Kisah Lahirnya Ali bin Abi Thalib di Bulan Rajab: Nama Sebelumnya Bermakna Singa
Jum'at, 03 Februari 2023 - 10:18 WIB
Ali bin Abi Thalib lahir pada 13 Rajab 23 SH bertepatan dengan tahun 599 Masehi. Ini adalah 32 tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW . Beliau adalah khalifah keempat, termasuk golongan pemeluk Islam pertama dan salah satu sahabat utama Nabi. Secara silsilah, Ali adalah sepupu dari Nabi Muhammad. Pernikahan Ali dengan Fatimah az-Zahra juga menjadikannya sebagai menantu Nabi Muhammad.
Ali bernama lengkap Ali bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf. Ibunya bernama Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdul Manaf.
Ahmad Abdul'Al Al-Thanthawi dalam bukunya berjudul "150 Qishahmin Hayâti 'Ali ibn Abi Thalib" diterjemahkan Rashid Satari menjadi "150 Kisah Ali Ibn Abi Thalib" (Mizan Pustaka, 2016) mengisahkan pada saat dilahirkan, ibunda Ali memberinya nama “Asad” yang bermakna singa. Sang ibu memberinya nama tersebut karena itu nama ayahnya, Asad ibn Hasyim. Riwayat ini dikuatkan oleh syair yang dilantunkan Ali saat Perang Khaibar:
Aku diberi nama oleh ibuku Haidharah
Seperti singa hutan yang menyeramkan
Haidharah adalah salah satu nama singa. Ketika itu, Abu Thalib tidak ada di tempat. Saat kembali, rupanya dia tidak menyukai nama itu, sehingga dia menggantinya dengan nama “‘Ali”.
Abu Thalib memiliki banyak tanggungan. Oleh karena itu, Rasulullah SAW berkata kepada ‘Abbas ibn ‘Abdul Muthalib, seorang keturunan Bani Hasyim yang paling berkecukupan, “Wahai ‘Abbas, sesungguhnya saudaramu, Abu Thalib, banyak keluarganya, sedang orang-orang sedang ditimpa paceklik sebagaimana yang engkau ketahui.
Karenanya, berangkatlah bersama kami untuk meringankan beban keluarganya! Aku mengambil seorang anaknya dan engkau juga mengambil seorang.”
“Baiklah,” jawab ‘Abbas. Kemudian mereka berangkat hingga keduanya bertemu Abu Thalib, lalu berkata, “Kami ingin meringankan sebagian bebanmu hingga masa-masa sulit yang sedang menimpa manusia ini berlalu.”
Abu Thalib menjawab, “Kalau kalian berdua mau meninggalkan Aqil untukku, silakan kalian lakukan apa yang kalian inginkan.”
Ibnu Hisyam dalam Al-Sîrah Al-Nabawiyyah menceritakan, Rasulullah SAW pun mengambil Ali, sedangkan Abbas mengambil Ja‘far. Ali tetap berada dalam asuhan Rasulullah SAW hingga beliau diutus sebagai nabi.
Ali pun segera mengikuti, mengakui, dan membenarkan kenabian beliau. Demikian pula Ja‘far yang terus berada dalam asuhan Abbas hingga memeluk Islam dan bisa mengurus diri sendiri.
Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Ali ibn Abi Thalib datang ke rumah Nabi Muhammad SAW ketika beliau dan istrinya, Khadijah, sedang sholat. Seusai sholat, Ali bertanya, “Muhammad, apakah yang engkau lakukan itu?”
Nabi SAW menjawab, “Inilah agama Allah dan untuk itu Dia mengutus utusan-Nya. Aku mengajak engkau untuk masuk ke jalan Allah Yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan hendaklah engkau kafir kepada patung Latta dan Uzza.”
Ali berkata, “Sesungguhnya ajakan ini sama sekali belum pernah aku dengar sampai hari ini. Karena itu, aku harus berunding dengan ayahku, Abu Thalib. Sebab, aku tidak dapat memutuskan sesuatu tanpa dia.”
Kala itu, Nabi SAW mencegahnya karena khawatir kabar ajarannya akan menyebar sebelum diperintahkan Allah untuk disiarkan. Beliau berkata, "Ali, jika engkau belum mau masuk Islam, sembunyikanlah dahulu kabar ini!"
Suatu malam, Allah SWT membukakan pintu hati Ali untuk masuk Islam. Dia segera menemui Nabi dan berkata, “Bagaimanakah ajakan yang engkau tawarkan itu, Muhammad?”
