Menegakkan Akidah Islam: Belajar dari Sultan Muhammad Al-Fatih
Kamis, 16 Juli 2020 - 13:14 WIB
PADA 29 Mei 1453, pasukan muslim di bawah pimpinan Sultan Muhammad Al-Fatih atau Mehmed II berhasil menjebol pertahanan Byzantium. Konstantinopel telah jatuh. Penduduk kota berbondong-bondong berkumpul di Hagia Sophia . Sultan Muhammad II memberi perlindungan kepada semua penduduk, siapapun, baik Islam, Yahudi ataupun Kristen .
Hagia Sophia pun akhirnya dijadikan masjid dan gereja-gereja lain tetap sebagaimana fungsinya bagi penganutnya. Toleransi tetap ditegakkan, siapa pun boleh tinggal dan mencari nafkah di kota tersebut.
Sultan kemudian membangun kembali kota, membangun sekolah, terutama sekolah untuk kepentingan administratif kota, secara gratis, siapa pun boleh belajar. Tak ada perbedaan terhadap agama, membangun pasar, membangun perumahan. Bahkan rumah diberikan gratis kepada para pendatang yang bersedia tinggal dan mencari nafkah di reruntuhan kota Byzantium tersebut.
Hingga akhirnya kota tersebut diubah menjadi Islambul yang belakangan berubah menjadi Istanbul. ( )
Sebagai catatan, bahwa sebelum menggempur Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih mengirim utusan kepada Kaisar Byzantium terlebih dahulu. Beliau meminta agar kaisar tunduk di bawah kekuasaan Islam secara damai.
Muhammad Said Mursi dalam Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah menyebutkan “Al-Fatih mengirimkan utusan kepada Kaisar Romawi agar mau menyerah, tetapi dia menolak. ( )
Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah mengungkap seruan Muhammad Al-Fatih agar Kaisar Byzantium menyerahkan kota Konstantinopel secara damai sebagai berikut:
“Hendaklah kaisar kalian menyerahkan kota Konstantinopel kepada saya. Dan saya bersumpah, tentara saya tidak akan melakukan tindakan jahat apapun pada kalian, atas jiwa dan harta kalian. Barang siapa yang ingin tetap tinggal di kota ini, maka tetaplah dia tinggal dengan damai dan aman. Dan barang siapa yang ingin meningggalkannya, maka tinggalkanlah dengan aman dan damai pula.”( )
Menurut Muhammad Said Mursi, setelah melihat kebulatan tekad Muhammad Al-Fatih untuk menaklukan Konstantinopel Kaisar Konstantine lebih memilih untuk mempertahankan kota itu dari pada menyerahkan kota tersebut kepada pasukan Islam, sehingga pasukan Utsmaniyah terus menggempur Konstantinopel.
Menegakkan Akidah
Al-Fatih memberi contoh bagaimana membangun masyarakat Islam di atas dasar akidah Islamiyah bukan dengan cara memaksa orang-orang nonmuslim untuk meninggalkan akidah mereka.
Tidak! Hal ini tidak pernah terlintas dalam benak seorang Muslim terdahulu dan tidak akan terlintas di benak mereka untuk selamanya. Bukankah lslam telah mengumumkan dengan kata-kata yang jelas
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesunggahnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan sesat." (Al Baqarah: 256)
Sejarah telah membuktikan bahwa sesungguhnya masyarakat Islam pada masa-masa keemasannya adalah masyarakat yang paling toleran terhadap para penentangnya dalam akidah. Fakta ini diperkuat oleh banyak pernyataan kesaksian orang-orang di luar islam sendiri.
Akidah Syahadat
Yusuf Qardhawi dalam Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah (Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh) menyebutkan akidah yang tegak di atas masyarakat Islam, yaitu akidah "Laa ilaaha illallah Muhammadan Rasuulullah."
Makna dari ungkapan tersebut adalah bahwa masyarakat Islam benar-benar memuliakan dan menghargai akidah itu dan berusaha untuk memperkuat akidah tersebut di dalam akal maupun hati.
Masyarakat itu juga mendidik generasi Islam untuk memiliki akidah tersebut dan berusaha menghalau pemikiran-pemikiran yang tidak benar dan syubhat yang menyesatkan.
