Masjid Menyanan, Tempat Mengaji Diponegoro di Tengah Pecinan
A
A
A
SUARA adzan Dzuhur menggema memecah keramaian kawasan Pecinan Kota Semarang. Alunannya yang merdu membuat hati tenteram di tengah terpaan mentari Kota Semarang yang panas dan badan yang berjuang melawan dehidrasi karena melaksanakan ibadah puasa.
KORAN SINDO mencoba mencari dari mana asal suara adzan tersebut. Sebab, di lokasi yang mayoritas dihuni umat Tridharma dengan Kelenteng sebagai tempat ibadah, masjid di kawasan Pecinan memang sulit ditemukan.
Pencarian kami berhenti di sebuah masjid bernama Masjid An-Nur Diponegoro yang terletak di salah satu gang sempit yang sarat dengan rumah penduduk di Kampung Menyananan Kecil nomor 309 Jalan Beteng kawasan Pecinan Semarang. Namun siapa sangka, jika ternyata masjid yang tersebut memiliki nilai sejarah tinggi dan telah menjadi salah satu benda cagar budaya Kota Semarang.
“Masjid ini bernama An-Nur Diponegoro. Konon diberi nama seperti itu karena dulu masjid ini digunakan oleh Pangeran Diponegoro untuk mengaji pada masa penjajahan Belanda,” ujar Sumarno (42), salah satu pengurus Takmir Masjid An-Nur Menyanan Semarang mengawali obrolan bersama kami.
Masjid tersebut, lanjut Sumarno, diperkirakan sudah berusia ratusan tahun. Dibangun kira-kira pada tahun 1600 masehi oleh sekelompok kecil warga muslim China yang berada di daerah itu. Namun, masjid yang lebih dikenal dengan nama Masjid Menyanan itu baru ditemukan oleh warga sekitar tahun 1960-an.
“Dulunya, masjid ini tidak terlihat karena tertutup pagar tinggi rumah orang pecinan yang mayoritas tinggal di sini. Lalu tiba-tiba seorang warga bernama Kiai Mashud menemukan masjid ini,” imbuhnya.
Dari cerita yang berkembang, Kiai Mashud menemukan masjid ini melalui mimpi. Saat itu, dirinya ditemui oleh pendiri masjid yakni Kyai Tholib dan mengatakan jika ada tempat ibadah umat muslim di kawasan Pecinan yang merupakan petilasan Pangeran Diponegoro.
“Setelah mencarinya, Kiai Mashud kemudian menemukan masjid An-Nur tersebut. Saat ditemukan, kondisi masjid sudah tidak terawat. Sebab, sebagian besar bangunan masih didominasi oleh kayu,” kata dia.
Baru kemudian warga meminta agar pemilik lahan tersebut menyerahkan masjid untuk dikelola dan dipugar oleh masyarakat. Setelah disetujui, warga kemudian bahu membahu memugar masjid dan digunakan sebagai pusat peribadatan umat muslim di kawasan Pecinan Semarang.
“Masjid dipugar kembali, meski ada bagian-bagian yang masih asli dipertahankan. Bangunan masjid yang asli adalah kayu blandar atau kayu untuk menyangga genting. Namun karena saat ini dipugar, kayu itu kami simpan dan kami ganti dengan replikanya," terangnya.
Meskipun berada di tengah mayoritas masyarakat yang menganut Tridharma, namun kegiatan di Masjid Menyanan tersebut terus ramai. Masyarakat tidak pernah bergesekan karena semuanya menjunjung tinggi toleransi.
“Alhamdulillah toleransi di sini sangat dijunjung tinggi dan terbina dengan baik. Bahkan dalam pembangunan masjid saat ini, ada salah satu pihak yayasan kelenteng di sekitar sini ada yang mau menyumbang. Ini bentuk keharmonisan kami yang terbangun selama ini,” pungkasnya.
Lebih lanjut Sumarno juga menyinggung bagaimana perhatian Pemkot Semarang yang dinilai kurang terhadap benda cagar budaya ini. Meski telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya, namun Pemkot belum pernah memberikan bantuan kepada pengurus masjid untuk perawatan.