Nabi menjawab, “Hendaklah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan tidak ada sekutu bagiNya dan hendaklah engkau kafir terhadap patung Latta dan Uzza.” ‘Ali pun menerima Islam, tetapi masih merahasiakan kepada ayahnya.
Ali bernama lengkap Ali bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf. Ibunya bernama Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdul Manaf.
Ahmad Abdul'Al Al-Thanthawi dalam bukunya berjudul "150 Qishahmin Hayâti 'Ali ibn Abi Thalib" diterjemahkan Rashid Satari menjadi "150 Kisah Ali Ibn Abi Thalib" (Mizan Pustaka, 2016) mengisahkan pada saat dilahirkan, ibunda Ali memberinya nama “Asad” yang bermakna singa. Sang ibu memberinya nama tersebut karena itu nama ayahnya, Asad ibn Hasyim. Riwayat ini dikuatkan oleh syair yang dilantunkan Ali saat Perang Khaibar:
Aku diberi nama oleh ibuku Haidharah
Seperti singa hutan yang menyeramkan
Haidharah adalah salah satu nama singa. Ketika itu, Abu Thalib tidak ada di tempat. Saat kembali, rupanya dia tidak menyukai nama itu, sehingga dia menggantinya dengan nama “‘Ali”.
Abu Thalib memiliki banyak tanggungan. Oleh karena itu, Rasulullah SAW berkata kepada ‘Abbas ibn ‘Abdul Muthalib, seorang keturunan Bani Hasyim yang paling berkecukupan, “Wahai ‘Abbas, sesungguhnya saudaramu, Abu Thalib, banyak keluarganya, sedang orang-orang sedang ditimpa paceklik sebagaimana yang engkau ketahui.
Karenanya, berangkatlah bersama kami untuk meringankan beban keluarganya! Aku mengambil seorang anaknya dan engkau juga mengambil seorang.”
“Baiklah,” jawab ‘Abbas. Kemudian mereka berangkat hingga keduanya bertemu Abu Thalib, lalu berkata, “Kami ingin meringankan sebagian bebanmu hingga masa-masa sulit yang sedang menimpa manusia ini berlalu.”
Abu Thalib menjawab, “Kalau kalian berdua mau meninggalkan Aqil untukku, silakan kalian lakukan apa yang kalian inginkan.”
Ibnu Hisyam dalam Al-Sîrah Al-Nabawiyyah menceritakan, Rasulullah SAW pun mengambil Ali, sedangkan Abbas mengambil Ja‘far. Ali tetap berada dalam asuhan Rasulullah SAW hingga beliau diutus sebagai nabi.
Ali pun segera mengikuti, mengakui, dan membenarkan kenabian beliau. Demikian pula Ja‘far yang terus berada dalam asuhan Abbas hingga memeluk Islam dan bisa mengurus diri sendiri.
Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Ali ibn Abi Thalib datang ke rumah Nabi Muhammad SAW ketika beliau dan istrinya, Khadijah, sedang sholat. Seusai sholat, Ali bertanya, “Muhammad, apakah yang engkau lakukan itu?”
Nabi SAW menjawab, “Inilah agama Allah dan untuk itu Dia mengutus utusan-Nya. Aku mengajak engkau untuk masuk ke jalan Allah Yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan hendaklah engkau kafir kepada patung Latta dan Uzza.”
Ali berkata, “Sesungguhnya ajakan ini sama sekali belum pernah aku dengar sampai hari ini. Karena itu, aku harus berunding dengan ayahku, Abu Thalib. Sebab, aku tidak dapat memutuskan sesuatu tanpa dia.”
Kala itu, Nabi SAW mencegahnya karena khawatir kabar ajarannya akan menyebar sebelum diperintahkan Allah untuk disiarkan. Beliau berkata, "Ali, jika engkau belum mau masuk Islam, sembunyikanlah dahulu kabar ini!"
Suatu malam, Allah SWT membukakan pintu hati Ali untuk masuk Islam. Dia segera menemui Nabi dan berkata, “Bagaimanakah ajakan yang engkau tawarkan itu, Muhammad?”
Nabi menjawab, “Hendaklah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan tidak ada sekutu bagiNya dan hendaklah engkau kafir terhadap patung Latta dan Uzza.” ‘Ali pun menerima Islam, tetapi masih merahasiakan kepada ayahnya.