Penafsiran Al-Qur'an di Tengah Perubahan Sosial dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Selasa, 02 Mei 2023 - 11:38 WIB
Penafsiran Al-Qur'an di tengah perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan diuraikan Prof Dr M Quraish Shihab MA dalam bukunya berjudul "Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996). "Tidak setiap perubahan sosial dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menarik kesimpulan pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al-Quran," tulisnya.
Terkait perubahan sosial, Quraish Shihab menjelaskan banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang hal itu, antara lain tentang masyarakat ideal yang sifatnya adalah masyarakat yang terus berkembang ke arah yang positif ( QS 48 :29), juga bahwa setiap masyarakat mempunyai batas-batas usia ( QS 10 :49; 15:5, dan lain-lain), dan bahwa masyarakat dalam perkembangannya mengikuti satu pola yang tetap (hukum kemasyarakatan) yang tidak berubah ( QS 35 :43; 48:23, dan lain-lain).
Menurutnya, perubahan-perubahan atau perkembangan-perkembangan yang terjadi tersebut terutama diakibatkan oleh potensi manusia baik yang positif maupun yang negatif.
"Karena adanya dua kemungkinan ini, maka tidak setiap perubahan sosial dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menarik kesimpulan pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al-Quran," ujarnya.
Quraish Shihab menjelaskan walaupun telah disepakati bahwa pada dasarnya dalam masalah-masalah ibadah (yang tidak terjangkau oleh pikiran/manusia) perintah agama harus diterima sebagaimana adanya, tanpa mempertimbangkan makna kandungan perintah tersebut. Sedang dalam masalah sosial (mu'amalah), perintah agama terlebih dahulu harus diperhatikan arti kandungannya atau maksudnya.
Ilmu Pengetahuan
Sementara ulama berpendapat bahwa "syari'at" (Al-Quran dan hadis) harus dipahami berdasarkan pemahaman masyarakat pada masa turunnya. Ini mengakibatkan antara lain, kata Quraish Shihab, pembatasan dalam memahami teks-teks ayat Al-Quran berdasarkan pemahaman disiplin ilmu dan tingkat pengetahuan masyarakat pada masa turunnya Al-Quran yang jauh terbelakang dibanding perkembangan ilmu dewasa ini.
"Pembatasan seperti itu tentunya tidak dapat diterima, apalagi setelah memperhatikan prinsip bahwa Al-Quran diturunkan untuk semua manusia pada setiap waktu dan tempat. Adalah mustahil untuk menjadikan semua orang berpikir dengan pola yang sama," ujar Quraish Shihab.
Al-Quran memerintahkan setiap orang berpikir, maka tentunya setiap orang akan menggunakan pikirannya antara lain berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan. Atas dasar ini, kata Quraish Shihab, pendapat-pendapat mengenai pembatasan dalam penafsiran Al-Quran amat sulit diterima.
Quraish Shihab menjelaskan perlu dibedakan antara pemikiran ilmiah kontemporer dengan pembenaran setiap teori ilmiah. Ketika ilmu pengetahuan membuktikan secara pasti dan mapan bahwa bumi kita ini bulat, maka mufasir masa kini akan memahami dan menafsirkan firman Allah "Dan Allah jadikan untuk kamu bumi ini terhampar" ( QS 71 :19) bahwa keterhamparan yang dimaksud tidak bertentangan dengan kebulatannya, karena keterhamparan ini terlihat dan disaksikan oleh siapa pun dan ke mana pun seseorang melangkahkan kakinya, apalagi redaksi ayat tersebut tidak menyatakan "Allah ciptakan" tetapi "jadikan untuk kamu".
Demikian juga ketika eksperimen membuktikan bahwa para ahli telah dapat mendeteksi jenis janin (bayi dalam perut), maka pemahaman kita terhadap ayat "Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan (hamil)" ( QS 13 :8), pemahaman kata "apa" beralih dari yang tadinya dipahami sebagai jenis kelamin bayi menjadi lebih umum dari sekadar jenisnya, sehingga mencakup masa depan, bakat, jiwa, dan segala perinciannya. Karena kata "apa" dalam istilah Al-Quran dapat mencakup segala sesuatu.
Di sisi lain, kalimat "Allah mengetahui" bukan dalam arti "hanya Allah yang mengetahui", bila yang dimaksud dengan "apa"-nya adalah jenis kelamin janin.
Quraish Shihab mengatakan pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran seperti yang dikemukakan di atas tentunya tidak dapat ditempuh bila pembatasan yang dikemukakan oleh sementara ulama di atas diterapkan. Namun ini tidak berarti bahwa setiap teori ilmiah walaupun yang belum mapan dan pasti dapat dijadikan dasar dalam pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran, apalagi bila membenarkannya atas nama Al-Quran.
Menurutnya, karena itu, pemakaian teori ilmiah yang belum mapan dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, harus dibatasi. Karena hal ini akan mengakibatkan bahaya yang tidak kecil, sebagaimana yang pernah dialami oleh bangsa Eropa terhadap penafsiran Kitab Suci yang kemudian terbukti bertentangan dengan hasil-hasil penemuan ilmiah yang sejati.