Ia juga berupaya menampakkan (memperjelas) keutamaan-keutamaan akidah dan pengaruhnya dalam kehidupan individu maupun sosial dengan (melalui) alat komunikasi yang berpengaruh dalam masyarakat.
Jadi menegakkan akidah dalam masyarakat Islam bukan dengan cara memaksa nonmuslim untuk keluar dari akidah mereka.
Maksud dari tegaknya masyarakat di atas akidah Islam adalah bahwa masyarakat Islam itu bukanlah masyarakat yang terlepas dari segala ikatan, tetapi masyarakat yang komitmen dengan akidah Islam.
Bukan masyarakat penyembah berhala, dan bukan masyarakat Yahudi atau Nasrani, bukan pula masyarakat liberal atau masyarakat Sosialis Marxisme, tetapi ia adalah masyarakat yang bertumpu pada akidah tauhid atau akidah Islam, di mana akidah Islam itu selalu tinggi dan tidak ada yang menandingi.
"Islam tidak menerima jika kalian berada di masyarakat sementara kalian tidak berperan apa pun, dan tidak rela mengganti akidah yang lain dengan akidah Islamnya, sehingga bisa meluruskan pandangan manusia terhadap Allah, manusia, alam semesta dan kehidupan," tutur Yusuf Qardhawi.
Bukanlah dikatakan masyarakat Islam itu masyarakat yang menyembunyikan asma"Allah" dalam arahan-arahannya, kemudian menggantinya dengan nama 'Alam".
Sebagai contoh terkadang kita katakan bahwa sungai-sungai adalah pemberian alam, hutan juga pemberian alam, alam itulah yang menciptakan dan yang mengembangkan segala sesuatu, bukan Allah yang menciptakan segala sesuatu, Rabb segala sesuatu dan pengatur segala sesuatu.
Sesungguhnya pandangan masyarakat Barat terhadap masalah ketuhanan dan kaitannya dengan alam semesta adalah bahwa Allah telah menciptakan alam, kemudian membiarkannya, maka tidak ada yang mengatur, tidak ada yang menguasai.
Persepsi seperti ini mirip dengan persepsi yang diambil dari para filosof Yunani terhadap masalah ketuhanan, terutama Aristoteles yang tidak mengenal tuhan kecuali bagian dari dirinya, adapun pandangannya tentang alam, alam itu tidak ada yang mengatur dan tidak dikenal baik atau buruk dari tuhan. Dan yang lehih aneh dari pada itu adalah filsafat Aflathun yang tidak mengenal Tuhan sedikit pun, hingga dari dirinya.
Adapun persepsi masyarakat Islam tentang ketuhanan, maka itu tergambar dalam Surat Al Hadid ayat 1-6 berikut ini:
سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِۚ وَهُوَ الۡعَزِيۡزُ الۡحَكِيۡمُ
1. Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
لَهٗ مُلۡكُ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِۚ يُحۡىٖ وَيُمِيۡتُۚ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَىۡءٍ قَدِيۡرٌ
2. Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
هُوَ الۡاَوَّلُ وَالۡاٰخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالۡبَاطِنُۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيۡمٌ
3. Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
هُوَ الَّذِىۡ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضَ فِىۡ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسۡتَوٰى عَلَى الۡعَرۡشِؕ يَعۡلَمُ مَا يَلِجُ فِى الۡاَرۡضِ وَمَا يَخۡرُجُ مِنۡهَا وَمَا يَنۡزِلُ مِنَ السَّمَآءِ وَمَا يَعۡرُجُ فِيۡهَاؕ وَهُوَ مَعَكُمۡ اَيۡنَ مَا كُنۡتُمۡؕ وَاللّٰهُ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ بَصِيۡرٌ
4. Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
لَهٗ مُلۡكُ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِؕ وَاِلَى اللّٰهِ تُرۡجَعُ الۡاُمُوۡرُ
5. Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan.
يُوۡلِجُ الَّيۡلَ فِى النَّهَارِ وَيُوۡلِجُ النَّهَارَ فِى الَّيۡلِؕ وَهُوَ عَلِيۡمٌۢ بِذَاتِ الصُّدُوۡرِ
6. Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati.
