Jalan Ketaatan Para Sufi Menurut Ibnu Taimiyah

Kamis, 19 Januari 2023 - 18:50 WIB
Kelompok sufi dan mereka yang menekuni fiqih sama-sama berhak memperoleh sebutan al-shiddiq-u.Foto/Ilustrasi: Ist
Ibnu Taimiyah dalam kitab "al-Shufiyyah wa al-Furuqa" (Cairo: al-Manar, 1348 H) melacaki sejarah munculnya kaum sufi dan paham tasawuf itu dari orientasi keagamaan yang tumbuh di kota Basrah, Irak, yang menunjukkan ciri-ciri kezuhudan yang tinggi.

Berbeda dengan para ulama kota Kuffah yang lebih banyak mencurahkan perhatian pada bidang hukum dan mengembangkan keahlian di bidang fiqih, para ulama kota Basrah menghayati agama dalam spiritualisme yang pekat dan menumbuhkan amalan-amalan guna mempertinggi pengalaman keagamaan yang mendalam.

Mereka dikenal sebagai para pengamal ubudiah (al-'ubbad), para pengamal kezuhudan (al-zuhhad), dengan titik orientasi keagamaan yang berbeda dari para ulama Kuffah.



Namun, menurut Ibn Taimiyah, kedua kelompok itu sama-sama berhak memperoleh sebutan al-shiddiq-u, hanya saja masing-masing menempuh jalan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya menurut ijtihad yang mereka lakukan.

Tapi, lanjut Ibn Taimiyah dalam penjelasannya, karena di kalangan mereka terjadi banyak ijtihad dan perbedaan pendapat, maka masyarakat pun berselisih dalam menilai kaum sufi.

Sekelompok orang memandang mereka sebagai kaum pembuat bid'ah dan menyimpang dari sunnah, dan banyak dikutip orang pernyataan serupa itu dari kalangan para ulama yang sudah dikenal.

Pandangan serupa ini banyak dianut oleh kalangan ahli fiqih dan kalam. Kemudian segolongan masyarakat lain berlebihan dalam penilaian positif mereka pada kaum sufi. Golongan ini melihat kaum sufi sebagai makhluk paling utama dan paling mulia setelah para Nabi.



Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa kedua pandangan yang ekstrem itu tercela. Yang benar ialah bahwa kaum sufi adalah orang-orang yang berijtihad dalam menaati Allah, sebagai golongan lain yang taat kepada Allah juga melakukan ijtihad. Maka di kalangan kaum sufi ada golongan pemuka (al-sabiq) yang memperoleh kedekatan (al-muqarrab) kepada Allah setingkat dengan ijtihadnya. Juga ada golongan yang sedang-sedang saja (al-muqtashid), yang termasuk kelompok ahl al-yamin ("kelompok kanan" seperti disebutkan QS al-Waqi'ah 56 :38).

Dan pada masing-masing golongan itu ada yang melakukan ijtihad lalu membuat kesalahan, ada yang berdosa dan kemudian bertobat atau tidak bertobat. Dari kalangan mereka yang mengikuti kaum sufi juga ada orang-orang yang zalim dan membangkang pada Tuhannya.

"Dan," tandas Ibn Taimiyah, "Barang siapa menganggap tercela, terhina dan terkutuk setiap orang yang melakukan ijtihad dalam usaha taat kepada Allah namun pada membuat kesalahan dalam beberapa perkara, maka ia keliru, sesat dan pembuat bid'ah."

Anggapan serupa itu, menurut Ibn Taimiyah, adalah pendirian kaum ekstremis. Lalu ia tegaskan bahwa "Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah menganut pandangan seperti disebutkan dalam Kitab, sunnah dan ijma' yaitu bahwa seorang yang beriman, berdasarkan janji Allah dan kemurahan-Nya, berhak atas pahala untuk kebaikan-kebaikannya. Dan berhak atas siksa untuk kejahatan-kejahatannya. Dan bahwa dalam diri satu orang tergabung sesuatu (kebaikan) yang bakal mendapat pahala dan sesuatu (kejahatan) yang bakal mendapat siksa. Juga ada sesuatu yang terpuji dan ada sesuatu yang tercela, sebagaimana juga ada sesuatu yang menyenangkan dan ada sesuatu yang tidak menyenangkan, dan begitu seterusnya."

(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id bahwa keduanya pernah menyaksikan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Tidaklah ada suatu kaum duduk sambil berdzikir kepada Allah, kecuali para Malaikat akan mengelilingi mereka, dan akan diselubungi rahmat, akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), dan Allah akan menyebut-nyebut orang-orang yang ada disisi-Nya.

(HR. Sunan Ibnu Majah No. 3781)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More