Kelompok yang Boleh Tidak Berpuasa Ramadan, Siapakah Mereka?
Kamis, 16 Maret 2023 - 14:30 WIB
Menjalankan Puasa Ramadan adalah wajib bagi seluruh umat Islam yang sudah baligh. Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kemudahan dan tidak menginginkan kesulitan bagi hamba-Nya yang memang disyaratkan tidak bisa menjalankan ibadah puasa Ramadan tersebut. Siapa saja mereka? Apa dalilnya?
Berikut kelompok-kelompok orang yang boleh tidak menjalankan puasa Ramadan , yakni:
1. Kelompok musafir
Telah diriwayatkan hadis-hadis yang shahih dalam perkara ini, yaitu seorang musafir boleh untuk memilih di dalam berpuasa. Kita tidak melupakan bahwa rahmat Tuhan ini telah disebutkan di dalam Al-Qur’an yang Mulia, Allah Ta'ala berfirman:
“Dan barangsiapa yang sakit dari kalian atau bepergian, hendaklah dia berbuka dan mengqadha’ dilain hari. Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kemudahan dan tidak tidak menginginkan bagi kalian kesulitan.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Hamzah bin Amr Al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah boleh aku berpuasa dalam safar?” -dan Hamzah bin Amr Radhiyallahu ‘Anhu terkenal sebagai orang yang banyak melakukan puasa- maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda. “Berpuasalah jika engkau menginginkan dan berbukalah jika engkau menginginkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang bersafar boleh memilih hendak berpausa atau tidak.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu berkata : “Aku pernah bersafar bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu bulan Ramadhan, orang yang berpuasa tidak mencela atas orang yang berbuka dan orang yang berbuka tidak mencela atas orang yang berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis-hadis ini memberikan faedah bolehnya memilih dan bukan sebuah keutamaan. Apabila orang yang berpuasa saat bersafar, maka dia bukan berarti lebih utama dibandingkan yang tidak berpuasa. Akan tetapi dimungkinkan berdalil keutamaan berbuka saat bersafar dengan hadis-hadis yang umum, di antaranya yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Sesungguhnya Allah mencintai untuk keringanannya dikerjakan, sebagaimana Allah membenci untuk maksiatnya dilaksanakan.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dari ‘Abdullah bin ‘Umar dengan sanadnya yang shahih)
Sebagaimana dalam riwayat lain:
“Sebagaimana Allah menyukai perintah-perintahNya dikerjakan.” (HR. Ibnu Hibban, Al-Bazzar dan Ath-Thabrani)
Apabila seorang yang bersafar, maka lebih utama dia berbuka. Akan tetapi dimungkinkan untuk membatasi hal itu dengan orang yang tidak mempunyai kesulitan ketika mengqadha’ dan menunaikan ibadah puasa, agar keringanan tersebut tidak menjadi bumerang bagi dia.
Hal ini telah dijelaskan dengan penjelasan yang tidak ada keraguan di dalamnya, diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata: “Para sahabat Nabi berpendapat bahwa barangsiapa yang mendapati kekuatan untuk berpuasa, maka baik baginya berpuasa, dan barangsiapa yang mendapati kelemahan lalu dia tidak berpuasa, maka baik baginya untuk tidak berpuasa saat safar.” (HR Tirmidzi, Al-Baghawi)
Ketahuilah wahai saudaraku seiman -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan petunjuk kepadamu kepada jalan petunjuk dan ketakwaan dan memberikan rezeki berupa pemahaman dalam agama- bahwa berpuasa saat bersafar, jika sulit atas seorang hamba, maka bukan kebaikan sama sekali, bahkan berbuka lebih utama dan lebih dicintai oleh Allah. Dalil akan perkara ini adalah apa yang diriwayatkan dari banyak para sahabat, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Bukanlah dari kebajikan berpuasa saat bersafar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Peringatan: Sebagian orang mengira bahwa berbuka puasa pada zaman kita sekarang ini saat bersafar tidak diperbolehkan, mereka mencela atas orang yang mengambil keringanan dari Allah, atau berpendapat bahwa puasa lebih utama karena mudah dan banyaknya transportasi. Maka untuk orang-orang seperti ini, kita memberikan mereka peringatan kepada firman Allah Yang Maha Mengetahui akan hal ghaib dan terang benderang:
Allah Ta'ala berfirman:
“Dan tidaklah Tuhanmu lupa.” (QS. Maryam : 64)
Begitu juga dalam surat Al-Baqarah:
“Dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah : 232)
Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam ayat-ayat yang menyebutkan tentang keringanan berbuka saat bersafar:
“Allah menginginkan bagi kalian kemudahan, dan tidak menginginkan bagi kalian kesulitan.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Maksudnya adalah bahwa sesungguhnya kemudahan/keringanan bagi musafir adalah perkara yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan keringanan ini termasuk dari maksud syar’iat yang utama. Belum lagi bahwa yang mensyari’atkan agama ini, Dialah Allah yang maha pencipta masa, tempat dan manusia. Maka Allah lebih mengetahui keperluan-keperluan manusia dan apa saja yang baik dan memperbaiki mereka.
