Memaknai Hadis Islam Kembali dalam Keadaan Asing
Selasa, 24 Januari 2023 - 21:27 WIB
Dalam satu Hadis sahih, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing. Apa makna pesan tersebut?
Mari kita simak penjelasan Gus Musa Muhammad dalam satu kajiannya. Berikut bunyi sabda Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam:
إن الإسلام بدأ غريبا وسيعود كما بدأ فطوبى للغرباء قيل : من الغرباء يا رسول الله؟ قال: " النزاع من القبائل
Artinya: "Sesungguhnya Islam muncul pertama kali dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing pula, maka beruntunglah orang-orang yang terasing." Abdullah berkata, "Dikatakan, "Siapakah orang-orang terasing itu?" Beliau menjawab: "Orang-orang yang memisahkan diri dari kabilah-kabilah (yang sesat)."
Untuk memahami tafsir dalil, seorang muslim harus ittiba kepada tafsir atau penjelasan ulama. Bukan dengan logika akal tanpa ilmu atau bermodal makna "terjemaham" Hadis. Artinya, banyak dalil membutuhkan dalil yang lain untuk bisa memahami secara meyeluruh.
Penjelasan Hadis
Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam Fathul Bari memberi syarah (penjelasan) hadis di atas: "Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaaan asing, maka beruntunglah orang-prang yang asing itu." Merujuk pada sejarah Islam awal, keadaan asing yang dimaksud cukup beralasan.
Nabi Muhamamd SAW diutus dengan ajaran tauhid di tengah masyarakat yang mayoritas menyembah berhala. Islam datang dengan ajaran yang sebagian besarnya asing di telinga masyarakat. Keadaan Islam di fase awal ini terbilang sangat asing sehingga cocok digambarkan dengan hadits di atas.
Lantas bagaimana dengan keadaan Islam di masa depan? Apakah akan betul-betul asing seperti awal kehadirannya?
Pertama, perlu kita kompromikan hadits tersebut dengan ayat 33 dari at-Taubah:
هُوَ الَّذِىۡۤ اَرۡسَلَ رَسُوۡلَهٗ بِالۡهُدٰى وَدِيۡنِ الۡحَـقِّ لِيُظۡهِرَهٗ عَلَى الدِّيۡنِ كُلِّهٖۙ وَلَوۡ كَرِهَ الۡمُشۡرِكُوۡنَ
Artinya: "Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai." (QS At-Taubah ayat 33)
Ayat di atas berbicara mengenai janji Allah yang akan memenangkan Islam atas kelompok lain. Menang di sini tentu butuh banyak penafsiran. Namun tetap saja, menang dan asing adalah dua hal yang bertolak belakang.
Pemenang biasanya akan dikenal, atau yang dikenal biasanya adalah yang menang. Bagaimana mungkin Islam dalam keadaan asing, tapi menjadi pemenang? Atau bagaimana mungkin Islam menang tapi tetap terasing? Ada banyak tawaran untuk memaknai arti "asing" pada hadits tersebut.
Salah satunya dengan mencerna riwayat Sahl bin Sa'd al-Sa'idi. Berdasar riwayat tersebut, ada penambahan kalimat tanya berbunyi: "Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing itu."
"Siapakah mereka yang asing itu?". Rasulullah SAW menjawab: "Orang-orang yang mengadakan perbaikan di tengah manusia berbuat kerusakan."
Dengan mengambil tawaran makna ini, bisa kita ajukan pertanyaan: "Apakah sekian banyak manusia di Indonesia misalnya, sedang berbuat kerusakan, sehingga perlu diperbaiki dengan ajakan hijrah? Atau bukankah justru pelaku tabdi (membid'ahkan amaliah bukan golonganya), takfiri itu sedang melakukan kerusakan?
Pertanyaan yang mestinya tidak terlalu sulit dijawab. Alternatif pemaknaan yang kedua adalah dari riwayat Amr bin 'Ash: "Ketika Rasulullah ditanya perihal orang asing yang beruntung tersebut, Rasulullah menjawab: "Mereka (orang asing) adalah orang-orang salih di tengah-tengah mayoritas masyarakat yang buruk. Yang membangkang orang-orang shalih, lebih banyak dari yang menaatinya."