Qardhawi mengatakan bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang mana pemahaman iman kepada Allah dan hari kemudian menjadi kendor, kemudian diganti dengan keyakinan terhadap aliran Wujudiyah, Qaumiyah atau Wathaniyah (kebangsaan atau Nasionalis), atau yang selain itu dari berhala-herhala yang disembah oleh manusia di sana sini, dari selain Allah atau bersama Allah, meskipun mereka tidak menamakan itu semua sebagai tuhan-tuhan mereka.
Bukan pula masyarakat Islam, masyarakat yang menyembunyikan nama "Muhammad" yang semestinya dianggap sebagai muwajjih yang ma'shum dan uswah yang ditaati, lalu membanggakan nama "Marx" dan "Lenin" atau yang lainnya dari para pemikir timur dan barat.
Bukan pula masyarakat Islam itu masyarakat yang mengabaikan kitab Allah Al Qur'an yang semestinya menjadi sumber petunjuk, sumber perundang-undangan dan hukum, kemudian memperhatikan kitab-kilab yang lainnya dan mengkultuskannya, dan menjadikan kitab-kitab itu sebagai rujukan pemikiran, perundang-undangan dan sistem perilaku atau diambil dari kitab-kitab itu nilai dan standar kehidupan.
Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang Allah, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya dihina (lecehkan) sementara manusianya diam terhadap kekufuran yang nyata ini, mereka tidak mampu memberikan pengajaran kepada orang yang kafir dan murtad atau menggertak orang zindiq yang menyeleweng.
Bukan pula masyarakat Islam itu masyarakat yang menjadikan masalah akidah sebagai masalah sampingan dalam kehidupan ini, sehingga tidak dijadikan sebagai asas dari sistem pendidikan dan pengajaran, sistem pemikiran, sistem penerangan dan pengarahan' tidak pula dalam proses perubahan secara umum kecuali hanya bagian terkecil dan terbatas. Maka aqidah bukanlah pengarah dan penggerak yang pertama, dan bukan pula pengaruh yang pertama dalam kehidupan individu, keluarga maupun kemasyarakatan, akan tetapi aqidah dijadikan nomor dua dan ditempatkan di belakang, itupun kalau memang masih ada tempat.
Aqidah dalam kehidupan masyarakat Islam pertama yang telah dibina oleh Rasulullah SAW dan diwarisi oleh para sahabat dan tabi'in adalah merupakan motivasi, pengarah dan hal pertama yang mewarnai dalam kehidupan mereka, dan akhirnya dia menjadi ikatan pemersatu.
Aqidah merupakan sumber persepsi dan pemikiran. Aqidah juga merupakan asas keterikatan dan persatuan, asas hukum dan syari'at, sebagai motor penggerak dalam berharakah, ia juga merupakan sumber keutamaan dan akhlaq. Aqidah itulah yang telah mencetak para pahlawan (pejuang) di medan jihad dan untuk mencari syahid serta menempa setiap jiwa untuk berkurban dan itsar.
Demikianlah aqidah dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Islam yang pertama dan demikianlah hendaknya pengaruh aqidah dalam setiap masyarakat yang menginginkan menjadi masyarakat Islam, saat ini dan di masa yang akan datang.
Sesungguhnya aqidah Islamiyah dengan segala rukun dan karakteristiknya adalah merupakan dasar yang kokoh untuk membangun masyarakat yang kuat, karena itu bangunan yang tidak tegak di atas aqidah Islamiyah maka sama dengan membangun di atas pasir yang mudah runtuh.
Lebih buruk dari itu apabila bangunan yang mengaku Islam, ternyata berdiri di atas fondasi selain aqidah Islam, meskipun telah ditulis di papan nama dengan nama Islam, maka sesungguhnya itu merupakan pemalsuan di dalam materi dasar bangunan yang tidak menutup kemungkinan bangunan itu akan berakibat ambruk seluruhnya dan menimpa orangorang yang ada di dalamnya. Allah SWT berfirman:
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ تَقْوَىٰ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
"Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridlaan (Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama dengan dia ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dzalim." (At-Taubah: 109)
Inilah perhatian setiap masyarakat yang berideologi, maka sudah semestinya jika masyarakat Islam menjadi cermin yang akan memproyeksikan akidah dan keimanannya serta pandangannya terhadap alam, manusia dan kehidupan dan pandangannya terhadap Sang Pencipta yang memberikan kehidupan.