2. Orang yang sakit
Allah Subhanahu wa Ta’ala membolehkan untuk orang yang sakit berbuka sebagai rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sebagai kemudahan. Penyakit yang diperbolehkan untuk berbuka adalah: sakit yang menyebabkan jika berpuasa akan membahayakan, atau bertambah penyakitnya, atau dikhawatirkan terlambat kesembuhannya.
Jika sakitnya tersebut adalah sakit yang kronis, menahun, sulit diharapkan kesembuhannya, dan dia tidak sanggup untuk berpuasa, maka dia membayar fidyah.
3. Wanita haid dan nifas
Para ulama berijma’ (bersepakat dalam sebuah perkara sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) bahwa wanita haid dan nifas tidak halal berpuasa, mereka berdua jika berbuka maka wajib mengqadha, jika mereka berdua puasa maka tidak sah puasanya. Dan ini akan dijelaskan insyAllah pada halamadan 75-76.
4. Orang tua renta
Ini boleh untuk tidak berpuasa karena mungkin saking lemahnya, saking tuanya, tidak sanggup untuk berpuasa, maka boleh untuk tidak berpuasa.
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata:
“Laki-laki yang tua dan perempuan yang tua, tidak sanggup kedua-duanya untuk berpuasa, maka memberi makan setiap hari sebagai gantinya kepada seorang miskin.” (HR. Bukhari)
Diriwayatkan oleh Imam Daruquthni dan beliau shahihkannya, dari jalan Manshur dari Mujahid dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, beliau membaca ayat :
“Orang-orang yang tidak sanggup untuk berpuasa, mereka membayar fidyah, memberi makan bagi orang miskin.” (QS. Al-Baqarah : 184)
5. Wanita hamil dan menyusui
Termasuk agungnya rahmat Allah terhadap hamba-hambaNya yang lemah adalah bahwa Allah telah memberikan keringanan untuk mereka dalam perihal berbuka puasa. Termasuk dari mereka adalah wanita yang hamil dan wanita yang menyusui, mereka boleh berbuka.
Tapi ingat bahwa wanita hamil dan menyusui ini meskipun mereka diperbolehkan berbuka, pada asalnya mereka tetap disyariatkan untuk berpuasa. Maksudnya adalah jika wanita hamil dan menyusui merasa sanggup untuk berpuasa, maka hendaklah dia berpuasa. Dan sebagian dokter ahli kandungan mengatakan bahwa, jika memang seorang wanita hamil dan menyusui sanggup, maka tidak berpengaruh kepada janin ataupun bayinya untuk berpuasa.
Jadi, tidak serta merta wanita hamil dan menyusui itu kemudian langsung berbuka, tapi dilihat kondisinya. Jika memang dia sanggup, maka berpuasa lebih utama. Tapi jika dia ingin mengambil keringanan, ini diperbolehkan.
Dari Anas bin Malik Al-Ka’bi Radhiyallahu ‘Anhu berkata : “Kudanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terlambat mendatangi kami, akupun mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ternyata beliau sedang makan, beliau bersabda, ‘Mari ke sini, ayo makan.’ Malik Al-Ka’bi berkata: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa Ya Rasulullah.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: ‘Mari sini, aku akan meriwayatkan kepadamu tentang puasa. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membebaskan atas seorang musafir 1/2 shalat, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membebaskan atas wanita yang hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa.’