Dalam kerangka ini, maka perlu dibuat kategori asing:
1. Asing dalam kebenaran di tengah masyarakat yang batil.
2. Asing dalam kebatilan di tengah masyarakat yang benar.
Jadi, tidak serta merta keterasingan dimaknai sebagai sesuatu yang Islami. Salah besar jika ada anggapan semakin asing seseorang, semakin ia dekat dengan Islam. Bukan begitu? Yang juga menarik adalah jika memaknai orang asing sebagaimana riwayat Imam Baihaqi yang mengisahkan dialog antara Umar bin Khattab dan Mu'adz bin Jabal.
Muadz menceritakan pada Umar satu hadits dari Rasulullah SAW yang artinya: "Allah mencintai orang-orang yang tersembunyi, takwa, dan suci. Ketika mereka tidak ada, masyarakat tidak merasa kehilangan; ketika mereka ada, masyarakat tidak menyadari. (Namun demikian) Hati mereka (seperti) lampu-lampu hidayah, mereka keluar (menjauh) dari fitnah."
Gambaran di atas sangat identik dengan laku para sufi. Low profile, tidak menonjolkan diri, hidup damai, dan tentram. Jauh dari hingar-bingar kehidupan duniawi. Apa pun yang digunakan untuk memaknai orang asing, tidak ada satupun yang bisa menjadi pembenar untuk pelaku tabdi dan takfir apalagi aksi terorisme.
Hadits itu juga sama sekali tidak berisi perintah untuk mengasingkan diri atau untuk jauh dari kerumunan. Pada banyak kesempatan justru sebaliknya, kita diminta untuk ambil peran dalam kehidupan masyarakat. Umat Islam diminta menjadi ummatan-wasathan. Secara literal berarti umat yang berada di tengah.
Namun, secara kontekstual adalah umat yang senantiasa mengambil peran. Dalam sebuah hadits dari sahabat Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda:
"إِن أمتي لن تجتمع على ضلالة، فإذا رأيتم الاختِلاف فعليكم بالسواد الأعظم"
Artinya: "Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kamu melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah golongan mayoritas." (HR Ibnu Majah)
Berdasarkan pesan hadis di atas, apabila umat Islam melakukan kesepakatan, maka kesepakatan itu dijamin dan dipastikan benar. Sehingga kesepakatan tersebut sifatnya mengikat dan wajib diikuti oleh seluruh umat Islam.
Akan tetapi, apabila banyak terjadi perbedaan pendapat, maka umat Islam wajib mengikuti golongan mayoritas. Ketika para ulama berbeda pendapat, maka mengikuti mayoritas ulama. Dan ketika umat Islam berbeda pendapat, maka mengikuti mayoritas umat Islam.
Hadis itu juga mengisyaratkan, bahwa ketika terjadi perbedaan pendapat dalam masalah fiqhiyah atau furu'iyah, maka dianjurkan mengikuti mazhab jumhur atau mayoritas ulama. Tetapi ketika terjadi perbedaan dalam persoalan akidah atau ushuliyah, seperti perbedaan antara Ahlussunnah Wal-Jamaah, Khawarij, Wahbiyah (rustumiyah), Mu'tazilah, Bahaiyah, Syiah, Qadariyah, Ahmadiyah, Jabarriyah, Wahabiyah (Salafi Hijaz, Salafi Yamani, Manhaj Salaf, Salafi Ikhwani, Salafi Turots, Salafi harakiyah, Salafi lokal dan lain-lain), maka umat Islam wajib mengikuti golongan mayoritas, yaitu Ahlussunnah Waljamaah.
إن أهل الكتابين افترقوا فى دينهم على ثنتين وسبعين ملة وإن هذه الأمة ستفترق على ثلاث وسبعين ملة وكلها فى النار إلا واحدة وهى الجماعة
Artinya: "Dua golongan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) telah terpecah dalam agama mereka menjadi 72 (aliran), dan sungguh umat ini akan terpecah menjadi 73 aliran, semuanya masuk neraka kecuali satu, yaitu (yang berpegang teguh pada) jamaah." (HR Ahmad, at-Thobroni, Hakim)
Maksud dari 72 golongan atau sekte yang disebutkan dalam hadis ini adalah sekte atau aliran yang muncul karena faktor perbedaan pokok-pokok aqidah dan keimanan yang menyelisihi Ahli Sunnah wal Jama'ah, seperti yang disebutkan di atas. (Fathul Bari)
Demikian penjelasan Gus Musa Muhammad. Semoga bermanfaat untuk menambah khazanah kelimuan kita.