Hagia Sophia pun akhirnya dijadikan masjid dan gereja-gereja lain tetap sebagaimana fungsinya bagi penganutnya. Toleransi tetap ditegakkan, siapa pun boleh tinggal dan mencari nafkah di kota tersebut.
Sultan kemudian membangun kembali kota, membangun sekolah, terutama sekolah untuk kepentingan administratif kota, secara gratis, siapa pun boleh belajar. Tak ada perbedaan terhadap agama, membangun pasar, membangun perumahan. Bahkan rumah diberikan gratis kepada para pendatang yang bersedia tinggal dan mencari nafkah di reruntuhan kota Byzantium tersebut.
Hingga akhirnya kota tersebut diubah menjadi Islambul yang belakangan berubah menjadi Istanbul. ( )
Sebagai catatan, bahwa sebelum menggempur Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih mengirim utusan kepada Kaisar Byzantium terlebih dahulu. Beliau meminta agar kaisar tunduk di bawah kekuasaan Islam secara damai.
Muhammad Said Mursi dalam Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah menyebutkan “Al-Fatih mengirimkan utusan kepada Kaisar Romawi agar mau menyerah, tetapi dia menolak. ( )
Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah mengungkap seruan Muhammad Al-Fatih agar Kaisar Byzantium menyerahkan kota Konstantinopel secara damai sebagai berikut:
“Hendaklah kaisar kalian menyerahkan kota Konstantinopel kepada saya. Dan saya bersumpah, tentara saya tidak akan melakukan tindakan jahat apapun pada kalian, atas jiwa dan harta kalian. Barang siapa yang ingin tetap tinggal di kota ini, maka tetaplah dia tinggal dengan damai dan aman. Dan barang siapa yang ingin meningggalkannya, maka tinggalkanlah dengan aman dan damai pula.”( )
Menurut Muhammad Said Mursi, setelah melihat kebulatan tekad Muhammad Al-Fatih untuk menaklukan Konstantinopel Kaisar Konstantine lebih memilih untuk mempertahankan kota itu dari pada menyerahkan kota tersebut kepada pasukan Islam, sehingga pasukan Utsmaniyah terus menggempur Konstantinopel.
Menegakkan Akidah
Al-Fatih memberi contoh bagaimana membangun masyarakat Islam di atas dasar akidah Islamiyah bukan dengan cara memaksa orang-orang nonmuslim untuk meninggalkan akidah mereka.
Tidak! Hal ini tidak pernah terlintas dalam benak seorang Muslim terdahulu dan tidak akan terlintas di benak mereka untuk selamanya. Bukankah lslam telah mengumumkan dengan kata-kata yang jelas
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesunggahnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan sesat." (Al Baqarah: 256)
Sejarah telah membuktikan bahwa sesungguhnya masyarakat Islam pada masa-masa keemasannya adalah masyarakat yang paling toleran terhadap para penentangnya dalam akidah. Fakta ini diperkuat oleh banyak pernyataan kesaksian orang-orang di luar islam sendiri.
Akidah Syahadat
Yusuf Qardhawi dalam Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah (Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh) menyebutkan akidah yang tegak di atas masyarakat Islam, yaitu akidah "Laa ilaaha illallah Muhammadan Rasuulullah."
Makna dari ungkapan tersebut adalah bahwa masyarakat Islam benar-benar memuliakan dan menghargai akidah itu dan berusaha untuk memperkuat akidah tersebut di dalam akal maupun hati.
Masyarakat itu juga mendidik generasi Islam untuk memiliki akidah tersebut dan berusaha menghalau pemikiran-pemikiran yang tidak benar dan syubhat yang menyesatkan.
Ia juga berupaya menampakkan (memperjelas) keutamaan-keutamaan akidah dan pengaruhnya dalam kehidupan individu maupun sosial dengan (melalui) alat komunikasi yang berpengaruh dalam masyarakat.