“Kami sebenarnya sangat berharap bantuan Pemkot Semarang dalam rangka perawatan benda cagar budaya ini, karena perawatan selamai ini hanya mengandalkan iuran jamaah dan uang kotak. Semua itu tidak cukup untuk memelihara masjdi ini,” pungkasnya.
KORAN SINDO mencoba mencari dari mana asal suara adzan tersebut. Sebab, di lokasi yang mayoritas dihuni umat Tridharma dengan Kelenteng sebagai tempat ibadah, masjid di kawasan Pecinan memang sulit ditemukan.
Pencarian kami berhenti di sebuah masjid bernama Masjid An-Nur Diponegoro yang terletak di salah satu gang sempit yang sarat dengan rumah penduduk di Kampung Menyananan Kecil nomor 309 Jalan Beteng kawasan Pecinan Semarang. Namun siapa sangka, jika ternyata masjid yang tersebut memiliki nilai sejarah tinggi dan telah menjadi salah satu benda cagar budaya Kota Semarang.
“Masjid ini bernama An-Nur Diponegoro. Konon diberi nama seperti itu karena dulu masjid ini digunakan oleh Pangeran Diponegoro untuk mengaji pada masa penjajahan Belanda,” ujar Sumarno (42), salah satu pengurus Takmir Masjid An-Nur Menyanan Semarang mengawali obrolan bersama kami.
Masjid tersebut, lanjut Sumarno, diperkirakan sudah berusia ratusan tahun. Dibangun kira-kira pada tahun 1600 masehi oleh sekelompok kecil warga muslim China yang berada di daerah itu. Namun, masjid yang lebih dikenal dengan nama Masjid Menyanan itu baru ditemukan oleh warga sekitar tahun 1960-an.
“Dulunya, masjid ini tidak terlihat karena tertutup pagar tinggi rumah orang pecinan yang mayoritas tinggal di sini. Lalu tiba-tiba seorang warga bernama Kiai Mashud menemukan masjid ini,” imbuhnya.
Dari cerita yang berkembang, Kiai Mashud menemukan masjid ini melalui mimpi. Saat itu, dirinya ditemui oleh pendiri masjid yakni Kyai Tholib dan mengatakan jika ada tempat ibadah umat muslim di kawasan Pecinan yang merupakan petilasan Pangeran Diponegoro.
“Setelah mencarinya, Kiai Mashud kemudian menemukan masjid An-Nur tersebut. Saat ditemukan, kondisi masjid sudah tidak terawat. Sebab, sebagian besar bangunan masih didominasi oleh kayu,” kata dia.
Baru kemudian warga meminta agar pemilik lahan tersebut menyerahkan masjid untuk dikelola dan dipugar oleh masyarakat. Setelah disetujui, warga kemudian bahu membahu memugar masjid dan digunakan sebagai pusat peribadatan umat muslim di kawasan Pecinan Semarang.
“Masjid dipugar kembali, meski ada bagian-bagian yang masih asli dipertahankan. Bangunan masjid yang asli adalah kayu blandar atau kayu untuk menyangga genting. Namun karena saat ini dipugar, kayu itu kami simpan dan kami ganti dengan replikanya," terangnya.
Meskipun berada di tengah mayoritas masyarakat yang menganut Tridharma, namun kegiatan di Masjid Menyanan tersebut terus ramai. Masyarakat tidak pernah bergesekan karena semuanya menjunjung tinggi toleransi.
“Alhamdulillah toleransi di sini sangat dijunjung tinggi dan terbina dengan baik. Bahkan dalam pembangunan masjid saat ini, ada salah satu pihak yayasan kelenteng di sekitar sini ada yang mau menyumbang. Ini bentuk keharmonisan kami yang terbangun selama ini,” pungkasnya.
Lebih lanjut Sumarno juga menyinggung bagaimana perhatian Pemkot Semarang yang dinilai kurang terhadap benda cagar budaya ini. Meski telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya, namun Pemkot belum pernah memberikan bantuan kepada pengurus masjid untuk perawatan.
“Kami sebenarnya sangat berharap bantuan Pemkot Semarang dalam rangka perawatan benda cagar budaya ini, karena perawatan selamai ini hanya mengandalkan iuran jamaah dan uang kotak. Semua itu tidak cukup untuk memelihara masjdi ini,” pungkasnya.
(hyk)