dalam memandang Islam. Islam dianggap hanya sebagai agama yang mengurusi ibadah ritual vertikal (hablumminallah), atau dengan kata lain hanya mengurusi kesalehan individual.
Padahal kalau dilihat misi utamanya, Islam hadir ke muka bumi untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Pada posisi tersebut, Islam bermakna sebagai agama yang juga mengurusi ibadah horizontal (habluminannas), atau mengurusi kesalehan sosial. Karena itu, seorang muslim diwajibkan untuk menyelaraskan dua aspek peribadatan tersebut, agar kesalehan diri yang diperoleh menjadi kesalehan paripurna.
Almarhum Nurcholis Madjid dalam buku Islam, Doktrin, dan Peradaban (1992: xv) memberi penjelasan komplet tentang ihwal dua wajah ibadah yang harus dilaksanakan individu Islam, bahwa agama itu bersifat kemanusiaan karena hadir untuk menuntun manusia menggapai kebahagiaan. Tetapi yang dimaksud bukanlah kemanusiaan yang berdiri sendiri, melainkan kemanusiaan yang memancar dari interaksi diri dengan Tuhan robbu al-‘alamien.
Atau dengan kata lain habluminannasadalah refleksi dari intensnya hablumminallah. Ketika muslim memfungsikan dua wajah ibadah dalam kehidupan sehari-hari, berarti dia telah mengantarkan Islam menemukan fungsinya dalam kehidupan sosial. Ibadah vertikal dibarengi dengan tindakan akhlaki dalam berinteraksi dengan sesama manusia (muamalah) seperti menyapa manusia penuh keramahtamahan, welas asih, senang bederma, dan peduli terhadap sesama.
Ini merupakan perpaduan kehidupan islami yang sangat sempurna. Dengan demikian, Islam akan menjadi pusat inspirasi tindakan manusia, di mana doktrin keadilan tidak saja berada dalam ranah pembahasan teologi, namun juga dipraktikkan dalam lingkup kehidupan sehari-hari di muka bumi. Alquran tidak hanya dijadikan landasan teologis juga menjadi landasan epistemologis dan aksiologis.
Karena itu, dalam Alquran sendiri banyak memuat ajaran tentang pentingnya menghidupkan doktrin keadilan sosial secara praksis (amali). Hal tersebut memberi gambaran bahwa Islam hadir ke muka bumi bukan hanya mengurusi kesalehan melangit, melainkan juga mengejawantahkan konsep keadilan sosial yang membumi agar kebahagiaan menjadi milik bersama.
Di dalam Alquran, Allah SWT memberikan ancaman kepada orang-orang kaya yang serakah dan hidup bermewah- mewah (mutrafun) bahwa mereka akan ditimpa kehancuran (QS. Al-Isra [17]:16). Secara historis, ayat tersebut menyindir para pemuka masyarakat di Mekkah yang kaya raya pada saat itu tetapi tidak peduli terhadap kehidupan kelas bawah sekitar.
Di dalam surah yang lain, yakni Al-Fajr ayat 17 sampai 20, dijelaskan mereka (mutrafun) banyak menduduki posisi kekuasaan di Mekkah pada masa pra- Islam, sehingga Mekkah saat itu pantas disebut negara plutokratif(dipemerintah oleh orang-orang kaya). Karena itulah, di bulan Ramadan yang agung ini menahan diri (imsak) untuk tidak mengonsumsi makanan, minuman, dan hubungan suami-istri di siang hari, diharapkan juga untuk tidak melampiaskan nafsu keserakahan.
Jika hal itu terjadi pertanda bahwa Islam penuh dengan ajaran yang berdimensi kemanusiaan. Dengan menunaikan puasa selama Ramadan ini, masyarakat Islam diharapkan memiliki kepekaan sosial dan tingkat kepedulian tinggi terhadap penderitaan orang lain. Apalagi di bulan yang bertabur kebajikan ini, realitas sosial bangsa Indonesia masih berhadapan dengan masalah ekonomi yang kurang berpihak pada rakyat kecil, di mana daya beli yang rendah,
khususnya bagi kaum papa Penderitaan warga ini sejatinya menciptakan kesadaran masyarakat untuk saling membebaskan dari penderitaan. Kolektivitas kesadaran sosial di dalam masyarakat mesti ditingkatkan agar ibadah puasa tidaklah hilang pahalanya. Dengan puasa, seyogianya kaum muslimin makin peka terhadap kehidupan sosial dan makin mampu mewujudkan kesalehan sosial. Wallahua’lam
DADANG KAHMAD
Ketua PP Muhammadiyah,
Direktur Pascasarjana
UIN SGD Bandung
Padahal kalau dilihat misi utamanya, Islam hadir ke muka bumi untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Pada posisi tersebut, Islam bermakna sebagai agama yang juga mengurusi ibadah horizontal (habluminannas), atau mengurusi kesalehan sosial. Karena itu, seorang muslim diwajibkan untuk menyelaraskan dua aspek peribadatan tersebut, agar kesalehan diri yang diperoleh menjadi kesalehan paripurna.