Demi Allah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengucapkan keduanya atau salah satu dari keduanya. Maka sangat merugi diriku kenapa aku tidak makan bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah. Sanadnya Hasan sebagaimana pernyataan Tirmidzi)
Ini menunjukkan wanita hamil dan menyusui diperbolehkan untuk berbuka.
Wallahu A'lam
Berikut kelompok-kelompok orang yang boleh tidak menjalankan puasa Ramadan , yakni:
1. Kelompok musafir
Telah diriwayatkan hadis-hadis yang shahih dalam perkara ini, yaitu seorang musafir boleh untuk memilih di dalam berpuasa. Kita tidak melupakan bahwa rahmat Tuhan ini telah disebutkan di dalam Al-Qur’an yang Mulia, Allah Ta'ala berfirman:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ
“Dan barangsiapa yang sakit dari kalian atau bepergian, hendaklah dia berbuka dan mengqadha’ dilain hari. Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kemudahan dan tidak tidak menginginkan bagi kalian kesulitan.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Hamzah bin Amr Al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah boleh aku berpuasa dalam safar?” -dan Hamzah bin Amr Radhiyallahu ‘Anhu terkenal sebagai orang yang banyak melakukan puasa- maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda. “Berpuasalah jika engkau menginginkan dan berbukalah jika engkau menginginkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang bersafar boleh memilih hendak berpausa atau tidak.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu berkata : “Aku pernah bersafar bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu bulan Ramadhan, orang yang berpuasa tidak mencela atas orang yang berbuka dan orang yang berbuka tidak mencela atas orang yang berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis-hadis ini memberikan faedah bolehnya memilih dan bukan sebuah keutamaan. Apabila orang yang berpuasa saat bersafar, maka dia bukan berarti lebih utama dibandingkan yang tidak berpuasa. Akan tetapi dimungkinkan berdalil keutamaan berbuka saat bersafar dengan hadis-hadis yang umum, di antaranya yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Sesungguhnya Allah mencintai untuk keringanannya dikerjakan, sebagaimana Allah membenci untuk maksiatnya dilaksanakan.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dari ‘Abdullah bin ‘Umar dengan sanadnya yang shahih)
Sebagaimana dalam riwayat lain:
“Sebagaimana Allah menyukai perintah-perintahNya dikerjakan.” (HR. Ibnu Hibban, Al-Bazzar dan Ath-Thabrani)
Apabila seorang yang bersafar, maka lebih utama dia berbuka. Akan tetapi dimungkinkan untuk membatasi hal itu dengan orang yang tidak mempunyai kesulitan ketika mengqadha’ dan menunaikan ibadah puasa, agar keringanan tersebut tidak menjadi bumerang bagi dia.
Hal ini telah dijelaskan dengan penjelasan yang tidak ada keraguan di dalamnya, diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata: “Para sahabat Nabi berpendapat bahwa barangsiapa yang mendapati kekuatan untuk berpuasa, maka baik baginya berpuasa, dan barangsiapa yang mendapati kelemahan lalu dia tidak berpuasa, maka baik baginya untuk tidak berpuasa saat safar.” (HR Tirmidzi, Al-Baghawi)
Ketahuilah wahai saudaraku seiman -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan petunjuk kepadamu kepada jalan petunjuk dan ketakwaan dan memberikan rezeki berupa pemahaman dalam agama- bahwa berpuasa saat bersafar, jika sulit atas seorang hamba, maka bukan kebaikan sama sekali, bahkan berbuka lebih utama dan lebih dicintai oleh Allah. Dalil akan perkara ini adalah apa yang diriwayatkan dari banyak para sahabat, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Bukanlah dari kebajikan berpuasa saat bersafar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Peringatan: Sebagian orang mengira bahwa berbuka puasa pada zaman kita sekarang ini saat bersafar tidak diperbolehkan, mereka mencela atas orang yang mengambil keringanan dari Allah, atau berpendapat bahwa puasa lebih utama karena mudah dan banyaknya transportasi. Maka untuk orang-orang seperti ini, kita memberikan mereka peringatan kepada firman Allah Yang Maha Mengetahui akan hal ghaib dan terang benderang:
Allah Ta'ala berfirman:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
“Dan tidaklah Tuhanmu lupa.” (QS. Maryam : 64)
Begitu juga dalam surat Al-Baqarah:
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah : 232)
Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam ayat-ayat yang menyebutkan tentang keringanan berbuka saat bersafar:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menginginkan bagi kalian kemudahan, dan tidak menginginkan bagi kalian kesulitan.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Maksudnya adalah bahwa sesungguhnya kemudahan/keringanan bagi musafir adalah perkara yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan keringanan ini termasuk dari maksud syar’iat yang utama. Belum lagi bahwa yang mensyari’atkan agama ini, Dialah Allah yang maha pencipta masa, tempat dan manusia. Maka Allah lebih mengetahui keperluan-keperluan manusia dan apa saja yang baik dan memperbaiki mereka.