Bidang Bahasa
Quraish Shihab menjelaskan walaupun Al-Quran menggunakan kosakata yang digunakan oleh orang-orang Arab pada masa turunnya, namun pengertian kosakata tersebut tidak selalu sama dengan pengertian-pengertian yang populer di kalangan mereka. Al-Quran dalam hal ini menggunakan kosakata tersebut, tetapi bukan lagi dalam bidang-bidang semantik yang mereka kenal.
"Di sisi lain, perkembangan bahasa Arab dewasa ini telah memberikan pengertian-pengertian baru bagi kosakata-kosakata yang juga digunakan oleh Al-Quran," katanya.
Dalam hal ini seseorang tidak bebas untuk memilih pengertian yang dikehendakinya atas dasar pengertian satu kosakata pada masa pra-Islam, atau yang kemudian berkembang.
Seorang mufasir, di samping harus memperhatikan struktur serta kaidah-kaidah kebahasaan serta konteks pembicaraan ayat, juga harus memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadap setiap kosakata, dan mendahulukannya dalam memahami kosakata tersebut daripada pengertian yang dikenal pada masa pra-Islam. Bahkan secara umum tidak dibenarkan untuk menggunakan pengertian pengertian baru yang berkembang kemudian.
Menurut Quraish Shihab, apabila tidak ditemukan pengertian-pengertian khusus Qurani bagi satu kosakata atau terdapat petunjuk bahwa pengertian Qurani tersebut bukan itu yang dimaksud oleh ayat, maka dalam hal ini seseorang mempunyai kebebasan memilih arti yang dimungkinkan menurut pemikirannya dari sekian arti yang dimungkinkan oleh penggunaan bahasa.
Kata 'alaq dalam wahyu pertama "Dia (Tuhan) menciptakan manusia dari 'alaq" ( QS 96 :2) mempunyai banyak arti, antara lain: segumpal darah, sejenis cacing (lintah), sesuatu yang berdempet dan bergantung, kebergantungan, dan sebagainya. "Di sini seseorang mempunyai kebebasan untuk memilih salah satu dari arti-arti tersebut, dengan mengemukakan alasannya," katanya.
Quraish Shihab mengatakan perbedaan-perbedaan pendapat akibat pemilihan arti-arti tersebut harus dapat ditoleransi dan ditampung, selama ia dikemukakan dalam batas-batas tanggung jawab dan kesadaran. Bahkan agama menilai bahwa mengemukakannya pada saat itu memperoleh pahala dari Tuhan, walaupun seandainya ia kemudian terbukti keliru.
Terkait perubahan sosial, Quraish Shihab menjelaskan banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang hal itu, antara lain tentang masyarakat ideal yang sifatnya adalah masyarakat yang terus berkembang ke arah yang positif ( QS 48 :29), juga bahwa setiap masyarakat mempunyai batas-batas usia ( QS 10 :49; 15:5, dan lain-lain), dan bahwa masyarakat dalam perkembangannya mengikuti satu pola yang tetap (hukum kemasyarakatan) yang tidak berubah ( QS 35 :43; 48:23, dan lain-lain).
Menurutnya, perubahan-perubahan atau perkembangan-perkembangan yang terjadi tersebut terutama diakibatkan oleh potensi manusia baik yang positif maupun yang negatif.
"Karena adanya dua kemungkinan ini, maka tidak setiap perubahan sosial dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menarik kesimpulan pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al-Quran," ujarnya.
Quraish Shihab menjelaskan walaupun telah disepakati bahwa pada dasarnya dalam masalah-masalah ibadah (yang tidak terjangkau oleh pikiran/manusia) perintah agama harus diterima sebagaimana adanya, tanpa mempertimbangkan makna kandungan perintah tersebut. Sedang dalam masalah sosial (mu'amalah), perintah agama terlebih dahulu harus diperhatikan arti kandungannya atau maksudnya.
Ilmu Pengetahuan
Sementara ulama berpendapat bahwa "syari'at" (Al-Quran dan hadis) harus dipahami berdasarkan pemahaman masyarakat pada masa turunnya. Ini mengakibatkan antara lain, kata Quraish Shihab, pembatasan dalam memahami teks-teks ayat Al-Quran berdasarkan pemahaman disiplin ilmu dan tingkat pengetahuan masyarakat pada masa turunnya Al-Quran yang jauh terbelakang dibanding perkembangan ilmu dewasa ini.
"Pembatasan seperti itu tentunya tidak dapat diterima, apalagi setelah memperhatikan prinsip bahwa Al-Quran diturunkan untuk semua manusia pada setiap waktu dan tempat. Adalah mustahil untuk menjadikan semua orang berpikir dengan pola yang sama," ujar Quraish Shihab.