Almarhum Nurcholis Madjid dalam buku Islam, Doktrin, dan Peradaban (1992: xv) memberi penjelasan komplet tentang ihwal dua wajah ibadah yang harus dilaksanakan individu Islam, bahwa agama itu bersifat kemanusiaan karena hadir untuk menuntun manusia menggapai kebahagiaan. Tetapi yang dimaksud bukanlah kemanusiaan yang berdiri sendiri, melainkan kemanusiaan yang memancar dari interaksi diri dengan Tuhan robbu al-‘alamien.
Atau dengan kata lain habluminannasadalah refleksi dari intensnya hablumminallah. Ketika muslim memfungsikan dua wajah ibadah dalam kehidupan sehari-hari, berarti dia telah mengantarkan Islam menemukan fungsinya dalam kehidupan sosial. Ibadah vertikal dibarengi dengan tindakan akhlaki dalam berinteraksi dengan sesama manusia (muamalah) seperti menyapa manusia penuh keramahtamahan, welas asih, senang bederma, dan peduli terhadap sesama.
Ini merupakan perpaduan kehidupan islami yang sangat sempurna. Dengan demikian, Islam akan menjadi pusat inspirasi tindakan manusia, di mana doktrin keadilan tidak saja berada dalam ranah pembahasan teologi, namun juga dipraktikkan dalam lingkup kehidupan sehari-hari di muka bumi. Alquran tidak hanya dijadikan landasan teologis juga menjadi landasan epistemologis dan aksiologis.
Karena itu, dalam Alquran sendiri banyak memuat ajaran tentang pentingnya menghidupkan doktrin keadilan sosial secara praksis (amali). Hal tersebut memberi gambaran bahwa Islam hadir ke muka bumi bukan hanya mengurusi kesalehan melangit, melainkan juga mengejawantahkan konsep keadilan sosial yang membumi agar kebahagiaan menjadi milik bersama.
Di dalam Alquran, Allah SWT memberikan ancaman kepada orang-orang kaya yang serakah dan hidup bermewah- mewah (mutrafun) bahwa mereka akan ditimpa kehancuran (QS. Al-Isra [17]:16). Secara historis, ayat tersebut menyindir para pemuka masyarakat di Mekkah yang kaya raya pada saat itu tetapi tidak peduli terhadap kehidupan kelas bawah sekitar.
Di dalam surah yang lain, yakni Al-Fajr ayat 17 sampai 20, dijelaskan mereka (mutrafun) banyak menduduki posisi kekuasaan di Mekkah pada masa pra- Islam, sehingga Mekkah saat itu pantas disebut negara plutokratif(dipemerintah oleh orang-orang kaya). Karena itulah, di bulan Ramadan yang agung ini menahan diri (imsak) untuk tidak mengonsumsi makanan, minuman, dan hubungan suami-istri di siang hari, diharapkan juga untuk tidak melampiaskan nafsu keserakahan.
Jika hal itu terjadi pertanda bahwa Islam penuh dengan ajaran yang berdimensi kemanusiaan. Dengan menunaikan puasa selama Ramadan ini, masyarakat Islam diharapkan memiliki kepekaan sosial dan tingkat kepedulian tinggi terhadap penderitaan orang lain. Apalagi di bulan yang bertabur kebajikan ini, realitas sosial bangsa Indonesia masih berhadapan dengan masalah ekonomi yang kurang berpihak pada rakyat kecil, di mana daya beli yang rendah,
khususnya bagi kaum papa Penderitaan warga ini sejatinya menciptakan kesadaran masyarakat untuk saling membebaskan dari penderitaan. Kolektivitas kesadaran sosial di dalam masyarakat mesti ditingkatkan agar ibadah puasa tidaklah hilang pahalanya. Dengan puasa, seyogianya kaum muslimin makin peka terhadap kehidupan sosial dan makin mampu mewujudkan kesalehan sosial. Wallahua’lam
DADANG KAHMAD
Ketua PP Muhammadiyah,
Direktur Pascasarjana
UIN SGD Bandung
(nfl)