Menegakkan Akidah Islam: Belajar dari Sultan Muhammad Al-Fatih
Kamis, 16 Juli 2020 - 13:14 WIB
Masyarakat itu juga mendidik generasi Islam untuk memiliki akidah tersebut dan berusaha menghalau pemikiran-pemikiran yang tidak benar dan syubhat yang menyesatkan.
Ia juga berupaya menampakkan (memperjelas) keutamaan-keutamaan akidah dan pengaruhnya dalam kehidupan individu maupun sosial dengan (melalui) alat komunikasi yang berpengaruh dalam masyarakat.
Jadi menegakkan akidah dalam masyarakat Islam bukan dengan cara memaksa nonmuslim untuk keluar dari akidah mereka.
Maksud dari tegaknya masyarakat di atas akidah Islam adalah bahwa masyarakat Islam itu bukanlah masyarakat yang terlepas dari segala ikatan, tetapi masyarakat yang komitmen dengan akidah Islam.
Bukan masyarakat penyembah berhala, dan bukan masyarakat Yahudi atau Nasrani, bukan pula masyarakat liberal atau masyarakat Sosialis Marxisme, tetapi ia adalah masyarakat yang bertumpu pada akidah tauhid atau akidah Islam, di mana akidah Islam itu selalu tinggi dan tidak ada yang menandingi.
"Islam tidak menerima jika kalian berada di masyarakat sementara kalian tidak berperan apa pun, dan tidak rela mengganti akidah yang lain dengan akidah Islamnya, sehingga bisa meluruskan pandangan manusia terhadap Allah, manusia, alam semesta dan kehidupan," tutur Yusuf Qardhawi.
Bukanlah dikatakan masyarakat Islam itu masyarakat yang menyembunyikan asma"Allah" dalam arahan-arahannya, kemudian menggantinya dengan nama 'Alam".
Sebagai contoh terkadang kita katakan bahwa sungai-sungai adalah pemberian alam, hutan juga pemberian alam, alam itulah yang menciptakan dan yang mengembangkan segala sesuatu, bukan Allah yang menciptakan segala sesuatu, Rabb segala sesuatu dan pengatur segala sesuatu.
Sesungguhnya pandangan masyarakat Barat terhadap masalah ketuhanan dan kaitannya dengan alam semesta adalah bahwa Allah telah menciptakan alam, kemudian membiarkannya, maka tidak ada yang mengatur, tidak ada yang menguasai.
Persepsi seperti ini mirip dengan persepsi yang diambil dari para filosof Yunani terhadap masalah ketuhanan, terutama Aristoteles yang tidak mengenal tuhan kecuali bagian dari dirinya, adapun pandangannya tentang alam, alam itu tidak ada yang mengatur dan tidak dikenal baik atau buruk dari tuhan. Dan yang lehih aneh dari pada itu adalah filsafat Aflathun yang tidak mengenal Tuhan sedikit pun, hingga dari dirinya.
Adapun persepsi masyarakat Islam tentang ketuhanan, maka itu tergambar dalam Surat Al Hadid ayat 1-6 berikut ini:
سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِۚ وَهُوَ الۡعَزِيۡزُ الۡحَكِيۡمُ
1. Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
لَهٗ مُلۡكُ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِۚ يُحۡىٖ وَيُمِيۡتُۚ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَىۡءٍ قَدِيۡرٌ
2. Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
هُوَ الۡاَوَّلُ وَالۡاٰخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالۡبَاطِنُۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيۡمٌ
Ia juga berupaya menampakkan (memperjelas) keutamaan-keutamaan akidah dan pengaruhnya dalam kehidupan individu maupun sosial dengan (melalui) alat komunikasi yang berpengaruh dalam masyarakat.
Jadi menegakkan akidah dalam masyarakat Islam bukan dengan cara memaksa nonmuslim untuk keluar dari akidah mereka.
Maksud dari tegaknya masyarakat di atas akidah Islam adalah bahwa masyarakat Islam itu bukanlah masyarakat yang terlepas dari segala ikatan, tetapi masyarakat yang komitmen dengan akidah Islam.
Bukan masyarakat penyembah berhala, dan bukan masyarakat Yahudi atau Nasrani, bukan pula masyarakat liberal atau masyarakat Sosialis Marxisme, tetapi ia adalah masyarakat yang bertumpu pada akidah tauhid atau akidah Islam, di mana akidah Islam itu selalu tinggi dan tidak ada yang menandingi.
"Islam tidak menerima jika kalian berada di masyarakat sementara kalian tidak berperan apa pun, dan tidak rela mengganti akidah yang lain dengan akidah Islamnya, sehingga bisa meluruskan pandangan manusia terhadap Allah, manusia, alam semesta dan kehidupan," tutur Yusuf Qardhawi.
Bukanlah dikatakan masyarakat Islam itu masyarakat yang menyembunyikan asma"Allah" dalam arahan-arahannya, kemudian menggantinya dengan nama 'Alam".
Sebagai contoh terkadang kita katakan bahwa sungai-sungai adalah pemberian alam, hutan juga pemberian alam, alam itulah yang menciptakan dan yang mengembangkan segala sesuatu, bukan Allah yang menciptakan segala sesuatu, Rabb segala sesuatu dan pengatur segala sesuatu.
Sesungguhnya pandangan masyarakat Barat terhadap masalah ketuhanan dan kaitannya dengan alam semesta adalah bahwa Allah telah menciptakan alam, kemudian membiarkannya, maka tidak ada yang mengatur, tidak ada yang menguasai.
Persepsi seperti ini mirip dengan persepsi yang diambil dari para filosof Yunani terhadap masalah ketuhanan, terutama Aristoteles yang tidak mengenal tuhan kecuali bagian dari dirinya, adapun pandangannya tentang alam, alam itu tidak ada yang mengatur dan tidak dikenal baik atau buruk dari tuhan. Dan yang lehih aneh dari pada itu adalah filsafat Aflathun yang tidak mengenal Tuhan sedikit pun, hingga dari dirinya.
Adapun persepsi masyarakat Islam tentang ketuhanan, maka itu tergambar dalam Surat Al Hadid ayat 1-6 berikut ini:
سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِۚ وَهُوَ الۡعَزِيۡزُ الۡحَكِيۡمُ
1. Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
لَهٗ مُلۡكُ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِۚ يُحۡىٖ وَيُمِيۡتُۚ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَىۡءٍ قَدِيۡرٌ
2. Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
هُوَ الۡاَوَّلُ وَالۡاٰخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالۡبَاطِنُۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيۡمٌ