Berpuasa setelah puasa
A
A
A
TINGGAL menghitung hari lagi, bulan Puasa segera berakhir. Dan kita semua akan segera menjalankan siklus aktivitas keseharian kita dalam pola pemenuhan kebutuhan pokok makan dan minum seperti sediakala seperti saat sebelum puasa.
Pertanyaan yang paling mengusik untuk kita semua usai berpuasa adalah, masihkah kita terus berpuasa dalam nilai makna yang sesungguhnya dari berpuasa itu setelah selama sebulan kita menjalankannya? Pertanyaan ini penting direnungkan karena Nabi Muhammad SAW sendiri sudah menyinggung dalam sebuah hadisnya yang berbunyi, “Banyak di antara umat-Ku yang melakukan puasa, tetapi mereka tidak mendapatkan apaapa kecuali hanya lapar dan dahaga (kam min shoimin laisa lahu min shiyaihi illa l-juu’ wal athos).
”Sindiran Nabi di atas kian ditegaskan dengan kenyataan sosial yang melingkupi kita sehari-hari di mana banyak sekali perubahan (yang tidak mengubah) setelah orang menjalankan ibadah puasa. Bila saat bulan puasa kita menyaksikan tampilan di media massa kita yang berisikan ajakan dan acara-acara yang mengajak pada kesalehan, maka tak jarang usai bulan puasa kita semua akan disuguhkan kembali dengan realitas sosial yang menggambarkan bahwa setelah berpuasa ya semuanya kembali seperti sediakala, alias tak ada perubahan.
Oleh karena itu, di akhir hari-hari bulan Ramadan ini sangat penting bagi kita untuk merenung kembali apa sih hakikat, makna dan tujuan kita melaksanakan puasa itu. Mengapa berpuasa menjadi metode tahapan yang wajib dilaksanakan umat manusia sebagaimana juga umat sebelum Nabi Muhammad SAW, guna meningkatkan derajat kemanusiaan seseorang menuju manusia paripurna atau insan kamil. Yang tidak kalah penting, bagaimana mengamalkan esensi makna berpuasa dalam keseharian kita usai lebaran nanti.
Menuju puasa sepanjang masa
Dalam berpuasa ada dua hal penting yang menjadi ruh dari nilai puasa itu sendiri, yaitu pengendalian diri dan kejujuran. Pengendalian diri merupakan poin penting dalam kecerdasan emosi seseorang yang harus terus dilatih guna bisa menguasai “kedirian” kita sendiri. Dengan berpuasa, seseorang dilatih untuk bisa mengendalikan dirinya sendiri yang secara natural dalam diri kita sendiri itu melekat kebutuhan-kebutuhan lahiri dan batini. Jadi, saat berpuasa itulah ditentukan apakah diri kita yang menguasai kita, atau kita yang menguasainya.
Dan pengendalian diri inilah yang nantinya menjadi modal penting kita menuju derajat peningkatan ketakwaan kepada Allah SWT. Yang kedua adalah kejujuran. Ibadah puasa merupakan ibadah yang sangat privat atau rahasia sekali di mana hanya orang yang berpuasa itu sendiri dan Allah-lah yang tahu apakah seseorang itu sungguh berpuasa atau tidak. Dalam berpuasa kita dituntut dan dilatih untuk mempunyai kesadaran bahwa dalam segala tindak-tanduk kita di tempat yang paling sunyi pun itu pasti diketahui dan diawasi oleh Allah SWT.
Nah,kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam segala aktivitas kita yang di-trainingmelalui puasa inilah yang akan menjadi modal kita semua untuk membangun kejujuran dalam diri kita masing-masing. Dua makna nilai berpuasa, yaitu pengendalian diri dan kejujuran, merupakan modal dan media utama kita untuk menggapai tujuan dari puasa itu sendiri, yaitu ketakwaan kepada Allah SWT. Karena seperti dikatakan Imam Ghazali, puasa itu pada hakikatnya merupakan media untuk bisa dekat dengan Allah SWT.
Apabila orang yang melaksanakan puasa dilandasi oleh kemauan yang kuat, maka motivasi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah SWT akan mengalahkan keinginan-keinginan yang bersifat lahiriah. “Bila dalam diri kita telah tumbuh kerinduan untuk bertemu dengan Allah SWT dan bila keinginan kita untuk mendapatkan makrifat tentang keinginan-Nya nyata dan lebih kuat daripada nafsu makan dan seksual Anda, berarti Anda telah menggandrungi taman makrifat ketimbang surga pemuas nafsu inderawi,” tulis Imam al-Ghazali dalam buku Pemata al-Qur’an(Jakarta: CV Rajawali, 1985, hlm 88).
Apabila apa yang disarankan Imam Ghazali di atas benarbenar tertanamkan dalam diri kita saat menjalankan puasa, insya Allah setelah kita menjalankan ibadah puasa selama Ramadan ini kita akan makin dekat dan cinta pada Allah SWT. Hal ini berarti semua tindak-tanduk kita ditujukan dalam rangka kecintaan dan mendekatkan kita pada Allah SWT. Dan bila semuanya demi kecintaan dan kedekatan pada Allah, otomatis kita semua akan senantiasa mematuhi perintah-Nya, mengamalkan sifat ketuhanan-Nya dalam diri kita masing-masing layaknya berpuasa sepanjang masa. Aminya rabbal alamin.