Wallahu A'lam
Mari kita simak penjelasan Gus Musa Muhammad dalam satu kajiannya. Berikut bunyi sabda Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam:
إن الإسلام بدأ غريبا وسيعود كما بدأ فطوبى للغرباء قيل : من الغرباء يا رسول الله؟ قال: " النزاع من القبائل
Artinya: "Sesungguhnya Islam muncul pertama kali dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing pula, maka beruntunglah orang-orang yang terasing." Abdullah berkata, "Dikatakan, "Siapakah orang-orang terasing itu?" Beliau menjawab: "Orang-orang yang memisahkan diri dari kabilah-kabilah (yang sesat)."
Untuk memahami tafsir dalil, seorang muslim harus ittiba kepada tafsir atau penjelasan ulama. Bukan dengan logika akal tanpa ilmu atau bermodal makna "terjemaham" Hadis. Artinya, banyak dalil membutuhkan dalil yang lain untuk bisa memahami secara meyeluruh.
Penjelasan Hadis
Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam Fathul Bari memberi syarah (penjelasan) hadis di atas: "Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaaan asing, maka beruntunglah orang-prang yang asing itu." Merujuk pada sejarah Islam awal, keadaan asing yang dimaksud cukup beralasan.
Nabi Muhamamd SAW diutus dengan ajaran tauhid di tengah masyarakat yang mayoritas menyembah berhala. Islam datang dengan ajaran yang sebagian besarnya asing di telinga masyarakat. Keadaan Islam di fase awal ini terbilang sangat asing sehingga cocok digambarkan dengan hadits di atas.
Lantas bagaimana dengan keadaan Islam di masa depan? Apakah akan betul-betul asing seperti awal kehadirannya?
Pertama, perlu kita kompromikan hadits tersebut dengan ayat 33 dari at-Taubah:
هُوَ الَّذِىۡۤ اَرۡسَلَ رَسُوۡلَهٗ بِالۡهُدٰى وَدِيۡنِ الۡحَـقِّ لِيُظۡهِرَهٗ عَلَى الدِّيۡنِ كُلِّهٖۙ وَلَوۡ كَرِهَ الۡمُشۡرِكُوۡنَ
Artinya: "Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai." (QS At-Taubah ayat 33)
Ayat di atas berbicara mengenai janji Allah yang akan memenangkan Islam atas kelompok lain. Menang di sini tentu butuh banyak penafsiran. Namun tetap saja, menang dan asing adalah dua hal yang bertolak belakang.
Pemenang biasanya akan dikenal, atau yang dikenal biasanya adalah yang menang. Bagaimana mungkin Islam dalam keadaan asing, tapi menjadi pemenang? Atau bagaimana mungkin Islam menang tapi tetap terasing? Ada banyak tawaran untuk memaknai arti "asing" pada hadits tersebut.
Salah satunya dengan mencerna riwayat Sahl bin Sa'd al-Sa'idi. Berdasar riwayat tersebut, ada penambahan kalimat tanya berbunyi: "Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing itu."
"Siapakah mereka yang asing itu?". Rasulullah SAW menjawab: "Orang-orang yang mengadakan perbaikan di tengah manusia berbuat kerusakan."
Dengan mengambil tawaran makna ini, bisa kita ajukan pertanyaan: "Apakah sekian banyak manusia di Indonesia misalnya, sedang berbuat kerusakan, sehingga perlu diperbaiki dengan ajakan hijrah? Atau bukankah justru pelaku tabdi (membid'ahkan amaliah bukan golonganya), takfiri itu sedang melakukan kerusakan?
Pertanyaan yang mestinya tidak terlalu sulit dijawab. Alternatif pemaknaan yang kedua adalah dari riwayat Amr bin 'Ash: "Ketika Rasulullah ditanya perihal orang asing yang beruntung tersebut, Rasulullah menjawab: "Mereka (orang asing) adalah orang-orang salih di tengah-tengah mayoritas masyarakat yang buruk. Yang membangkang orang-orang shalih, lebih banyak dari yang menaatinya."
