6 Pandangan Menyikapi Takdir Menurut Imam Ibnul Qayyim
Kamis, 16 Februari 2023 - 09:31 WIB
Hikmah-Nya menuntut menakdirkan kejadian itu, tidaklah Dia menakdirkan begitu saja tanpa tujuan dan tidaklah pula Dia memutuskan suatu ketentuan takdir dengan tanpa hikmah. Ada alasan di balik tiap peristiwa. Di situlah hikmah Allah berada. Sayangnya, hikmah dan alasan tersebut tidak selalu diketahui oleh seorang hamba. Walau demikian, ketidaktahuan ini janganlah jadi penghalangan bagi kita agar senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Sebagaimana kita tahu, Allah Maha Bijaksana dalam menetapkan takdir bagi tiap makhluknya.
Allah Ta'ala berfirman,
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mukminuun: 115).
Allah juga befirman, “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS Al-Qiyaamah: 36).
5.Pandangan pujian
Bahwa Allah Ta'ala terpuji dengan pujian sempurna atas penakdiran kejadian tersebut, dari segala sisi. Maksudnya, Allah terpuji dari segala sisi, terpuji dzat, nama, sifat, maupun perbuatan-Nya. Termasuk juga terpuji dalam menakdirkan suatu takdir yang pahit, karena takdir tersebut berdasarkan ilmu dan hikmah-Nya.
Allah Ta'ala berfirman,
“Do’a mereka di dalamnya ialah subhanakallahumma dan salam penghormatan mereka ialah salam. Dan penutup doa mereka ialah segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam.” (QS Yunus: 10).
6. Pandangan peribadatan
Bahwa orang yang menjalani takdir yang buruk itu adalah sekadar hamba semata dari segala sisi, maka berlaku atasnya hukum-hukum Sang Pemiliknya, dan berlaku pula takdir-Nya atasnya sebagai milik dan hamba-Nya, maka Dia mengaturnya di bawah hukum takdir-Nya sebagaimana mengaturnya pula di bawah hukum Syar’i-Nya. Jadi, orang tersebut merupakan hamba yang berlaku atasnya hukum-hukum ini semuanya.
Seorang mukmin hendaknya meyakini bahwa ia hanyalah milik Allah sehingga ia percaya bahwa Allah berhak mengaturnya dengan bentuk pengaturan bagaimanapun. Ia ridha dengan segala pengaturan dan takdir yang diputukan atasnya. Sikap seperti inilah yang dimaksud benar-benar menghamba kepada Allah semata.
Dalam keadaan bagaimanapun, seorang mukmin sadar bahwa dirinya seorang hamba yang dituntut untuk mempersembahkan ibadahnya dan penghambaan kepada Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana dalam keadaan senang dan lapang, seorang hamba tetap dituntut untuk peribadah dan menyembah kepada-Nya.
Allah Ta'ala berfirman,
“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (QS Maryam: 93).
Wallahu A'lam
Allah Ta'ala berfirman,
اَفَحَسِبۡتُمۡ اَنَّمَا خَلَقۡنٰكُمۡ عَبَثًا وَّاَنَّكُمۡ اِلَيۡنَا لَا تُرۡجَعُوۡنَ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mukminuun: 115).
Allah juga befirman, “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS Al-Qiyaamah: 36).
5.Pandangan pujian
Bahwa Allah Ta'ala terpuji dengan pujian sempurna atas penakdiran kejadian tersebut, dari segala sisi. Maksudnya, Allah terpuji dari segala sisi, terpuji dzat, nama, sifat, maupun perbuatan-Nya. Termasuk juga terpuji dalam menakdirkan suatu takdir yang pahit, karena takdir tersebut berdasarkan ilmu dan hikmah-Nya.
Allah Ta'ala berfirman,
دَعْوَىٰهُمْ فِيهَا سُبْحَٰنَكَ ٱللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَٰمٌ ۚ وَءَاخِرُ دَعْوَىٰهُمْ أَنِ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
“Do’a mereka di dalamnya ialah subhanakallahumma dan salam penghormatan mereka ialah salam. Dan penutup doa mereka ialah segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam.” (QS Yunus: 10).
6. Pandangan peribadatan
Bahwa orang yang menjalani takdir yang buruk itu adalah sekadar hamba semata dari segala sisi, maka berlaku atasnya hukum-hukum Sang Pemiliknya, dan berlaku pula takdir-Nya atasnya sebagai milik dan hamba-Nya, maka Dia mengaturnya di bawah hukum takdir-Nya sebagaimana mengaturnya pula di bawah hukum Syar’i-Nya. Jadi, orang tersebut merupakan hamba yang berlaku atasnya hukum-hukum ini semuanya.
Seorang mukmin hendaknya meyakini bahwa ia hanyalah milik Allah sehingga ia percaya bahwa Allah berhak mengaturnya dengan bentuk pengaturan bagaimanapun. Ia ridha dengan segala pengaturan dan takdir yang diputukan atasnya. Sikap seperti inilah yang dimaksud benar-benar menghamba kepada Allah semata.
Dalam keadaan bagaimanapun, seorang mukmin sadar bahwa dirinya seorang hamba yang dituntut untuk mempersembahkan ibadahnya dan penghambaan kepada Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana dalam keadaan senang dan lapang, seorang hamba tetap dituntut untuk peribadah dan menyembah kepada-Nya.
Allah Ta'ala berfirman,
إِن كُلُّ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ إِلَّآ ءَاتِى ٱلرَّحْمَٰنِ عَبْدًا
“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (QS Maryam: 93).
Wallahu A'lam
(wid)