DRA HJ IDA FAUZIYAH, MSI
Ketua Umum PP Fatayat NU
Pertanyaan yang paling mengusik untuk kita semua usai berpuasa adalah, masihkah kita terus berpuasa dalam nilai makna yang sesungguhnya dari berpuasa itu setelah selama sebulan kita menjalankannya? Pertanyaan ini penting direnungkan karena Nabi Muhammad SAW sendiri sudah menyinggung dalam sebuah hadisnya yang berbunyi, “Banyak di antara umat-Ku yang melakukan puasa, tetapi mereka tidak mendapatkan apaapa kecuali hanya lapar dan dahaga (kam min shoimin laisa lahu min shiyaihi illa l-juu’ wal athos).
”Sindiran Nabi di atas kian ditegaskan dengan kenyataan sosial yang melingkupi kita sehari-hari di mana banyak sekali perubahan (yang tidak mengubah) setelah orang menjalankan ibadah puasa. Bila saat bulan puasa kita menyaksikan tampilan di media massa kita yang berisikan ajakan dan acara-acara yang mengajak pada kesalehan, maka tak jarang usai bulan puasa kita semua akan disuguhkan kembali dengan realitas sosial yang menggambarkan bahwa setelah berpuasa ya semuanya kembali seperti sediakala, alias tak ada perubahan.
Oleh karena itu, di akhir hari-hari bulan Ramadan ini sangat penting bagi kita untuk merenung kembali apa sih hakikat, makna dan tujuan kita melaksanakan puasa itu. Mengapa berpuasa menjadi metode tahapan yang wajib dilaksanakan umat manusia sebagaimana juga umat sebelum Nabi Muhammad SAW, guna meningkatkan derajat kemanusiaan seseorang menuju manusia paripurna atau insan kamil. Yang tidak kalah penting, bagaimana mengamalkan esensi makna berpuasa dalam keseharian kita usai lebaran nanti.
Menuju puasa sepanjang masa
Dalam berpuasa ada dua hal penting yang menjadi ruh dari nilai puasa itu sendiri, yaitu pengendalian diri dan kejujuran. Pengendalian diri merupakan poin penting dalam kecerdasan emosi seseorang yang harus terus dilatih guna bisa menguasai “kedirian” kita sendiri. Dengan berpuasa, seseorang dilatih untuk bisa mengendalikan dirinya sendiri yang secara natural dalam diri kita sendiri itu melekat kebutuhan-kebutuhan lahiri dan batini. Jadi, saat berpuasa itulah ditentukan apakah diri kita yang menguasai kita, atau kita yang menguasainya.
Dan pengendalian diri inilah yang nantinya menjadi modal penting kita menuju derajat peningkatan ketakwaan kepada Allah SWT. Yang kedua adalah kejujuran. Ibadah puasa merupakan ibadah yang sangat privat atau rahasia sekali di mana hanya orang yang berpuasa itu sendiri dan Allah-lah yang tahu apakah seseorang itu sungguh berpuasa atau tidak. Dalam berpuasa kita dituntut dan dilatih untuk mempunyai kesadaran bahwa dalam segala tindak-tanduk kita di tempat yang paling sunyi pun itu pasti diketahui dan diawasi oleh Allah SWT.
Nah,kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam segala aktivitas kita yang di-trainingmelalui puasa inilah yang akan menjadi modal kita semua untuk membangun kejujuran dalam diri kita masing-masing. Dua makna nilai berpuasa, yaitu pengendalian diri dan kejujuran, merupakan modal dan media utama kita untuk menggapai tujuan dari puasa itu sendiri, yaitu ketakwaan kepada Allah SWT. Karena seperti dikatakan Imam Ghazali, puasa itu pada hakikatnya merupakan media untuk bisa dekat dengan Allah SWT.
Apabila orang yang melaksanakan puasa dilandasi oleh kemauan yang kuat, maka motivasi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah SWT akan mengalahkan keinginan-keinginan yang bersifat lahiriah. “Bila dalam diri kita telah tumbuh kerinduan untuk bertemu dengan Allah SWT dan bila keinginan kita untuk mendapatkan makrifat tentang keinginan-Nya nyata dan lebih kuat daripada nafsu makan dan seksual Anda, berarti Anda telah menggandrungi taman makrifat ketimbang surga pemuas nafsu inderawi,” tulis Imam al-Ghazali dalam buku Pemata al-Qur’an(Jakarta: CV Rajawali, 1985, hlm 88).
Apabila apa yang disarankan Imam Ghazali di atas benarbenar tertanamkan dalam diri kita saat menjalankan puasa, insya Allah setelah kita menjalankan ibadah puasa selama Ramadan ini kita akan makin dekat dan cinta pada Allah SWT. Hal ini berarti semua tindak-tanduk kita ditujukan dalam rangka kecintaan dan mendekatkan kita pada Allah SWT. Dan bila semuanya demi kecintaan dan kedekatan pada Allah, otomatis kita semua akan senantiasa mematuhi perintah-Nya, mengamalkan sifat ketuhanan-Nya dalam diri kita masing-masing layaknya berpuasa sepanjang masa. Aminya rabbal alamin.
DRA HJ IDA FAUZIYAH, MSI
Ketua Umum PP Fatayat NU
(nfl)