Al-Quran memerintahkan setiap orang berpikir, maka tentunya setiap orang akan menggunakan pikirannya antara lain berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan. Atas dasar ini, kata Quraish Shihab, pendapat-pendapat mengenai pembatasan dalam penafsiran Al-Quran amat sulit diterima.
Quraish Shihab menjelaskan perlu dibedakan antara pemikiran ilmiah kontemporer dengan pembenaran setiap teori ilmiah. Ketika ilmu pengetahuan membuktikan secara pasti dan mapan bahwa bumi kita ini bulat, maka mufasir masa kini akan memahami dan menafsirkan firman Allah "Dan Allah jadikan untuk kamu bumi ini terhampar" ( QS 71 :19) bahwa keterhamparan yang dimaksud tidak bertentangan dengan kebulatannya, karena keterhamparan ini terlihat dan disaksikan oleh siapa pun dan ke mana pun seseorang melangkahkan kakinya, apalagi redaksi ayat tersebut tidak menyatakan "Allah ciptakan" tetapi "jadikan untuk kamu".
Demikian juga ketika eksperimen membuktikan bahwa para ahli telah dapat mendeteksi jenis janin (bayi dalam perut), maka pemahaman kita terhadap ayat "Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan (hamil)" ( QS 13 :8), pemahaman kata "apa" beralih dari yang tadinya dipahami sebagai jenis kelamin bayi menjadi lebih umum dari sekadar jenisnya, sehingga mencakup masa depan, bakat, jiwa, dan segala perinciannya. Karena kata "apa" dalam istilah Al-Quran dapat mencakup segala sesuatu.
Di sisi lain, kalimat "Allah mengetahui" bukan dalam arti "hanya Allah yang mengetahui", bila yang dimaksud dengan "apa"-nya adalah jenis kelamin janin.
Quraish Shihab mengatakan pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran seperti yang dikemukakan di atas tentunya tidak dapat ditempuh bila pembatasan yang dikemukakan oleh sementara ulama di atas diterapkan. Namun ini tidak berarti bahwa setiap teori ilmiah walaupun yang belum mapan dan pasti dapat dijadikan dasar dalam pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran, apalagi bila membenarkannya atas nama Al-Quran.
Menurutnya, karena itu, pemakaian teori ilmiah yang belum mapan dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, harus dibatasi. Karena hal ini akan mengakibatkan bahaya yang tidak kecil, sebagaimana yang pernah dialami oleh bangsa Eropa terhadap penafsiran Kitab Suci yang kemudian terbukti bertentangan dengan hasil-hasil penemuan ilmiah yang sejati.
Bidang Bahasa
Quraish Shihab menjelaskan walaupun Al-Quran menggunakan kosakata yang digunakan oleh orang-orang Arab pada masa turunnya, namun pengertian kosakata tersebut tidak selalu sama dengan pengertian-pengertian yang populer di kalangan mereka. Al-Quran dalam hal ini menggunakan kosakata tersebut, tetapi bukan lagi dalam bidang-bidang semantik yang mereka kenal.
"Di sisi lain, perkembangan bahasa Arab dewasa ini telah memberikan pengertian-pengertian baru bagi kosakata-kosakata yang juga digunakan oleh Al-Quran," katanya.
Dalam hal ini seseorang tidak bebas untuk memilih pengertian yang dikehendakinya atas dasar pengertian satu kosakata pada masa pra-Islam, atau yang kemudian berkembang.
Seorang mufasir, di samping harus memperhatikan struktur serta kaidah-kaidah kebahasaan serta konteks pembicaraan ayat, juga harus memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadap setiap kosakata, dan mendahulukannya dalam memahami kosakata tersebut daripada pengertian yang dikenal pada masa pra-Islam. Bahkan secara umum tidak dibenarkan untuk menggunakan pengertian pengertian baru yang berkembang kemudian.
Menurut Quraish Shihab, apabila tidak ditemukan pengertian-pengertian khusus Qurani bagi satu kosakata atau terdapat petunjuk bahwa pengertian Qurani tersebut bukan itu yang dimaksud oleh ayat, maka dalam hal ini seseorang mempunyai kebebasan memilih arti yang dimungkinkan menurut pemikirannya dari sekian arti yang dimungkinkan oleh penggunaan bahasa.
Kata 'alaq dalam wahyu pertama "Dia (Tuhan) menciptakan manusia dari 'alaq" ( QS 96 :2) mempunyai banyak arti, antara lain: segumpal darah, sejenis cacing (lintah), sesuatu yang berdempet dan bergantung, kebergantungan, dan sebagainya. "Di sini seseorang mempunyai kebebasan untuk memilih salah satu dari arti-arti tersebut, dengan mengemukakan alasannya," katanya.
Quraish Shihab mengatakan perbedaan-perbedaan pendapat akibat pemilihan arti-arti tersebut harus dapat ditoleransi dan ditampung, selama ia dikemukakan dalam batas-batas tanggung jawab dan kesadaran. Bahkan agama menilai bahwa mengemukakannya pada saat itu memperoleh pahala dari Tuhan, walaupun seandainya ia kemudian terbukti keliru.
(mhy)