Jadi menegakkan akidah dalam masyarakat Islam bukan dengan cara memaksa nonmuslim untuk keluar dari akidah mereka.
Maksud dari tegaknya masyarakat di atas akidah Islam adalah bahwa masyarakat Islam itu bukanlah masyarakat yang terlepas dari segala ikatan, tetapi masyarakat yang komitmen dengan akidah Islam.
Bukan masyarakat penyembah berhala, dan bukan masyarakat Yahudi atau Nasrani, bukan pula masyarakat liberal atau masyarakat Sosialis Marxisme, tetapi ia adalah masyarakat yang bertumpu pada akidah tauhid atau akidah Islam, di mana akidah Islam itu selalu tinggi dan tidak ada yang menandingi.
"Islam tidak menerima jika kalian berada di masyarakat sementara kalian tidak berperan apa pun, dan tidak rela mengganti akidah yang lain dengan akidah Islamnya, sehingga bisa meluruskan pandangan manusia terhadap Allah, manusia, alam semesta dan kehidupan," tutur Yusuf Qardhawi.
Bukanlah dikatakan masyarakat Islam itu masyarakat yang menyembunyikan asma"Allah" dalam arahan-arahannya, kemudian menggantinya dengan nama 'Alam".
Sebagai contoh terkadang kita katakan bahwa sungai-sungai adalah pemberian alam, hutan juga pemberian alam, alam itulah yang menciptakan dan yang mengembangkan segala sesuatu, bukan Allah yang menciptakan segala sesuatu, Rabb segala sesuatu dan pengatur segala sesuatu.
Sesungguhnya pandangan masyarakat Barat terhadap masalah ketuhanan dan kaitannya dengan alam semesta adalah bahwa Allah telah menciptakan alam, kemudian membiarkannya, maka tidak ada yang mengatur, tidak ada yang menguasai.
Persepsi seperti ini mirip dengan persepsi yang diambil dari para filosof Yunani terhadap masalah ketuhanan, terutama Aristoteles yang tidak mengenal tuhan kecuali bagian dari dirinya, adapun pandangannya tentang alam, alam itu tidak ada yang mengatur dan tidak dikenal baik atau buruk dari tuhan. Dan yang lehih aneh dari pada itu adalah filsafat Aflathun yang tidak mengenal Tuhan sedikit pun, hingga dari dirinya.
Adapun persepsi masyarakat Islam tentang ketuhanan, maka itu tergambar dalam Surat Al Hadid ayat 1-6 berikut ini:
سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِۚ وَهُوَ الۡعَزِيۡزُ الۡحَكِيۡمُ
1. Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
لَهٗ مُلۡكُ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِۚ يُحۡىٖ وَيُمِيۡتُۚ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَىۡءٍ قَدِيۡرٌ
2. Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
هُوَ الۡاَوَّلُ وَالۡاٰخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالۡبَاطِنُۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيۡمٌ
3. Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
هُوَ الَّذِىۡ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضَ فِىۡ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسۡتَوٰى عَلَى الۡعَرۡشِؕ يَعۡلَمُ مَا يَلِجُ فِى الۡاَرۡضِ وَمَا يَخۡرُجُ مِنۡهَا وَمَا يَنۡزِلُ مِنَ السَّمَآءِ وَمَا يَعۡرُجُ فِيۡهَاؕ وَهُوَ مَعَكُمۡ اَيۡنَ مَا كُنۡتُمۡؕ وَاللّٰهُ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ بَصِيۡرٌ
4. Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
لَهٗ مُلۡكُ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِؕ وَاِلَى اللّٰهِ تُرۡجَعُ الۡاُمُوۡرُ
5. Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan.
يُوۡلِجُ الَّيۡلَ فِى النَّهَارِ وَيُوۡلِجُ النَّهَارَ فِى الَّيۡلِؕ وَهُوَ عَلِيۡمٌۢ بِذَاتِ الصُّدُوۡرِ
6. Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati.
Qardhawi mengatakan bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang mana pemahaman iman kepada Allah dan hari kemudian menjadi kendor, kemudian diganti dengan keyakinan terhadap aliran Wujudiyah, Qaumiyah atau Wathaniyah (kebangsaan atau Nasionalis), atau yang selain itu dari berhala-herhala yang disembah oleh manusia di sana sini, dari selain Allah atau bersama Allah, meskipun mereka tidak menamakan itu semua sebagai tuhan-tuhan mereka.