2. Orang yang sakit
Allah Subhanahu wa Ta’ala membolehkan untuk orang yang sakit berbuka sebagai rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sebagai kemudahan. Penyakit yang diperbolehkan untuk berbuka adalah: sakit yang menyebabkan jika berpuasa akan membahayakan, atau bertambah penyakitnya, atau dikhawatirkan terlambat kesembuhannya.
Jika sakitnya tersebut adalah sakit yang kronis, menahun, sulit diharapkan kesembuhannya, dan dia tidak sanggup untuk berpuasa, maka dia membayar fidyah.
3. Wanita haid dan nifas
Para ulama berijma’ (bersepakat dalam sebuah perkara sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) bahwa wanita haid dan nifas tidak halal berpuasa, mereka berdua jika berbuka maka wajib mengqadha, jika mereka berdua puasa maka tidak sah puasanya. Dan ini akan dijelaskan insyAllah pada halamadan 75-76.
4. Orang tua renta
Ini boleh untuk tidak berpuasa karena mungkin saking lemahnya, saking tuanya, tidak sanggup untuk berpuasa, maka boleh untuk tidak berpuasa.
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata:
“Laki-laki yang tua dan perempuan yang tua, tidak sanggup kedua-duanya untuk berpuasa, maka memberi makan setiap hari sebagai gantinya kepada seorang miskin.” (HR. Bukhari)
Diriwayatkan oleh Imam Daruquthni dan beliau shahihkannya, dari jalan Manshur dari Mujahid dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, beliau membaca ayat :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Orang-orang yang tidak sanggup untuk berpuasa, mereka membayar fidyah, memberi makan bagi orang miskin.” (QS. Al-Baqarah : 184)
5. Wanita hamil dan menyusui
Termasuk agungnya rahmat Allah terhadap hamba-hambaNya yang lemah adalah bahwa Allah telah memberikan keringanan untuk mereka dalam perihal berbuka puasa. Termasuk dari mereka adalah wanita yang hamil dan wanita yang menyusui, mereka boleh berbuka.
Tapi ingat bahwa wanita hamil dan menyusui ini meskipun mereka diperbolehkan berbuka, pada asalnya mereka tetap disyariatkan untuk berpuasa. Maksudnya adalah jika wanita hamil dan menyusui merasa sanggup untuk berpuasa, maka hendaklah dia berpuasa. Dan sebagian dokter ahli kandungan mengatakan bahwa, jika memang seorang wanita hamil dan menyusui sanggup, maka tidak berpengaruh kepada janin ataupun bayinya untuk berpuasa.
Jadi, tidak serta merta wanita hamil dan menyusui itu kemudian langsung berbuka, tapi dilihat kondisinya. Jika memang dia sanggup, maka berpuasa lebih utama. Tapi jika dia ingin mengambil keringanan, ini diperbolehkan.
Dari Anas bin Malik Al-Ka’bi Radhiyallahu ‘Anhu berkata : “Kudanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terlambat mendatangi kami, akupun mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ternyata beliau sedang makan, beliau bersabda, ‘Mari ke sini, ayo makan.’ Malik Al-Ka’bi berkata: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa Ya Rasulullah.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: ‘Mari sini, aku akan meriwayatkan kepadamu tentang puasa. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membebaskan atas seorang musafir 1/2 shalat, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membebaskan atas wanita yang hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa.’
Demi Allah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengucapkan keduanya atau salah satu dari keduanya. Maka sangat merugi diriku kenapa aku tidak makan bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah. Sanadnya Hasan sebagaimana pernyataan Tirmidzi)
Ini menunjukkan wanita hamil dan menyusui diperbolehkan untuk berbuka.
Wallahu A'lam
(wid)