Dalam kerangka ini, maka perlu dibuat kategori asing:
1. Asing dalam kebenaran di tengah masyarakat yang batil.
2. Asing dalam kebatilan di tengah masyarakat yang benar.
Jadi, tidak serta merta keterasingan dimaknai sebagai sesuatu yang Islami. Salah besar jika ada anggapan semakin asing seseorang, semakin ia dekat dengan Islam. Bukan begitu? Yang juga menarik adalah jika memaknai orang asing sebagaimana riwayat Imam Baihaqi yang mengisahkan dialog antara Umar bin Khattab dan Mu'adz bin Jabal.
Muadz menceritakan pada Umar satu hadits dari Rasulullah SAW yang artinya: "Allah mencintai orang-orang yang tersembunyi, takwa, dan suci. Ketika mereka tidak ada, masyarakat tidak merasa kehilangan; ketika mereka ada, masyarakat tidak menyadari. (Namun demikian) Hati mereka (seperti) lampu-lampu hidayah, mereka keluar (menjauh) dari fitnah."
Gambaran di atas sangat identik dengan laku para sufi. Low profile, tidak menonjolkan diri, hidup damai, dan tentram. Jauh dari hingar-bingar kehidupan duniawi. Apa pun yang digunakan untuk memaknai orang asing, tidak ada satupun yang bisa menjadi pembenar untuk pelaku tabdi dan takfir apalagi aksi terorisme.
Hadits itu juga sama sekali tidak berisi perintah untuk mengasingkan diri atau untuk jauh dari kerumunan. Pada banyak kesempatan justru sebaliknya, kita diminta untuk ambil peran dalam kehidupan masyarakat. Umat Islam diminta menjadi ummatan-wasathan. Secara literal berarti umat yang berada di tengah.
Namun, secara kontekstual adalah umat yang senantiasa mengambil peran. Dalam sebuah hadits dari sahabat Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda:
"إِن أمتي لن تجتمع على ضلالة، فإذا رأيتم الاختِلاف فعليكم بالسواد الأعظم"
Artinya: "Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kamu melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah golongan mayoritas." (HR Ibnu Majah)
Berdasarkan pesan hadis di atas, apabila umat Islam melakukan kesepakatan, maka kesepakatan itu dijamin dan dipastikan benar. Sehingga kesepakatan tersebut sifatnya mengikat dan wajib diikuti oleh seluruh umat Islam.
Akan tetapi, apabila banyak terjadi perbedaan pendapat, maka umat Islam wajib mengikuti golongan mayoritas. Ketika para ulama berbeda pendapat, maka mengikuti mayoritas ulama. Dan ketika umat Islam berbeda pendapat, maka mengikuti mayoritas umat Islam.
Hadis itu juga mengisyaratkan, bahwa ketika terjadi perbedaan pendapat dalam masalah fiqhiyah atau furu'iyah, maka dianjurkan mengikuti mazhab jumhur atau mayoritas ulama. Tetapi ketika terjadi perbedaan dalam persoalan akidah atau ushuliyah, seperti perbedaan antara Ahlussunnah Wal-Jamaah, Khawarij, Wahbiyah (rustumiyah), Mu'tazilah, Bahaiyah, Syiah, Qadariyah, Ahmadiyah, Jabarriyah, Wahabiyah (Salafi Hijaz, Salafi Yamani, Manhaj Salaf, Salafi Ikhwani, Salafi Turots, Salafi harakiyah, Salafi lokal dan lain-lain), maka umat Islam wajib mengikuti golongan mayoritas, yaitu Ahlussunnah Waljamaah.
إن أهل الكتابين افترقوا فى دينهم على ثنتين وسبعين ملة وإن هذه الأمة ستفترق على ثلاث وسبعين ملة وكلها فى النار إلا واحدة وهى الجماعة
Artinya: "Dua golongan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) telah terpecah dalam agama mereka menjadi 72 (aliran), dan sungguh umat ini akan terpecah menjadi 73 aliran, semuanya masuk neraka kecuali satu, yaitu (yang berpegang teguh pada) jamaah." (HR Ahmad, at-Thobroni, Hakim)
Maksud dari 72 golongan atau sekte yang disebutkan dalam hadis ini adalah sekte atau aliran yang muncul karena faktor perbedaan pokok-pokok aqidah dan keimanan yang menyelisihi Ahli Sunnah wal Jama'ah, seperti yang disebutkan di atas. (Fathul Bari)
Demikian penjelasan Gus Musa Muhammad. Semoga bermanfaat untuk menambah khazanah kelimuan kita.
Wallahu A'lam
(rhs)