Bukan pula masyarakat Islam, masyarakat yang menyembunyikan nama "Muhammad" yang semestinya dianggap sebagai muwajjih yang ma'shum dan uswah yang ditaati, lalu membanggakan nama "Marx" dan "Lenin" atau yang lainnya dari para pemikir timur dan barat.
Bukan pula masyarakat Islam itu masyarakat yang mengabaikan kitab Allah Al Qur'an yang semestinya menjadi sumber petunjuk, sumber perundang-undangan dan hukum, kemudian memperhatikan kitab-kilab yang lainnya dan mengkultuskannya, dan menjadikan kitab-kitab itu sebagai rujukan pemikiran, perundang-undangan dan sistem perilaku atau diambil dari kitab-kitab itu nilai dan standar kehidupan.
Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang Allah, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya dihina (lecehkan) sementara manusianya diam terhadap kekufuran yang nyata ini, mereka tidak mampu memberikan pengajaran kepada orang yang kafir dan murtad atau menggertak orang zindiq yang menyeleweng.
Bukan pula masyarakat Islam itu masyarakat yang menjadikan masalah akidah sebagai masalah sampingan dalam kehidupan ini, sehingga tidak dijadikan sebagai asas dari sistem pendidikan dan pengajaran, sistem pemikiran, sistem penerangan dan pengarahan' tidak pula dalam proses perubahan secara umum kecuali hanya bagian terkecil dan terbatas. Maka aqidah bukanlah pengarah dan penggerak yang pertama, dan bukan pula pengaruh yang pertama dalam kehidupan individu, keluarga maupun kemasyarakatan, akan tetapi aqidah dijadikan nomor dua dan ditempatkan di belakang, itupun kalau memang masih ada tempat.
Aqidah dalam kehidupan masyarakat Islam pertama yang telah dibina oleh Rasulullah SAW dan diwarisi oleh para sahabat dan tabi'in adalah merupakan motivasi, pengarah dan hal pertama yang mewarnai dalam kehidupan mereka, dan akhirnya dia menjadi ikatan pemersatu.
Aqidah merupakan sumber persepsi dan pemikiran. Aqidah juga merupakan asas keterikatan dan persatuan, asas hukum dan syari'at, sebagai motor penggerak dalam berharakah, ia juga merupakan sumber keutamaan dan akhlaq. Aqidah itulah yang telah mencetak para pahlawan (pejuang) di medan jihad dan untuk mencari syahid serta menempa setiap jiwa untuk berkurban dan itsar.
Demikianlah aqidah dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Islam yang pertama dan demikianlah hendaknya pengaruh aqidah dalam setiap masyarakat yang menginginkan menjadi masyarakat Islam, saat ini dan di masa yang akan datang.
Sesungguhnya aqidah Islamiyah dengan segala rukun dan karakteristiknya adalah merupakan dasar yang kokoh untuk membangun masyarakat yang kuat, karena itu bangunan yang tidak tegak di atas aqidah Islamiyah maka sama dengan membangun di atas pasir yang mudah runtuh.
Lebih buruk dari itu apabila bangunan yang mengaku Islam, ternyata berdiri di atas fondasi selain aqidah Islam, meskipun telah ditulis di papan nama dengan nama Islam, maka sesungguhnya itu merupakan pemalsuan di dalam materi dasar bangunan yang tidak menutup kemungkinan bangunan itu akan berakibat ambruk seluruhnya dan menimpa orangorang yang ada di dalamnya. Allah SWT berfirman:
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ تَقْوَىٰ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
"Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridlaan (Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama dengan dia ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dzalim." (At-Taubah: 109)
Inilah perhatian setiap masyarakat yang berideologi, maka sudah semestinya jika masyarakat Islam menjadi cermin yang akan memproyeksikan akidah dan keimanannya serta pandangannya terhadap alam, manusia dan kehidupan dan pandangannya terhadap Sang Pencipta yang memberikan kehidupan.
(mhy)